Petugas Antisipasi Faktor Kelelahan Saat Rekapitulasi Suara
Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan mengantisipasi faktor kelelahan yang bisa mengancam kondisi kesehatan mereka saat rekapitulasi suara.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan mengantisipasi faktor kelelahan yang bisa mengancam kondisi kesehatan mereka saat rekapitulasi suara. Hal ini dilakukan untuk menghindari dampak buruk yang terjadi karena sejumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara meninggal akibat kelelahan saat pemungutan suara.
Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Solihin, mengatakan, petugas PPK memiliki waktu minim untuk beristirahat selama proses rekapitulasi suara tingkat kecamatan. Faktor kelelahan tidak bisa dihindari karena petugas hanya memiliki waktu maksimal 17 hari terhitung sejak Kamis, 18 April, untuk merekapitulasi surat suara.
”Kami berkejaran dengan waktu. Setiap hari, kami mulai rekapitulasi dari pukul 09.00 hingga pukul 23.00. Pada Kamis (18/4/2019), petugas kami tidak tidur karena harus menerima kotak suara dari 881 TPS di tujuh kelurahan,” ujar Solihin di GOR Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (20/4/2019).
Ia menyebutkan, sudah ada satu petugas dari Kelurahan Jati Padang, Jakarta Selatan, yang dibawa ke rumah sakit karena kelelahan saat mengumpulkan kotak suara. Proses rekapitulasi suara DPR dan DPRD, ujarnya, paling banyak memakan waktu mereka.
”Kalau surat suara pilpres, biasanya bisa selesai satu hari, sedangkan surat suara DPR dan DPRD bisa memakan waktu tiga sampai empat hari,” katanya.
Solihin menyayangkan tidak adanya petugas medis yang bersiaga selama rekapitulasi surat suara berlangsung. Menurut dia, petugas medis hanya hadir ketika hari pengumpulan kotak suara di tingkat kecamatan.
”Saya selalu mengimbau kepada petugas, jika ada yang kelelahan, harap melapor kepada saya. Kami pun harus menyesuaikan waktu penghitungan surat suara bersama dengan saksi dan pengawas pemilu tingkat kecamatan,” ucapnya.
Solihin menuturkan, karena sebagian besar petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kelelahan, banyak formulir C1 yang tidak akurat dalam proses pengisiannya. Karena itu, petugas di kecamatan harus ekstra teliti untuk memeriksa formulir C1 yang ada.
Senada dengan Solihin, Ketua PPK Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, Mohammad Guntur mengatakan, petugas harus mampu mengontrol sendiri kondisi fisiknya ketika di lapangan. Menurut dia, proses pengangkutan logistik seperti kotak suara serta rapat pleno rekapitulasi yang padat membuat petugas di lapangan kelelahan.
”Kami pun harus menginap di Gelanggang Remaja Kembangan, tidur hanya beralaskan tikar, karena kami tidak punya waktu untuk pulang ke rumah. Petugas di sini sudah mulai ada yang sakit dan masuk angin karena kelelahan,” ujarnya, dihubungi dari Jakarta.
Menurut Guntur, di Kecamatan Kembangan hanya ada lima petugas yang merekapitulasi suara dari 824 TPS di 6 kelurahan. Menurut dia, jumlah petugas ini dirasa tidak cukup untuk merekapitulasi suara.
Guntur menambahkan, dirinya tidak ingin jika proses rekapitulasi ini sampai merenggut nyawa petugas di lapangan. Oleh karena itu, ia bersama tim di lapangan harus bisa mengatur waktu istirahat dan rekapitulasi suara.
”Kami mengatur waktu rekapitulasi suara. Jika mulainya pukul 09.00, kami hanya bekerja hingga sore pukul 17.00. Namun, jika kami bekerja mulai pukul 13.00, kami harus bekerja hingga malam pukul 23.00,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua KPU DKI Jakarta Betty Epsilon Idroos mengatakan, pada Selasa (16/4/2019), ada satu petugas KPPS yang meninggal di Jakarta Barat. Petugas tersebut memiliki riwayat penyakit jantung dan kelelahan karena menyiapkan logistik.
”Sayangnya, mereka tidak mendapat asuransi jiwa. Kemudian, memang tidak ada tenaga medis yang disiapkan ketika di lapangan. Oleh sebab itu, kami berharap pemerintah bisa memperhatikan hal ini nantinya,” ucapny.
Betty berharap, kejadian serupa tidak menimpa petugas kecamatan yang melakukan rekapitulasi suara. Menurut dia, petugas juga harus memperhatikan waktu agar bisa beristirahat saat rekapitulasi suara.
”Tuntutan kerja petugas sangat berat dan ini menjadi risiko kami sebagai penyelenggara pemilu. Di tengah beban kerja yang berat ini, kami pun harus teliti dalam melakukan rekapitulasi suara,” lanjutnya.
Sayangnya, mereka tidak mendapat asuransi jiwa. Kemudian, memang tidak ada tenaga medis yang disiapkan ketika di lapangan. Oleh sebab itu, kami berharap pemerintah bisa memperhatikan hal ini nantinya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyarankan agar desain pemilu serentak dievaluasi penyelenggara pemilu. Dengan desain penghitungan lima surat suara untuk daerah luar DKI Jakarta dsn empat surat suara untuk DKI, otomatis beban penghitungan menjadi lebih besar.
”Bukan penyelenggara saja yang kelelahan, tetapi juga pemilih dan peserta pemilu. Untuk penyelenggara, mereka dipaksa bekerja di luar kemampuan tubuhnya pada hari pemungutan,” katanya.
Proses pemilu kali ini telah memakan korban jiwa, seperti di Malang dan Bogor, petugas KPPS diduga meninggal karena kelelahan. Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, dua petugas KPPS pingsan karena tidak tidur sejak Rabu pagi hingga proses penghitungan suara tuntas pada Kamis pagi.
Hal itu tak hanya dialami petugas KPPS. Di Banyuwangi, di TPS 9 Dusun Mantren, Desa/Kecamatan Kabat, seorang saksi partai meninggal saat sedang bertugas. Sekitar pukul 15.00, dia dikabarkan meninggal setelah mengeluh sesak napas dan muntah di TPS.