Sesudah pelaksanaan pemungutan suara Pemilu 2019, semua pihak diminta mewaspadai adanya ancaman siber yang bisa mengganggu proses rekapitulasi suara yang kini berlangsung.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Sesudah pelaksanaan pemungutan suara Pemilu 2019, Rabu, 17 April, semua pihak diminta mewaspadai adanya ancaman siber yang bisa mengganggu proses rekapitulasi suara yang kini berlangsung. Ancaman siber itu, antara lain, bisa berupa penyebaran kabar bohong atau hoaks yang bertujuan untuk mendelegitimasi hasil pemilu.
”Ancaman siber setelah pemilu bisa datang dalam bentuk operasi siber, operasi informasi, atau campuran keduanya,” kata Direktur Center for Digital Society (CfDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Dedy Permadi, Kamis (18/4/2019), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dedy menjelaskan, operasi siber bisa dilakukan dengan merusak atau mengganggu sistem teknologi informasi lembaga tertentu. Operasi semacam itu bertujuan menghadirkan gangguan teknis dalam pelaksanaan tahapan pemilu, misalnya rekapitulasi hasil pemungutan suara.
Sementara itu, operasi informasi dilakukan dengan penyebaran informasi yang tidak sehat, misalnya hoaks atau kabar bohong. Operasi semacam ini bisa memiliki beberapa tujuan, antara lain untuk menyerang peserta atau penyelenggara pemilu, melakukan distorsi informasi terkait tahapan pemilu, atau mendelegitimasi hasil pemilu.
Menurut Dedy, dengan adanya operasi informasi, masyarakat berpotensi mendapatkan informasi yang tidak benar. ”Operasi informasi semacam itu sangat mengancam kualitas demokrasi dan sangat mengganggu proses pemilu karena operasi informasi akan membuat masyarakat tidak menerima informasi yang seharusnya,” tuturnya.
Ia menambahkan, salah satu bentuk operasi informasi yang sangat berbahaya adalah penyebaran hoaks atau kabar bohong. Apalagi, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), penyebaran hoaks cenderung meningkat menjelang pelaksanaan Pemilu 2019.
Dedy memaparkan, pada Januari 2019, ada 175 hoaks terkait isu politik yang diidentifikasi Kemkominfo. Lalu, pada Februari 2019, jumlah hoaks yang teridentifikasi naik menjadi 353 hoaks, kemudian naik lagi menjadi 453 hoaks pada Maret 2019.
”Padahal, saat identifikasi pertama pada Agustus 2018, baru ada sekitar 25 hoaks. Jadi, peningkatannya luar biasa tajam mendekati pemilu,” ucap Dedy.
Dedy menyatakan, penyebaran hoaks sangat berbahaya karena bisa mengubah dan memengaruhi persepsi publik. Kondisi itu terjadi karena adanya fenomena eco-chamber dan post-truth.
Eco-chamber adalah fenomena ketika pengguna media sosial terisolasi pada satu ruang berpikir. Hal ini terjadi karena algoritma media sosial dapat menggiring seorang pengguna untuk berlama-lama mengakses konten-konten yang sesuai dengan kesukaan atau keyakinannya. Kondisi ini berpotensi membuat seorang pengguna media sosial kesulitan menemukan konten dengan perspektif lain.
Penyebaran hoaks sangat berbahaya karena bisa mengubah dan memengaruhi persepsi publik.
Sementara itu, post-truth adalah kondisi ketika informasi bohong atau hoaks dapat dianggap sebagai kebenaran karena informasi tersebut dekat dengan keyakinan orang tertentu.
Post-truth juga terjadi karena orang-orang tertentu terus-menerus mendapat informasi bohong sehingga ia akhirnya menerima hal itu sebagai kebenaran.
Hindari ketegangan
Secara terpisah, Ketua Setara Institute Hendardi menyebutkan, sejumlah lembaga survei memang telah merilis hasil hitung cepat pemilihan presiden. Namun, guna menghindari potensi ketegangan, ia meminta semua pihak untuk tidak mengeluarkan klaim dan melakukan perayaan secara berlebihan.
”Semua pihak harus tetap menunggu proses penghitungan manual yang dilakukan KPU (Komisi Pemilihan Umum),” ucap Hendardi dalam keterangan tertulis.
Ia menambahkan, apabila ada masalah atau dugaan kecurangan dalam pelaksanaan pemilu, hal itu harus diselesaikan melalui mekanisme demokrasi yang tersedia, misalnya dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Hendardi menolak ide untuk menggerakkan masyarakat menolak hasil pemilu.
”Ide menggerakkan warga untuk melakukan perlawanan atas produk demokrasi harus ditolak,” ujar Hendardi.