Menjawab Problematika Ekonomi Indonesia
Akhirnya Indonesia, khususnya Jakarta, memiliki moda raya terpadu (mass rapid transportation/MRT). Fasilitas transpor- tasi modern ini memang telah lama dinanti kehadirannya sebagai solusi kemacetan Ibu Kota.
Pembangunan MRT memakan proses waktu yang tak singkat. Dimulai sejak 1980-an telah lebih dari 25 studi umum dan khusus dilakukan untuk menilai kelayakan pembangunannya. Progres pernah mengalami penundaan saat krisis ekonomi menerpa Indonesia 1997-1998. Proses pembangunan baru benar-benar dimulai sejak Oktober 2013 dan selesai Maret 2019.
Walaupun perencanaan sistem MRT telah ada sejak era Soeharto lalu pembangunannya dilakukan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi alamat apresiasi terbesar layak ditujukan kepada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (serta Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama selaku pejabat gubernur-wakil gubernur DKI saat itu) yang berani mengambil langkah maju dan merealisasikan pembangunan meski di tengah tantangan berat berupa terbatasnya anggaran pemerintah serta pertimbangan berbagai aspek politik dan gejolak sosial.
Pembangunan infrastruktur memang menjadi fokus terbesar Jokowi dan Kabinet Kerja. Infrastruktur merupakan hal esensial dalam mewujudkan akselerasi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, memacu pertumbuhan investasi dan bisnis, serta mengatasi ketertinggalan dari negara lain yang telah lebih dulu membangun berbagai sarana transportasi canggih dan terintegrasi, seperti MRT (Singapura, China, Jepang).
Pembangunan aneka infrastruktur bukanlah sesuatu yang dapat ditawar-tawar, apalagi ditunda, tetapi harus segera direalisasikan karena memberikan efek pengganda ekonomi, meningkatkan efisiensi pengangkutan logistik dan orang serta menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pembangunan daerah sampai ke wilayah terluar dan terdepan, seperti perbatasan negara dan daerah Papua.
Kekeliruan pola pikir dalam pembangunan infrastruktur selama ini dengan metode pendekatan untung-rugi semata telah berubah menjadi pendekatan ekonomi berkesinambungan. Dalam arti melihat secara visioner pertimbangan keuntungan masif berupa efisiensi waktu, energi, dan biaya yang dapat diperoleh dari pembangunan infrastruktur, serta bukan hanya kalkulasi balik modal saja. Adanya aneka infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, dan sarana transportasi diharapkan memantik pertumbuhan UMKM dan ekonomi kreatif di area sekitar dan pelintasan infrastruktur.
Memasuki 2019 yang ditandai hadirnya Revolusi Industri 4.0 dan mencuatnya paham populisme ultrakanan yang berimplikasi pada proteksionisme dan geosentrisme perdagangan dunia—dipicu sengketa perang tarif dagang AS-China—menjadi tantangan ekstra dan faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia, di saat pemerintah sebetulnya sangat ingin berlari kencang memacu pertumbuhan investasi dan bisnis di Tanah Air.
Tekanan eksternal dan badai gejolak egosentrisme perdagangan dunia seharusnya tak membuat Indonesia pesimistis menghadapi berbagai tantangan global. Pertumbuhan PDB, inflasi rendah dan stabil, serta kepercayaan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla dan soliditas kabinet adalah sinyalemen positif yang jadi modal akbar dalam mendorong percepatan pembangunan nasional berwawasan lingkungan, berkelanjutan, berkeadilan.
Aspek kritikal
Segala faktor positif yang ada tak boleh sampai melenakan. Kita harus terus berbenah karena negara lain pun sudah bersiap diri bahkan lebih unggul, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Setidaknya pemerintah perlu berfokus pada beberapa kritikal aspek berikut yang fokus penyelesaiannya terlihat masih kurang optimal.
Pertama, mewujudkan ketahanan dan kedaulatan energi. Selain pangan, energi adalah kritikal aspek dalam mewujudkan ketahanan nasional. Pembahasan ketahanan dan kedaulatan energi terletak pada dua poin utama: ketersediaan dan keterjangkauan.
Namun, kerap kali dalam mengejar dua poin itu aspek esensial lain terlupakan, yakni keberlanjutan dan dampak pada lingkungan hidup. Dalam setiap upaya pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi, energi merupakan salah satu hal penting di samping pembangunan infrastruktur dan reformasi birokrasi dan regulasi.
Sering kali pemerintah dihadapkan pada posisi dilematis, antara mengejar pertumbuhan tinggi dan efisien dengan menggunakan energi fosil (migas dan batubara), tetapi menghasilkan emisi karbon tinggi dan pemberian subsidi harga yang membebani APBN manakala harga migas dunia naik atau menggunakan energi baru terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, bayu, dan geotermal, tetapi cenderung tak efisien dalam jangka pendek karena butuh biaya investasi yang tak sedikit dengan hasil keluaran (output) energi yang (masih) di bawah energi fosil.
Ketergantungan tinggi pada energi fosil membawa dampak nyata pada neraca perdagangan Indonesia (NPI). Data BPS, nilai NPI tahun 2018 defisit 8,57 miliar dollar AS, dari sebelumnya surplus 11,8 miliar dollar AS di 2017. NPI mengalami defisit setelah empat tahun, dengan pertumbuhan impor 20,15 persen menjadi 188,63 miliar dollar AS dan ekspor hanya tumbuh 6,65 persen menjadi 8,57 miliar dollar AS. Penyebab utama defisit NPI adalah bertambahnya defisit perdagangan migas menjadi 12,4 miliar dollar AS.
Melonjaknya permintaan BBM bersubsidi di tengah pertumbuhan ekonomi domestik serta meningkatnya harga minyak mentah dunia hingga nyaris menyentuh 100 dollar AS per barel ditambah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat defisit neraca migas 2018 menjadi salah satu yang terburuk sejak 2014.
Kondisi paradoks energi nasional harus segera disudahi. Sebagai contoh, mengejar rasio elektrifikasi hingga 99,9 persen memang penting, tetapi upaya penyediaan energi listrik murah bagi masyarakat dengan masih mengandalkan energi fosil malah membawa efek bumerang bagi Indonesia berupa defisit neraca migas dan perdagangan yang kian dalam.
Koridor arah peta jalan kedaulatan energi pun jadi tak jelas serta berdampak buruk pada lingkungan dan ekosistem. Diperlukan tekad, langkah terukur nyata dan solusi radikal agar kita tak terus bergantung energi fosil dan secepatnya beralih ke EBT.
Kedua, mengejar pertumbuhan kredit perbankan yang berkualitas. Pertumbuhan kredit terutama ditujukan pada peningkatan manufaktur karena sektor ini yang paling bisa memberikan kontribusi nyata bagi penciptaan lapangan kerja masif dan mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat.
Data OJK, meski kredit per Desember 2018 tumbuh 12,45 persen year on year (yoy)—tahun 2017 hanya tumbuh 8 persen yoy—tetapi fasilitas kredit perbankan yang belum ditarik debitor (undirbused loan) per akhir Desember 2018 mencapai Rp 1.545,05 triliun, naik 9,71 persen (Rp 1.408,26 triliun di 2017).
Pelonjakan drastis kredit bank belum ditarik ini bertolak belakang dengan upaya pemerintah memacu roda bisnis dan pertumbuhan sektor riil. Setelah membangun aneka infrastruktur fisik dan penyederhanaan berbagai aturan dan birokrasi.
SDM dan lingkungan
Pada saat pertumbuhan kredit perbankan belum optimal dan undirbused loan meningkat, pembiayaan teknologi finansial (tekfin) justru terus berkembang. Sebenarnya tak salah apabila tekfin jadi alternatif pembiayaan khususnya bagi para pengusaha rintisan yang butuh pembiayaan cepat apalagi tanpa agunan hard asset (tanah, bangunan, emas). Namun, jadi alamat bahaya jika pelaku bisnis terlalu bergantung pada tekfin dan bukan lagi perbankan.
Wajib diingat bahwa sistem peer to peer lending lewat sistem daring pada tekfin tentu lebih berisiko dibandingkan dengan perbankan yang melakukan analisis 5C (karakter, kolateral, kapasitas, kapital/modal, dan kondisi ekonomi) dan dilengkapi implementasi manajemen risiko seperti Basel I-III serta penerapan POJK No 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan PBI no 13/23/PBI/ 2011 tentang Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Belum lagi pengalaman perbankan menangani kredit macet dan bermasalah yang belum dimiliki tekfin.
Harus ada peraturan jelas dan tegas untuk melindungi nasabah tekfin, seperti pada perbankan agar kejadian penagihan kredit yang berujung pada kekerasan fisik dan psikis tidak terus terjadi.
Ketiga, pembangunan manusia Indonesia yang berdaya saing unggul dan inovatif serta pengurangan pengangguran. Pesatnya pembangunan infrastruktur dan perkembangan teknologi melalui transformasi revolusi digital yang ditandai berbagai inovasi, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), big data, dan cloud menjadi tantangan serius bagi peningkatan daya kemampuan manusia Indonesia serta penyediaan lapangan kerja sesuai pengembangan keahlian tenaga kerja.
Revolusi industri adalah suatu keniscayaan yang harus dihadapi Indonesia. Berlaku adagium siapa lebih siap, cepat, dan inovatif akan mendapat tempat dan tetap selamat (survive), tetapi yang tidak siap harus rela semakin tertinggal.
Berdasarkan data BPS per Agustus 2018, pengangguran terbuka Indonesia 5,34 persen, lebih baik dibandingkan periode sama 2017 sebesar 5,5 persen. Namun, serapan tenaga kerja belum terlalu signifikan mengurangi pengangguran, per September 2018 secara kumulatif 960.052 orang, di mana 469.684 orang terserap di proyek PMDN dan 490.268 orang terserap pada proyek PML.
Selain menambah pelatihan kerja dan meningkatkan keterampilan angkatan kerja, juga perlu ditingkatkan pola pikir dari yang pasif dan reaktif menjadi lebih proaktif, peduli, kritis, dan inovatif. Ibarat permainan sepak bola, angkatan kerja tidak boleh lagi hanya sekadar menunggu bola, bergantung terus pada pemerintah, tetapi harus menjemput bola, meningkatkan kemampuan diri sendiri, agar tidak tertinggal dalam kompetisi persaingan kerja.
Di atas segalanya, segala upaya mengejar pertumbuhan ekonomi berkualitas harus selalu menjaga kelestarian lingkungan hidup. Tanggung jawab ekonomi harus dibarengi tanggung jawab ekologi. Harus ada keseimbangan antara kemakmuran ekonomi dan kualitas ekologi yang semakin baik. Pemerintah harus jadi teladan dan mendorong peran serta aktif masyarakat dan pelaku ekonomi agar senantiasa memperhatikan lingkungan dan mengejar tingkat profitabilitas sewajarnya.
Kerusakan alam akibat polusi (karbon) dan pencemaran limbah dan sampah (plastik) pada air, tanah, dan udara harus menjadi alarm tanda awas agar tetap memperhatikan kondisi alam terutama laut dan hutan dalam setiap derap langkah pembangunan infrastruktur dan ekonomi nasional.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan menjadi percuma jika mengabaikan aspek kelestarian ekosistem karena ini investasi mulia bagi generasi penerus bangsa dan memberikan efek resiprokal bagi kualitas kesehatan dan intelegensia manusia. Jika kualitas lingkungan hidup terjaga, kualitas kesehatan manusia akan lebih baik dan berpengaruh positif ke produktivitas kerja dan kreativitas.
Kabar baiknya adalah investor yang berminat berinvestasi di Indonesia cukup banyak. Tiga lembaga pemeringkat internasional, Standard and Poor’s, Moody’s, dan Fitch, menempatkan Indonesia di posisi Layak Investasi.
Berdasarkan data BKPM, per Januari-Desember 2018 angka realisasi investasi Rp 721,3 triliun, meningkat 4,1 persen dari 2017 sebesar Rp 692,8 triliun. Peningkatan angka realisasi ini merupakan bukti nyata kepercayaan para investor terhadap Indonesia.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah menjaga iklim investasi tetap kondusif lewat kemudahan perizinan/birokrasi, kestabilan keamanan dan kepastian berusaha melalui kebijakan yang tak tumpang tindih. Indonesia setidaknya masih punya faktor pendorong positif masif berupa jumlah penduduk besar, lebih dari 260 juta, iklim politik kondusif dan pola konsumtif masyarakat yang tinggi.
Santo Rizal Samuelson Pemerhati Ekonomi dan Politik Indonesia