Pemilu 2019, Ujian Terakhir Demokrasi Indonesia?
Saat membuka rapat kerja Komisi Pemilihan Umum di Istana Negara, Jakarta, pada Oktober 2014, presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan, penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019 akan menjadi ujian terakhir yang tidak mudah bagi pematangan demokrasi nasional. Sejumlah tantangan harus bisa dilalui penyelenggara dan peserta hingga pemilih dan seluruh rakyat Indonesia.
Pada rapat kerja KPU saat itu yang dihadiri Ketua KPU Husni Kamil Malik dan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Muhammad, Presiden Yudhoyono menyampaikan pandangannya terhadap proses demokrasi Indonesia ke depan.
Menurut Yudhoyono yang kala itu bersiap menanggalkan statusnya sebagai presiden, demokrasi di Indonesia akan semakin meningkat dan matang jika penyelenggaraan Pemilu 2019 berjalan damai dan demokratis. Yudhoyono juga berharap penyelenggara pemilu dapat terus meningkatkan kualitas pemilu dari waktu ke waktu sehingga dapat lebih baik.
Pesan Presiden Yudhoyono memang cukup beralasan. Pasalnya, penyelenggaraan Pemilu 2014 dinilai cukup sukses, damai, dan demokratis. Meski diwarnai sejumlah sengketa dan gugatan di Mahkamah Konstitusi terkait dengan hasil pemilu, hal itu tidak menyebabkan kekacauan dan keretakan hubungan yang besar di tingkat elite dan juga akar rumput.
Empat setengah tahun berlalu, pesta demokrasi kembali diselenggarakan di Indonesia. Namun, sebelum hari pemungutan suara dilaksanakan pada Rabu (17/4/2019), penyelenggara telah menghadapi sejumlah tantangan untuk memastikan Pemilu 2019 benar-benar berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Tantangan yang dihadapi penyelenggara sebelum hari pemungutan suara beragam. Pada Januari lalu, penyelenggara diserang hoaks penemuan tujuh kontainer surat suara tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Padahal, saat itu surat suara Pemilu 2019 belum diproduksi dan didistribusikan. KPU dan Bawaslu pun menindaklanjuti dengan melaporkan hoaks tersebut ke Badan Reserse Kriminal Polri.
Permasalahan daftar pemilih tetap juga menjadi tantangan KPU. Permasalahan ini muncul saat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melaporkan ada 17,5 juta data daftar pemilih tetap (DPT) yang dinilai tidak wajar karena DPT itu memiliki nama, tanggal lahir, dan bulan yang sama.
KPU kemudian melakukan verifikasi faktual dan koordinasi dengan sejumlah pihak, seperti Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri hingga para pakar dan akademisi. Dari hasil verifikasi, KPU menyatakan bahwa data DPT tersebut wajar dan apa adanya sesuai regulasi atau kebijakan pencatatan sipil yang berlaku.
Pada 11 April, penyelenggara pemilu kembali harus menghadapi kasus penemuan surat suara tercoblos di Selangor, Malaysia. KPU dan Bawaslu pun bergegas untuk menuntaskan kasus itu di sisa waktu satu minggu sebelum hari pemungutan suara pada 17 April.
Dari hasil penemuan tim yang terjun langsung ke Malaysia, Bawaslu kemudian merekomendasikan agar KPU melakukan pemungutan suara ulang melalui metode pos di Kuala Lumpur dan memberhentikan dua orang yang menjadi Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN). KPU pun menyatakan akan menjalankan rekomendasi dari Bawaslu tersebut.
Partisipasi meningkat
Selain berbagai kasus yang harus dihadapi sebelum hari pemungutan suara, penyelenggara pemilu juga menargetkan dapat meningkatkan partisipasi pemilih dari 75,11 persen pada pileg 2014 menjadi 77,5 persen pada pemilu 2019. Kenaikan tingkat partisipasi pemilih ini menjadi faktor kematangan demokrasi sebuah negara.
Anggota KPU, Hasyim Asyari, saat diwawancari Kompas beberapa waktu lalu optimistis keikutsertaan pemilih dalam Pemilu 2019 akan mencapai target 77,5 persen. Menurut dia, kecenderungan orang memilih lebih tinggi pada pemilu serentak di tingkat nasional, seperti DPR, DPD, dan presiden.
”Keikutsertaan pemilih dipengaruhi oleh faktor politik, yakni umumnya orang memilih karena profil calon dan isu dalam kampanye. Orang memilih juga karena faktor desain kepemiluan. Orang lebih antusias dengan pilpres yang tingkatnya nasional dibandingkan dengan pilkada. Peserta pemilu juga akan mengerahkan segala sumber dayanya pada pemilu tingkat nasional ini,” katanya.
Desain pemilu serentak ini ternyata cukup sukses meningkatkan partisipasi pemilih. Meski KPU masih merekapitulasi data, berdasarkan hasil hitung cepat Litbang Kompas, angka partisipasi pemilih Pemilu 2019 naik menjadi 81,7 persen atau telah melebihi target KPU.
Demokrasi cacat
Meski demikian, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu bukan satu-satunya faktor yang membuat demokrasi sebuah negara menjadi lebih matang dan berkualitas.
Mengacu penilaian dari The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dikelola majalah The Economist, terdapat lima variabel untuk mengukur Indeks Demokrasi Dunia. Kelima variabel tersebut adalah proses elektoral dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, kultur politik, dan kebebasan sipil.
Berdasarkan Indeks Demokrasi Dunia 2018 EIU, Indonesia masih jauh dikategorikan sebagai negara yang demokratis seutuhnya. Indonesia berada di peringkat ke-65 dengan nilai 6,39 dari 167 negara yang digolongkan. Dalam skala 0-10, semakin besar nilai indeks, semakin baik kondisi demokrasi sebuah negara.
Peringkat ini juga membuat Indonesia masuk dalam kategori yang sama dengan Amerika Serikat dan Jepang, yakni negara dengan demokrasi yang masih cacat. Adapun empat kategori yang ditetapkan EIC antara lain, negara dengan demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrid, dan otoriter.
Sementara angka Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2017 yang dirilis Badan Pusat Statistik pada Agustus 2018 memang menunjukkan kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dalam skala 0 sampai 100, angka IDI 2017 adalah 72,11. Sementara pada 2016, angka IDI sebesar 70,09. Namun, dalam jangka panjang, angka IDI relatif stagnan. Dalam standar pengukuran BPS, indeks demokrasi masuk kategori baik jika berada di atas angka 80, sedang di angka 60-80, dan buruk di bawah 60.
Terlepas dari tantangan yang dihadapi penyelenggara pemilu dan hal-hal lainnya, demokrasi Indonesia juga sulit matang jika tidak melibatkan peserta pemilu. Partai politik perlu berkontribusi dalam memberikan pendidikan politik yang baik di masyarakat, seperti menumbuhkan budaya menerima perbedaan pilihan dan pendapat.
Selain itu, kualitas demokrasi juga akan diukur dari kedewasaan kedua pasangan capres-cawapres ataupun calon anggota legislatif dalam menerima hasil pemilu dengan bijak dan lapang dada serta tetap menjaga suasana damai pasca-pemungutan suara.
Lalu pertanyaannya, bisakah penyelenggara, peserta pemilu, dan pemilih dapat bahu-membahu untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia? Semoga!