Remaja dan Ancaman Dunia Maya
Kasus perundungan terhadap siswi SMP oleh siswi SMA di Pontianak, Kalimantan Barat, sungguh menyentak nurani kita. Kasus yang bermula dari perselisihan di dunia maya tersebut ternyata berdampak mengerikan di dunia nyata.
Sejumlah remaja merundung anak yang lebih muda hanya karena perselisihan di media sosial. Ancaman di dunia maya kemudian menelan korban di dunia nyata.
Masalah perundungan ini tidak berhenti ketika korban, A, dirawat di rumah sakit dan keluarganya melaporkan para pelaku ke polisi. Warganet pun kemudian menggalang dukungan di media sosial.
Sayang, ada warganet yang melampiaskan kemarahan atas peristiwa tersebut dengan membuat tagar simpatik terhadap korban di media sosial. Bahkan, ada warganet yang merundung para pelaku sehingga ada remaja yang diduga tidak berada di lokasi kejadian pun terkena getahnya.
Para pelaku kemudian menuntut balik korban dan melaporkan kepada polisi karena diduga memunculkan berita bohong di media sosial. Warganet pun latah dan membuat kampanye media sosial bertagar korban juga bersalah.
Praksis media sosial
Alih-alih mendukung kasus perundungan remaja, praksis media sosial seperti ini justru tidak memutus lingkaran setan perundungan anak. Bahkan, apa yang terjadi di media sosial tersebut justru dapat mengaburkan duduk persoalan sesungguhnya sehingga publik kesulitan menarik benang merah untuk kemudian bersama-sama mencegah kekerasan terhadap anak terjadi lagi.
Kasus perundungan di Pontianak hanyalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan anak yang dimulai dari media sosial. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapatkan laporan, dalam tiga tahun terakhir jumlah korban dan pelaku perundungan di media sosial terus meningkat.
Pada tahun 2016, jumlah korban perundungan di media sosial sebanyak 34 anak, pada 2017 sebanyak 55 anak, dan 2018 sebanyak 109 anak. Jumlah pelakunya juga terus meningkat, yakni pada 2016 sebanyak 56 anak, 2017 sebanyak 73 anak, dan 2018 sebanyak 112 anak.
Beberapa dari kasus itu berujung pada perundungan di dunia nyata, seperti di Pontianak. Direktur Eksekutif Indonesia New Media Watch, yang juga anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, berpandangan, internet adalah dunia yang sulit dijangkau orangtua untuk mengontrol anaknya karena di dalamnya ada ruang pribadi dan publik.
”Media sosial mencampurkan ruang privat dan publik,” ujar Agus saat dihubungi di Jakarta, Rabu (17/4/2019). Di media sosial, pembicaraan yang seharusnya sifatnya privat bisa tersebar dan dapat dikonsumsi publik.
Situasi tersebut sering kali tidak dipahami oleh remaja. Mereka mudah apriori, memaki-maki, dan berkata-kata kasar di media sosial, seperti kasus yang terjadi di Pontianak. Akibatnya, segala tindakan negatif tersebut berujung pada perkelahian di dunia nyata. Buruknya lagi, segala tindakan negatif tersebut tersebar di ruang publik tanpa bisa dikontrol.
Peran orangtua
Remaja sering kali menjadikan media sosial sebagai acuan dan dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak menyadari kebaikan dan keburukan yang ada di media sosial.
Pada situasi ini, peran orangtua sangat besar. Agus menuturkan, orangtua tidak hanya sekadar membatasi anak, tetapi juga perlu masuk ke dalam media sosial anak.
”Orangtua dapat menjadi teman atau mengikuti akun media sosial anak sehingga dapat mengetahui segala aktivitas dan siapa saja yang menjadi teman dari anaknya,” ujar Agus.
Dengan cara itu, orangtua dapat mengetahui apa saja yang dilakukan anak di media sosial. Ketika anak mengucapkan kata makian di media sosial, orangtua dapat segera menasihati.
Sesekali orangtua juga perlu mengajak teman anak di media sosial untuk bertemu. Cara itu perlu dilakukan agar orangtua dapat mengontrol anak dalam berteman.
Agar remaja lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial, dibutuhkan literasi secara sistematis. Agus mendorong agar literasi digital masuk dalam kurikulum dasar menengah. Hal tersebut dibutuhkan agar anak dapat menggunakan teknologi dengan cerdas dan tidak kecanduan.
”Literasi media tidak cuma dilakukan melalui seminar, tetapi harus masuk ke dalam kurikulum pendidikan,” ujarnya.
Edukasi
Selain itu, perusahaan yang berkecimpung di teknologi digital dari perangkat lunak hingga keras harus ikut bertanggung jawab memberikan literasi kepada anak-anak. Industri tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga perlu memberikan edukasi sehingga anak dapat menggunakan produknya secara positif.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta orangtua dan guru rajin memeriksa gawai yang dimiliki anak. Jika ditemukan tanda-tanda yang kurang baik, orangtua dan guru harus memberi nasihat.
”Jangan sampai anak-anak mengakses sesuatu yang membahayakan terhadap kepribadian, mental, bahkan bisa membahayakan fisiknya ketika diwujudkan dalam bentuk perilaku menyimpang, seperti perkelahian, perundungan, dan seterusnya,” ujar Muhadjir.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan, kasus perundungan yang terjadi akibat perselisihan di media sosial dan berlanjut ke dunia nyata disebabkan korban serta pelaku saling mengenal. ”Jika mereka tidak saling mengenal, perselisihan tersebut hanya akan terjadi di media sosial,” ujarnya.
Meskipun demikian, perundungan melalui media sosial juga termasuk berat sebab beberapa korbannya memutuskan bunuh diri karena sudah tidak tahan. Ia mengimbau orangtua dapat mencegah anaknya sebelum melakukan kejahatan. Dalam hal ini, kontrol keluarga menjadi sangat penting.
Di sisi lain, guru sebaiknya berteman di media sosial muridnya sehingga dapat mencegah ketika mereka hendak melakukan kejahatan. Anak-anak juga perlu mendapatkan literasi digital dan edukasi dalam menggunakan media sosial dengan bijaksana.