Pahlawan pemilu berjibaku dalam tugas ketika sebagian besar orang tidur lelap. Sebelum, saat pemungutan, dan sehari setelah pemungutan menjadi hari-hari yang sangat melelahkan. Selain menguras tenaga, waktu, dan materi, sebagian dari mereka kehilangan nyawa saat tugas. Pahlawan pemilu itu bekerja demi kelancaran pesta demokrasi.
Oleh
Dhanang David Aritonang / Aguido Adri
·7 menit baca
Ketika sebagian besar orang tidur lelap, petugas di tempat pemungutan suara masih berjibaku dalam tugas. Sebelum, saat pemungutan, dan sehari setelah pemungutan menjadi hari-hari yang sangat melelahkan. Selain menguras tenaga, waktu, dan materi, sebagian dari mereka kehilangan nyawa saat tugas. Pahlawan pemilu itu bekerja demi lancarnya pesta demokrasi.
Kamis (18/4/2019) dini hari, kesibukan masih tampak di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 108 di Kelurahan Cijantung, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. ”PKS dua (caleg nomor urut dua), Gerindra empat, Nasdem satu, PDI-P satu,” teriak Lie Syarifudin, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 108. Petugas KPPS lain mencatatkan pertambahan suara itu di kolom partai di C1 plano yang menempel di papan.
Pekik Lie terus berlanjut setiap kali surat suara yang telah dicoblos pemilih dibukanya. Begitu pula kerja Sutanji. Ketika mereka merasa lelah, petugas KPPS lain menggantikan. Sementara pengawas TPS dan saksi dari sejumlah partai politik, tetap awas, mencermati seluruh proses di TPS itu hingga tuntas.
Di tengah kelelahan yang mendera, mereka saling menyemangati satu sama lain. Tak jarang, candaan dilontarkan untuk melepas lelah. Sekitar pukul 01.00, Kamis, proses penghitungan suara baru tuntas. Dengan jumlah pemilih di TPS 108 sebanyak 207 orang, berarti petugas KPPS sudah menghitung 828 surat suara.
Pada Pemilu 2019 ada lima surat suara untuk setiap pemilih. Surat suara pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sementara di Jakarta ada empat jenis surat suara yang harus dicoblos pemilih tanpa ada surat suara untuk DPRD kabupaten/kota.
”Selesai juga akhirnya,” ujar Yulianti (52), petugas KPPS lainnya di TPS 108, saat surat suara terakhir dibacakan pukul 01.00. Mereka baru sadar, selama pemungutan suara sudah bertugas selama sekitar 19 jam sebab mereka sudah bertugas di TPS sejak sekitar pukul 06.00, Rabu (17/4/2019).
Sebelum TPS dibuka pukul 07.00, mereka lebih dulu menyiapkan logistik pemilu yang akan digunakan pemilih. Namun, khusus Yulianti, dia sudah bangun lebih pagi. Sejak sekitar pukul 04.00, Rabu, dia sudah sibuk menyiapkan makanan seperti nasi liwet, semur jengkol, dan minuman untuk pemilih, petugas KPPS, pengawas TPS, dan saksi partai saat tiba waktu istirahat. Warga memanfaatkan hari pemungutan sebagai ajang silaturahmi.
Ternyata tugas mereka tidak hanya pada hari pemungutan. Namun, sehari sebelumnya, Selasa (16/4/2019), petugas KPPS sudah begadang. Hingga larut malam, Yulianti bersama petugas KPPS lain menyiapkan dekorasi TPS. Sama seperti pemilu sebelumnya, TPS 108 dihias meriah. Kali ini, bergaya pelaminan. Tujuannya, untuk memikat pemilih mencoblos.
”Pemilu ini hajatan warga, perlu kita rayakan karena ini lima tahun sekali. Semua akan terbayar jika penyelenggaraan pemilu berhasil dan damai,” tutur Yulianti.
Di TPS 025, Kelurahan Pondok Jagung Timur, Kecamatan Serpong Utara, Tangerang Selatan, Banten, KPPS bahkan baru menuntaskan kerja mereka pada pukul 06.30, Kamis pagi. Kelelahan membuat penghitungan suara semakin melambat. Konsentrasi mereka makin berkurang.
Namun, kala itu terjadi, petugas KPPS lain yang masih ”kuat” mengingatkan sehingga kesalahan bisa dicegah. Tak jarang pula, petugas bergantian melontarkan candaan untuk menjaga konsentrasi.
Ketua KPPS Hariadi Agung mengatakan, kerja pada pemilu kali ini dua kali lipat lebih berat dari Pemilu 2014. Saat itu, TPS sudah tutup sekitar pukul 19.30. Ini tak lain karena pada 2019 sistem pemilu diubah. Pemilu presiden yang sebelumnya digelar terpisah dengan pemilu legislatif kini digelar serentak dalam satu hari.
Mendampingi pemilih
Sementara di TPS 221, Panti Sosial Bina Marga Harapan Sentosa 1, Cengkareng, Jakarta Barat, proses pemungutan hingga penghitungan suara lebih cepat usai. Dibuka pukul 07.00, Rabu, TPS ditutup sebelum berganti hari, sekitar pukul 23.00.
Meski demikian, bukan berarti kerja mereka ringan. ”Sejak 16 April kami tidak tidur karena mengurus logistik serta mengisi formulir C6 untuk para pemilih. Kemudian, pada hari pemungutan suara, kami juga harus bekerja ekstra sabar membimbing para ODGJ,” kata Junaedi (40), salah seorang petugas KPPS di TPS 221.
ODGJ dimaksud, singkatan dari orang dengan gangguan jiwa. Namun, bukan berarti mereka tidak bisa memilih. Mereka masih memiliki kapasitas untuk memahami tujuan pemilu dan menentukan calon terbaik. Undang-Undang Pemilu pun menjamin hak pilih mereka.
Mereka hanya butuh panduan saat memilih. Ini yang terlihat saat proses pemungutan suara, petugas harus berulang kali memandu.
Namun, bukan memandu mereka mencoblos siapa. Panduan sebatas saat membuka dan melipat surat suara. Kemudian saat surat dimasukkan ke kotak, lalu mencelupkan jari ke tinta setelah mencoblos. ”Meski lelah, tetapi puas. Ternyata mereka bisa mengikuti pemilu dengan lancar,” kata Junaedi.
Meninggal
Meski demikian, tak sedikit pula kisah petugas KPPS yang meninggal saat atau setelah menjalankan tugas. Di Malang dan Bogor, petugas KPPS diduga meninggal dunia kelelahan. Kemudian di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, dua petugas KPPS jatuh pingsan karena tidak tidur sejak Rabu pagi hingga proses penghitungan suara tuntas, Kamis pagi.
Tak hanya petugas KPPS. Di Banyuwangi, persisnya di TPS 9 Dusun Mantren, Desa/Kecamatan Kabat, salah seorang saksi partai meninggal saat sedang bertugas. Sekitar pukul 15.00, dia dikabarkan meninggal setelah sebelumnya mengeluh sesak napas dan muntah di TPS.
Sementara itu, sejumlah anggota KPPS di Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, jatuh sakit akibat kurang istirahat. Seorang anggota KPPS di Kelurahan Mappala tiba-tiba tak sadarkan diri setelah selesai mengisi formulir C1. Di Kelurahan Minasa Upa, seorang anggota KPPS bahkan harus dirawat di rumah sakit.
Di Kota Bandung, seorang polisi Ajun Inspektur Satu M Saifudin tewas di Rumah Sakit Ujung Berung, diduga karena kelelahan setelah mendistribusikan surat suara dan menjaga pemungutan suara. Sebelum tewas, Saifudin mengeluh lelah, tetapi ia melanjutkan tugas mengawal distribusi kotak suara ke sejumlah TPS.
Di TPS 27 Kelurahan Rungkut Tengah, Kecamatan Gununganyar, Surabaya, KPPS baru bisa pulang ke rumah setelah 34 jam bergulat dengan kertas suara. ”Saya tiba di TPS pada Rabu pukul 06.00 dan baru bisa pulang ke rumah Kamis keesokan hari pukul 16.00. Sangat melelahkan, tetapi pengorbanan kami tidak akan sia-sia untuk demokrasi negeri ini,” kata Ketua KPPS di TPS 227 Rungkut Tengah Adi Sujanto.
Penghitungan lima kertas suara dari 293 pemilih di TPS ini sejatinya selesai Kamis (18/9/2019) pukul 05.00 atau 20 jam setelah TPS dibuka. Namun, tujuh KPPS masih harus mengisi berbagai formulir yang pada akhirnya membuat pekerjaan mereka selesai sekitar pukul 11.00. Setelah itu, kertas suara dikirim ke kelurahan. ”Ternyata masih ada kesalahan sehingga harus memperbaiki formulir sehingga baru bebar-benar bisa pulang istirahat pukul 16.00,” kata Adi.
Evaluasi
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, menilai, sejauh ini proses pemungutan dan penghitungan suara secara manual sudah berjalan dengan baik. Hal tersebut karena prosesnya yang melibatkan partisipasi banyak pihak sehingga berjalan transparan.
Meski begitu, Hadar menilai ada beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam proses perhitungan suara untuk pemilu ke depan. Salah satunya dengan meringankan beban kerja KPPS melalui pemanfaatan sistem informasi untuk menginput hasil rekapitulasi.
Dengan menggunakan sistem informasi semacam itu, KPPS tidak akan direpotkan urusan-urusan administratif, seperti penandatanganan dokumen yang jumlahnya tidak sedikit. ”Formulirnya cukup satu saja, salinannya bisa di foto atau menggunakan teknologi informasi,” katanya kepada Kompas, Jumat (19/4/2019).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyarankan agar desain pemilu serentak dievaluasi para penyelenggara pemilu. Dengan desain penghitungan lima surat suara itu, otomatis beban penghitungan menjadi lebih besar. ”Bukan penyelenggara saja yang kelelahan, tetapi juga pemilih dan peserta pemilu. Untuk penyelenggara, mereka dipaksa bekerja di luar kemampuan tubuhnya pada hari pemungutan,” katanya.
Titi menyarankan agar pemilu dijalankan dengan dua skema keserentakan. Pertama, pemilu serentak nasional untuk pemilihan presiden, DPR RI, dan DPD. Kedua, pemilu serentak daerah dengan selang waktu 30 bulan untuk pemilihan kepala daerah dan DPRD.
Solusi lain yang bisa meringankan beban KPPS, menurut Titi, adalah memperbanyak jumlah TPS sehingga jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di setiap TPS menjadi lebih sedikit. Implikasinya, petugas dan anggaran yang dibutuhkan menjadi lebih banyak. (Kristian Oka Prasetadi/Iqbal Basyari/Tatang Sinaga/Insan Alfajri/Fajar Ramadhan/Aditya Diveranta)