Kebangkitan China di Kancah Politik Global
Judul: Strategi China Merebut Status Super Power
Penulis: Prof Dr Bambang Cipto, MA
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, 2018
Tebal: x + 297 halaman
ISBN: 978-602-229-930-1
Konstelasi politik global 2018 ditandai dengan perang dagang Amerika Serikat versus China. Semua berawal dari kebijakan politik proteksionisme Donald Trump, Presiden AS.
Produk-produk China menguasai pasar dan menyingkirkan produk-produk dalam negeri Amerika. China punya kepercayaan diri tinggi bahwa kekuatannya telah sebanding dengan AS. China tidak lagi melihat AS sebagai negara adidaya. China menunjukkan kepada dunia bahwa negara komunis itu telah bangkit dan bersiap merebut status superpower dari genggaman AS.
Prof Dr Bambang Cipto, MA membahas kebangkitan China dalam kancah politik global dalam buku terbarunya, Strategi China Merebut Status Super Power. Buku setebal 297 halaman ini menguraikan dengan sangat baik bagaimana strategi China merebut status negara superpower dari genggaman AS.
Melalui buku ini, kita dapat melihat bahwa upaya China untuk menjadi yang terkuat di dunia dilakukan dengan persiapan matang dan itu berawal dari ikhtiar politik atau political will pemimpinnya.
Menurut Bambang Cipto, sebuah negara mencapai status superpower jika negara tersebut berada pada puncak kekuatan militer, ekonomi, dan budaya (halaman 12). Pemimpin China menyadari betul hal ini sehingga ada keseriusan dalam memperkuat kekuatan militer, membangun kedigdayaan ekonomi, dan membenahi sistem pendidikannya.
Strategi China
Strategi China dalam memperkuat kekuatan militernya dibahas pada bab tiga. Pada bagian ini diuraikan bahwa China mulai memodernisasi angkatan bersenjatanya sejak pertengahan dekade 1980-an, salah satu yang menonjol penguatan angkatan laut.
Hasil dari modernisasi tersebut menjadikan China sebagai salah satu negara dengan angkatan bersenjata terkuat di dunia. Menurut laporan International Institute for Strategic Studies, kemampuan militer China melampaui kemampuan militer negara-negara anggota NATO. China tidak berhenti melakukan modernisasi terhadap persenjataannya.
”Negeri panda” ini bergerak cukup jauh dalam pengembangan teknologi ruang angkasanya dan tampil sebagai pemain utama dalam industri satelit kecil (small satellite). Kini, salah satu teknologi militer mutakhir yang mulai dikuasai China adalah teknologi drone (halaman 45-55).
Sementara itu, untuk membangun kedigdayaan ekonomi, sejak akhir 1970-an, China mengembangkan pasar bebas yang diprakarsai Deng Xiaoping. Deng mengatakan, ”Tidak penting apa warna kucing, yang penting ia pandai menangkap tikus.”
Inilah yang membuat China semakin terbuka dan diprediksi oleh Price Waterhouse Coopers bahwa China akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi yang lebih besar daripada Amerika sebelum 2030. Centre for Economic and Business Research, lembaga penelitian yang berbasis di London, punya prediksi yang sama bahwa China akan menggeser AS sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia (halaman 42).
Pada 2015, China mengumumkan rencana aksi One Belt One Road (OBOR). Proyek ekonomi prestisius ini didukung kekuatan dana tidak kurang dari 40 miliar dollar AS sehingga menarik minat lebih dari 60 negara di dunia (halaman 27).
China juga melakukan investasi di luar negeri sebagai bentuk partisipasinya pada perekonomian global sekaligus sebagai bagian dari strategi menguasai perekonomian global. Wajar jika Trump khawatir terhadap China sehingga mengambil kebijakan proteksionis yang memicu perang dagang antara Amerika dan China.
Selain penguatan militer dan ekonomi, China juga serius mengembangkan sains dan teknologi sebagai bagian tak terpisahkan untuk menjadi negara superpower. Perguruan tinggi di China diharapkan menjadi pusat pengembangan pemikiran dan penelitian, termasuk mendukung OBOR.
Pada 2016, Chinese Academy of Sciences tampil sebagai institusi terbaik dalam jurnal Nature. Keberhasilan China dalam pengelolaan jurnal kelas dunia seperti Nature sangat dimungkinkan karena dukungan kuat dari pemerintah, termasuk finansial.
Buku ini menggambarkan kepada kita bahwa pemimpin harus punya pandangan jauh ke depan (visioner) untuk membawa negaranya ke puncak peradaban tertinggi di dunia. China sudah melakukan itu sejak dekade 1970-an dan awal 1980-an. China melakukan dan mempersiapkannya dalam berbagai hal: ekonomi, militer, dan pendidikan. Ketiganya merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Peluang Indonesia
Indonesia sebenarnya adalah negara yang punya potensi besar sebagai negara superpower di dunia karena memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Lebih dari separuh APBN kita berasal dari pajak. Artinya, tanpa berbisnis, roda pemerintahan kita bisa berjalan. Negara bisa menggaji para pegawai negerinya.
Belum lagi pendapatan negara dari hasil sumber daya alam dan ditambah dengan bisnis yang dilakukannya. Indonesia punya fondasi yang kokoh dan kuat sebagai negara-bangsa dan bukan mustahil untuk menjadi negara dengan puncak peradaban tertinggi di dunia seperti Amerika Serikat.
Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan, ”Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.” Sepertinya sekarang, setelah membaca buku ini, tidak lagi demikian redaksi yang tepat. Redaksi yang lebih tepat adalah ”Wajib hukumnya menuntut ilmu ke negeri China”.
Hal itu karena China telah bangkit dan bersiap menjadi negara adidaya. Realitas sejarah yang tidak terhindarkan. Inilah yang penting dipelajari oleh Indonesia. Bagaimana menjadi negara superpower.
Meski demikian, ada beberapa hal yang luput dari pembahasan di dalam buku ini, yaitu kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di negeri pimpinan Xi Jinping itu, seperti tentang perlakuan rezim di China terhadap warga Uighur yang beragama Islam. Dalam kasus Muslim Uighur ini, China dianggap melakukan pelanggaran HAM meskipun itu dibantahnya. Hal ini sangat penting karena menjadi titik lemah China dalam percaturan dunia internasional.
Selain itu, catatan penting lain untuk buku ini adalah segi redaksi kurang terjaga dengan baik. Salah satu kesalahan yang banyak ditemukan adalah penulisan bahasa asing (Inggris) yang tidak konsisten. Tentu sangat disayangkan bahwa pada buku penting dan berkualitas ini banyak kesalahan redaksional yang semestinya tidak perlu terjadi.
AHMAD SAHIDE Dosen Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta