China Tolak Tudingan Negatif tentang BRI
China mengklaim Prakarsa Sabuk dan Jalan bukan kebijakan geopolitik atau jebakan utang. Puluhan negara bakal hadir di KTT BRI pekan depan.
BEIJING, jumat Pemerintah China menyatakan, alih-alih menjadikan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) sebagai kebijakan geopolitik dan jebakan utang, prakarsa itu justru merupakan bentuk penguatan kerja sama multilateral. Di tengah upaya melanjutkan prakarsa itu, Beijing terbuka menerima masukan konstruktif soal cara menanggapi aneka kekhawatiran dan tanggapan atasnya.
Sebagai bentuk keseriusan Pemerintah China atas BRI, Beijing menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRI pada 25-27 April. Beijing mengungkapkan, 37 wakil pemerintah negara akan hadir. Pemerintah Korea Utara termasuk negara yang diundang dan sudah menyatakan akan hadir dalam KTT itu.
Penegasan China tentang BRI disampaikan oleh Penasihat Negara yang juga Menteri Luar Negeri China Wang Yi, di Beijing, Jumat (19/4/2019). Ia mengatakan kepada wartawan bahwa BRI telah membawa manfaat nyata bagi negara-negara yang berpartisipasi secara langsung di dalamnya.
”Hubungan kemitraan ini bukan alat geopolitik, melainkan platform untuk kerja sama,” kata Wang. ”Anda tidak dapat menempatkan topi bertuliskan ’krisis utang’ di ’kepala’ Sabuk dan Jalan, dan ini bukan sesuatu yang akan diakui oleh negara peserta.”
Wang juga menegaskan bahwa ada aneka proses pengembangan dalam megaproyek BRI itu. Hal itu memerlukan proses dan tidak dapat diwujudkan dalam sekejap. ”Anda tidak bisa sampai di sana dalam satu langkah dan tidak dapat dihindari sekiranya dalam proses pengembangan itu akan timbul sejumlah kekhawatiran. Jadi, kami menyambut semua pihak untuk datang dengan saran yang membangun,” katanya.
Megaproyek BRI adalah prakarsa kunci Presiden China Xi Jinping. Melalui BRI itu, Pemerintah China ingin menghidupkan kembali jalur sutra kuno yang menghubungkan China dengan wilayah Asia, Eropa, dan wilayah lebih luas melalui belanja infrastruktur-infrastruktur raksasa.
Namun, BRI mengundang kontroversi di negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS menilai BRI hanyalah alat bagi China untuk memperluas pengaruhnya dan menjebak negara-negara yang menerima proyek itu dengan utang yang tidak berkelanjutan melalui proyek-proyek yang tidak transparan.
Washington, antara lain, mengambil sikap kritis atas langkah Italia mengikat kerja sama dengan China dalam program BRI itu. Italia adalah negara anggota pertama G-7 yang mengadopsi BRI. Adapun negara lain yang memikirkan kembali dalam-dalam akibat dampak utang dari BRI antara lain Sri Lanka dan Malaysia.
Tahun lalu, Sri Lanka harus memberikan sewa 99 tahun atas pelabuhan lautnya kepada otoritas China setelah Pemerintah Sri Lanka tidak mampu membayar pinjaman untuk proyek senilai 1,4 miliar dollar AS dalam BRI itu.
Wang membalas kritik atas BRI dengan mengatakan bahwa mereka yang tidak mampu melakukan sesuatu dengan baik tidak seharusnya mencegah orang lain melakukannya. ”Mentalitas semacam ini tidak konstruktif dan tidak membantu orang lain,” kata Wang.
AS tak akan hadir
Jumlah pemimpin negara yang hadir dalam KTT BRI tahun ini bakal lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah pemimpin yang hadir dalam forum itu pada tahun lalu hanya 29 negara. Tahun ini, ada penambahan delapan pemimpin negara.
Selain mitra dekat China, seperti Rusia dan Pakistan, hadir pula perwakilan petinggi Italia, Swiss, dan Austria. Perwakilan Pemerintah AS menyatakan, negaranya tidak akan mengirimkan pejabat tingkat tinggi dalam forum itu. Washington masih bergeming dengan kritik atas praktik pemberian pinjaman dalam megaproyek itu.
”Otoritas AS tidak memiliki rencana untuk mengirim pejabat tingkat tinggi dari Washington dalam KTT BRI,” kata juru bicara Kedutaan AS untuk China di Beijing. ”Kami mengajak semua negara untuk memastikan bahwa inisiatif diplomasi ekonomi mereka (China) sesuai dengan norma dan standar yang dapat diterima secara internasional, mempromosikan pembangunan berkelanjutan, dan bersifat inklusif, serta mengedepankan tata kelola pemerintahan yang baik serta melibatkan lembaga-lembaga ekonomi yang kuat.”
Namun, sebagaimana diungkapkan Wang, bakal ada perwakilan Pemerintah AS dalam KTT itu. Perwakilan itu terdiri dari diplomat, pejabat negara bagian, eksekutif, dan akademisi. ”Kami terbuka dengan negara mana pun yang tertarik ambil bagian. Jika AS tertarik atau tidak, hal itu terserah kepada mereka,” ujarnya.
Di tengah negosiasi dagang antara AS dan China, kedua negara juga masih tidak bersepakat di sejumlah bidang. Dua hal di antaranya adalah hak asasi manusia dan dukungan AS terhadap langkah-langkah politik Pemerintah Taiwan yang ditentang Beijing.
Beijing pada awal pekan lalu, misalnya, mengecam kritik yang disampaikan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo atas kebijakan Beijing di AS. Pompeo kala itu menyatakan, Beijing ikut berperan dalam mengakibatkan jatuhnya Venezuela ke dalam krisis ekonomi. Beijing menyebut apa yang diutarakan Washington itu sebagai fitnah.
Partisipasi Korut
Pada KTT BRI pertama yang digelar dua tahun lalu, AS mengajukan nota diplomatik kepada China yang mengeluhkan partisipasi Korut dalam forum itu. Sejak itu, Washington dan Pyongyang telah berupaya untuk mengatur kembali hubungan kedua negara, termasuk lewat pergelaran dua pertemuan puncak di antara para pemimpin mereka.
Wang mengatakan, Korut juga akan mengambil bagian dalam KTT tahun ini. Namun, tidak diungkapkan perihal hadir tidaknya Pemimpin Korut Kim Jong Un, yang dijadwalkan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Rusia, bulan ini juga.
”Saya pikir ini normal karena ini adalah inisiatif kerja sama ekonomi. Semua negara memiliki kebebasan untuk hadir, tetapi saya pikir AS tidak memiliki hak untuk mencegah negara lain berpartisipasi. Ini adalah platform terbuka dan inklusif,” kata Wang. (AP/AFP/REUTERS/BEN)