Henry Clay (1777-1852) mungkin politikus paling apes sepanjang sejarah. Ia gagal sampai tiga kali dalam kontestasi pemilihan presiden Amerika Serikat. Bertarung pertama kali pada Pilpres 1824, ia dikalahkan John Quincy Adam (1825-1829). Kesempatan kedua pada Pilpres 1832, ia dikalahkan petahana Andrews Jackson (1829-1837). Rupanya ia tak menyerah. Pada Pilpres 1844, di usia 67 tahun ia tetap bersemangat. Tetapi, lagi-lagi ia gagal. Ia dikalahkan James Polk (1845-1849). Clay tiga kali ia gagal bertarung di arena Pilpres AS.
Clay tak mengutuk kekalahan. Ia tahan banting, tidak reaktif, dan tak mengeluh. Kekalahan berkali-kali itu tak menghalanginya menjadi tokoh sentral di arena perpolitikan AS, walaupun bukan lewat kursi presiden. Setelah gagal di pilpres pertama, Clay malah dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri. Kemudian ia menjadi senator asal Kentucky.
Sebelumnya, kiprah Clay berkibar sejak menduduki Senat dan DPR. Saat memimpin DPR, bersama Presiden James Madison ia memimpin AS dalam perang melawan Inggris pada 1812. Dua tahun kemudian ia menginisiasi proses perdamaian mengakhiri perang. Di DPR ia terus berbuat untuk publik, termasuk menjadi tokoh kunci yang mengakhiri perang sipil 1850. Ia pun mendapat julukan “Great Compromiser”. Tak heran, Clay menjadi salah satu negarawan paling penting, berpengaruh, dan populer di abad ke-19. Belajar dari kekalahan berulang, Clay bilang, ”Saya lebih senang menjadi orang benar daripada menjadi presiden.”
Kekalahan memang menyakitkan. Tetapi, Clay memberi pelajaran penting. Dalam setiap kontestasi, pasti ada menang-kalah. Sejak pemilihan langsung (electoral democracy) digelar pada 2004, sudah rutin ada deklarasi “siap menang, siap kalah”. Kecewa sudah pasti ada, tetapi tak lantas ngamuk. Di era industri 4.0 sekarang ini seharusnya menuntut pikiran manusia yang lebih cerdas ketimbang "kecerdasan buatan". Jangan terus larut perilaku post-truth. Pendukung Manchester United dan Juventus pasti meratap karena tim-tim itu gagal ke final Liga Champions 2018-2019. Tetapi, sekecewanya mereka tak lantas berbuat anarkis.
Maka, patut disyukuri dan diapresiasi bahwa pemungutan suara pada hari Rabu 17 April 2019 lalu berlangsung lancar dan damai. Tiada riak-riak berarti yang dapat merusak ketenangan masyarakat. Suhu politik yang panas-dingin dalam beberapa tahun terakhir tidak meletuskan lahar panas yang mungkin bisa membakar kita semua. Ini artinya publik kita sudah semakin dewasa dalam berpolitik. Hati boleh panas tetapi menjaga kepala terus dingin adalah cara kita merawat kewarasan berpolitik. Sudah dua hari pesta usai. Tenda-tenda sudah dibongkar. Kemeriahan sudah berlalu. Mungkin yang tertinggal adalah kelelahan. Oleh karena itu, jangan ada lagi pesta-pesta susulan, yang mungkin dapat mengganggu ketenangan pasca Pilpres (dan pileg) yang selama ini menjadi biang kegaduhan.
Memang, hasil hitung cepat berbagai lembaga survei rata-rata menyajikan data yang mirip-mirip: pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dibanding pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Tetapi itu sementara. Belum hitungan final. Meskipun bukan hasil akhir, hitung cepat itu dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan secara ilmiah. Orang boleh saja bertanya tentang kesahihan hasil hitung cepat – tentang metodologi atau afiliasi lembaganya – tetapi jangan norak deh sampai melakukan upaya-upaya mendelegitimasi termasuk terhadap penyelenggara pilpres. Jangan sampai membenarkan kata-kata dramawan dan aktivis politik George Bernard Shaw (1856-1950) bahwa "pemilihan adalah moral yang mengerikan, seburuk pertempuran kecuali darah; mandi lumpur untuk setiap jiwa yang terlibat."
Jadi, menahan diri barangkali lebih elegan. Menunggu hasil real count KPU paling lama 22 Mei 2019 adalah sikap bijak yang menunjukkan tingkat kedewasaan berpolitik. Rasanya tak perlulah deklarasi kemenangan sepihak, karena dapat mempengaruhi massa yang bisa bertindak aneh-aneh. Para politikus berkewajiban mengedukasi rakyat agar tidak bergerak liar akibat teragitasi isu-isu yang justru tidak bersandar pada fakta. Lalu apa yang krusial mesti dilakukan pasca pilpres? Rekatkan kembali puzzle-puzzle Indonesia yang terberai di antara dua kubu dalam beberapa tahun ini. Mengakhiri perkubuan akibat perbedaan pilihan politik menjadi tugas bersama. Mari merajut kembali untaian benang keindonesiaan yang terserak, putus, atau kusut.
Karena itu, pepatah jawa selalu relevan untuk diimplementasikan. Bahwa mereka yang menang tak perlu jumawa, dan mereka yang kalah juga mesti legawa. Seorang pemimpin memang harus berjiwa besar. Kekalahan tidak membuat pemimpin berjiwa kerdil. Kemenangan juga tidak lantas membuat pemimpin arogan. Maka, kekalahan di Pilpres juga bukan akhir pengabdian diri. Di AS, beberapa kandidat presiden yang gagal, justru mampu bertransformasi lebih hebat lagi.
Sejumlah kasus sangat jelas menunjukkan bahwa kalah dalam pilpres tidak berarti akhir dari suatu pengaruh (Merrill Fabry, Time, 9 November 2016).
Misalnya, Jimmy Carter, presiden petahana (1977-1981), yang dikalahkan Ronald Reagan di Pilpres 1980. Tetapi Carter justru mengubah kemarahan akibat kekalahan menjadi kerja yang menginspirasi. Ia mempromosikan hak-hak asasi manusia, memerangi penyakit mematikan, serta membantu pemantauan pemilu di berbagai negara. Akhirnya Carter diganjar hadiah Nobel Perdamaian tahun 2002, justru saat tidak duduk di kursi presiden.
Jadi, Pilpres bukan akhir segalanya. Pilpres justru awal untuk membuat negeri ini lebih maju lagi. Mari kita tunjukan bahwa bangsa kita berjiwa besar, bukan bangsa pecundang.