Curug Dago, Sisa Kemolekan Bandung
Awal abad ke-20, Curug Dago di Kota Bandung, Jawa Barat, adalah ikon kuat. Kehadirannya menjadi salah satu saksi wisata alam yang sedang mekar-mekarnya di Cekungan Bandung. Kini, keelokannya tak seindah dulu.
Adalah Raja Siam (Thailand) Chulalongkorn II atau Rama V yang memopulerkan. Dalam buku A Diary of The Last Journey to Java in 1901 dituliskan, raja datang dua kali ke Curug (air terjun) Dago. Kunjungan pertamanya tahun 1896. Datang lagi lima tahun kemudian.
Pada kunjungan keduanya itulah prasasti Curug Dago dibuat. Diguratkan di atas batu, jejaknya abadi. Pada 12 Agustus 1929, prasasti Curug Dago bertambah satu. Kali ini dibuat Raja Prajadhipok (Rama VII) yang datang untuk menapaktilasi jejak Rama V, ayahnya.
Kedatangan Rama V bisa dibilang luar biasa. Dia adalah wajah baru Siam. Ide dan pikirannya maju. Jiwa petualang membawanya menjelajah ke luar negeri belajar beragam kebudayaan dan kemajuan teknologi. Hindia Belanda menjadi salah satu negara yang dikunjungi, selain Malaya dan beberapa negara di Eropa.
Era itu, dunia berkembang pesat, juga Hindia Belanda. Bandung adalah bunganya. Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung, Gregorius Andika Ariwibowo, dalam tulisan ilmiah ”Wisata Alam di Karesidenan Priangan pada Periode Akhir Kolonial (1830-1942)” menyebut, bisnis perkebunan tehnya harum dikenal dunia.
Jalur kereta api Batavia-Bandung melalui Bogor dan Cianjur dibangun 1884. Promosi wisata Hindia Belanda lewat Colonial Expo tahun 1893 di Chicago, Amerika Serikat, turut mewarnai.
Tak heran jika perkumpulan pengusaha gula memilih ”Bandoeng” kala itu sebagai tuan rumah kongres pertama. Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto, saat itu orang-orang kaya berkumpul. Penyanyi tenar asal Paris, Perancis, didatangkan langsung menutup acara.
Kemewahan itu diduga memunculkan sebutan tersohor Bandung, De Bloem der Indische Bergsteden (Bunganya Kota Pegunungan di Hindia Belanda). Dengan semua atribut itu, Bandung terlalu manis dilewatkan.
Pada titik inilah, Curug Dago menjadi primadona. Sebagai kawasan wisata alam, letaknya sekitar 5 kilometer dari keriuhan Bandung. Menikmati deru air terjun setinggi 15 meter itu memberi ketenangan.
Bersama Curug Maribaya dan Lalay, Curug Dago warisan alam yang terbentuk dari aliran lava letusan Gunung Tangkubanparahu 125.000 dan 48.000 tahun silam. Lokasi curug ada Desa Dago, Kecamatan Coblong, masuk dalam kawasan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan laut.
Warga setempat menjaga keasrian kawasan dengan sejumlah pamali (larangan). Tak sembarangan orang bisa mandi di sana. Senin-Kamis, kawasan ini tidak boleh didatangi.
”Kata kakek saya, jika mandi dekat curug tidak boleh berisik. Senin dan Kamis tidak ada yang boleh mandi di sana” kata Wiwi Rastikawati (52), warga Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Rumahnya sekitar 1 kilometer dari Curug Dago.
Enjang Suganda (60), juru pelihara Prasasti Curug Dago, menuturkan, pamali tidak lain untuk menjaga keasrian Curug Dago. Pantangan mandi Senin-Kamis untuk memberi jeda bagi Cikapundung dan kawasan Curug Dago menjaga dirinya tetap bersih agar bisa terus menghidupi manusia sekitar.
”Sampai saat ini, mata air warga masih mengandalkan aliran Sungai Cikapundung. Warga di sini tidak memakai air PDAM,” ujar Enjang.
Keterancaman
Akan tetapi, seluruh kisah indah itu rentan sirna. Status perlindungan Curug Dago masih kategori diduga cagar budaya. Konsekuensinya, tak ada kewajiban pemerintah melindungi keberadaannya. Bahkan, biaya pembangunan cungkup (rumah kecil) dua prasasti itu berasal dari Kerajaan Thailand.
Pencemaran Sungai Cikapundung, sumber air utama Curug Dago, jadi masalah utama. Berdasarkan penelitian Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jabar tahun 2007, dari 30 sampel air sumur warga di tepian Cikapundung, 75 persen tercemar bakteri E-coli. Tanpa pemulihan, jelas akan panjang dampaknya.
Saat ini saja, rekomendasi bagi pengunjung adalah jangan berenang. Jika dulu dilarang untuk mandi pada Senin-Kamis, sekarang setiap hari. Limbah rumah tangga, pabrik, dan peternakan adalah pemicu utama. Tak percaya, silakan coba sendiri. Gatal-gatal siap menghampiri.
Ancaman lainnya adalah risiko longsor atau runtuhnya tebing fondasi prasasti saat musim hujan hingga desakan perluasan permukiman. Sejumlah pihak menilai hal ini butuh langkah penyelamatan. Kerusakan pasti terjadi jika sejumlah ancaman terus dibiarkan datang dan berkembang.
Ketua Umum Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia Wiwin Djuwita S Ramelan mengatakan, meski terbilang muda, prasasti Curug Dago memenuhi syarat ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Jika mengacu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sebuah obyek bisa ditetapkan cagar budaya jika berusia 50 tahun serta punya nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, atau kebudayaan.
”Untuk memperkaya data, Pemerintah Hindia Belanda mempunyai arsip yang relatif lengkap dan detail sampai 300 tahun ke belakang hingga tahun 1942. Ini bisa dicari,” ujar Wiwin.
Kabar baik, Kepala Bidang Pengkajian Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung Tjep Dahyat mengatakan, status perlindungan Curug Dago bakal naik kelas. Peraturan wali kota yang mengatur teknis tentang status cagar budaya bakal turun pertengahan tahun ini.
”Prasasti Curug Dago sudah tercatat dalam lampiran Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya. Saat ini sedang disiapkan peraturan wali kota penetapan sebagai benda cagar budaya. Tahun ini peraturan wali kota akan diterbitkan. Total saat ini untuk Kota Bandung terdapat 1.757 cagar budaya,” kata Tjep.
Rama V mungkin tidak akan pernah kembali lagi ke Curug Dago. Namun, kalaupun datang lagi, harapannya bisa tersenyum. Tentu saja bukan dengan tutup hidung, seperti banyak dilakukan pengunjung masa kini ketika hendak menyapa Curug Dago dari dekat.