JAKARTA, KOMPAS — Layanan dompet elektronik yang dikelola perusahaan rintisan bidang teknologi finansial menjadi pemimpin lanskap sistem pembayaran transaksi digital. Pemakaian layanan itu digerakkan oleh kemudahan yang ditawarkannya.
Demikian benang merah laporan riset Morgan Stanley ”Disruption Decoded, Indonesia Banks: Fintech Continues to Lead Digital Payment (Februari 2019)”. Dalam laporan itu, sistem pembayaran digital dikelompokkan ke dalam dompet elektronik yang diterbitkan perusahaan rintisan teknologi finansial (tekfin), perbankan, perusahaan perdagangan secara elektronik (e-dagang), dan operator telekomunikasi. Riset berlangsung pada Oktober 2018 dan menyasar 1.582 pengguna internet.
Sekitar 20 persen dari total responden mengaku lebih memilih dompet elektronik tekfin dibandingkan dengan milik perbankan, operator telekomunikasi, dan perusahaan e-dagang. Pemakaian tertinggi untuk transportasi, pesan makanan daring, dan isi ulang. Penggunaan dompet elektronik terhadap total pembayaran transaksi, baik daring maupun luring, telah mencapai 38 persen, terutama didorong penggunaan dompet elektronik milik perusahaan tekfin di kota-kota besar.
Tiga alasan teratas yang dikemukakan responden mau memakai dompet elektronik ialah kemudahan pemakaian, diikuti alasan diskon, dan rendahnya risiko pencurian. Namun, soal metode pembayaran, responden memilih uang tunai sebagai yang pertama yang paling disukai, diikuti dompet elektronik milik perusahaan tekfin.
Meski demikian, pada pertanyaan survei metode pembayaran yang paling disukai, responden memilih uang tunai sebagai yang pertama, diikuti dompet elektronik milik perusahaan rintisan tekfin. Kondisi ini mengalahkan pemakaian kartu debit, transfer, dan kartu kredit.
Dalam laporan riset itu, Morgan Stanley turut menyampaikan pandangan perlunya perbankan mencermati. Kemudahan penggunaan dompet elektronik bisa menjadi motivasi berkelanjutan dan tidak seperti diskon ataupun promo. Teknologi memberikan kenyamanan sehingga kini beberapa perusahaan rintisan tekfin berupaya memperluas pemakaian dompet elektronik di luar pembayaran, seperti penyaluran pinjaman alternatif. Bank bisa ambil manfaat dari efisiensi biaya operasional.
Pada 2018, nilai transaksi uang elektronik diperkirakan naik empat kali lipat menjadi Rp 47,2 triliun pada 2018. Pangsa pasar uang elektronik sebesar 7,3 persen dari total transaksi nontunai.
Tetap kolaborasi
Head of Public Relations OVO Sinta Setyaningsih, Jumat (19/4/2019), di Jakarta, menyebut OVO bekerja sama khusus dengan sejumlah bank nasional dan pembangunan daerah. Bentuknya mencakup isi ulang saldo, penerimaan pembayaran di mesin pembaca kartu milik bank, serta transfer uang.
Saat ini OVO sedang mencoba sistem pengiriman uang langsung ke sistem bank mitra tanpa melalui pihak perantara (switching services company). Ada empat bank berpartisipasi, yaitu BCA, Bank Mandiri, Bank Nobu, dan Bank CIMB Niaga. Jika jadi direalisasikan, dampaknya adalah efisiensi biaya.
Sebagai mitra perbankan, lanjut dia, OVO berusaha menjadi bagian peningkatan inklusi keuangan dari sisi penambahan jumlah pemilik rekening. Misalnya, pada Februari 2019, perusahaan menandatangani nota kesepahaman dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali. Isinya, membawa lebih dari 1.000 pedagang Pasar Badung menjadi bagian ekosistem OVO. BPD Bali bertindak sebagai penyedia rekening.
OVO sekarang dipakai di sekitar 115 juta perangkat elektronik, termasuk ponsel pintar. Operasional OVO telah menyebar di 303 kabupaten/kota. Tiga jenis transaksi yang paling banyak memakai OVO adalah transportasi umum, kuliner, dan belanja di platform toko daring.
Chief Communication Officer DANA Chrisma Albandjar mengatakan, berdasarkan pengalaman, pelanggan lebih termotivasi menggunakan dompet digital karena cara pemakaiannya mudah dibandingkan dengan ada penawaran diskon. DANA memakai aktivitas promosi sebagai insentif.
Sistem kerja DANA memungkinkan pengguna memasukkan kartu debit dan kartu kredit mereka pada aplikasi. Tampilan serta cara kerja aplikasi yang mudah diyakini menjadi kunci agar warga mau beralih dari transaksi tunai menjadi nontunai.
Meski baru setahun beroperasi, DANA telah memiliki total pengguna tercatat sekitar 10 juta dengan volume transaksi per hari mencapai 1 juta. Sejauh ini volume pemakaian transaksi untuk belanja daring dan luring sama besar.
”Kami percaya bahwa peran kami di sini sebagai mitra, bukan ancaman Bank. Fungsi DANA adalah sebagai dompet sehingga uang pengguna masih dapat disimpan di bank. Dengan demikian, DANA menjadi perpanjangan tangan dari transaksi bank,” ujar Chrisma.
Dia menggambarkan, mengisi saldo DANA melalui ATM adalah salah satu wujud kemitraan dengan bank. Upaya ini bisa dikatakan versi digital dari mengambil uang dari mesin ATM lalu menyimpannya di dompet digital. Wujud lainnya adalah memasukkan kartu debet atau kartu kredit di DANA dan uang pengguna tetap berada di rekening bank masing-masing. Terakhir, saldo yang telah mengendap di DANA dapat ditransfer kembali ke rekening bank pengguna.
”Dengan demikian, disrupsi terjadi pada cara bertransaksi,” katanya.
Chrisma mengatakan, pihaknya juga bekerja sama dengan perbankan untuk mengajari warga, terutama mitra pedagang UKM yang belum memiliki menjadi punya rekening bank. Mereka diberikan pengetahuan bahwa rekening itu akan memudahkan bertransaksi.
Sebelumnya, CEO Go-Pay Aldi Haryopratomo mengemukakan, transaksi yang dibukukan di luar ekosistem layanan Go-Jek tumbuh 25 kali lipat. Keberhasilan ini disebabkan Go-Pay berusaha hadir di setiap layanan dalam keseharian masyarakat, mulai dari mitra pengemudi, rekan usaha, dan konsumen.
Dia menyebutkan, saat ini Go-Pay telah bermitra dengan 28 institusi keuangan dan dipakai bertransaksi di lebih dari ratusan ribu rekan usaha di 370 kota di Indonesia.