Setelah Pencoblosan Selesai ...
”Menang atau kalah, tetapi selalu bersama demokrasi”. Demikian isi banner yang dibawa Socrates Brasileiro dan para pemain klub sepak bola Corinthians saat memasuki Stadion Morumbi jelang laga final melawan Sao Paolo di kota Sao Paolo, Brasil, 1983.
Seruan itu merupakan salah satu ikon Gerakan Demokrasi Corinthians yang akhirnya membangkitkan kesadaran masyarakat Brasil untuk mengakhiri rezim militer di Brasil saat itu. Kemenangan klub pujaan adalah penting. Namun, di tengah angin perubahan, kepentingan masyarakat Brasil lebih utama.
Sebagai bagian dari keluarga besar masyarakat Brasil, orientasi Socrates dan masyarakat Corinthians adalah mewujudkan demokrasi di bumi Brasil demi kesejahteraan umum. Inilah kepentingan yang lebih besar daripada kemenangan klub pujaan.
Sepak bola tak henti-hentinya memberikan kearifan pada banyak hal, termasuk politik. Ini tidak hanya berlaku untuk perjalanan demokrasi Brasil, tetapi juga relevan bagi perjalanan demokrasi bangsa Indonesia yang baru saja melangsungkan pemungutan suara pada 17 April lalu.
Pemilu 2019 berlangsung aman, damai, dan lancar. Prosesnya telah berlangsung sejak tahun lalu, mulai dari pendataan pemilih, pendaftaran peserta pemilu, kampanye, sampai dengan pemungutan suara. Terdapat sejumlah persoalan teknis di lapangan. Namun, secara umum, hajatan berlangsung baik.
Ini adalah pemilu sehari yang terkompleks di dunia untuk menentukan presiden-wakil presiden dan lebih dari 20.000 kursi legislatif dari daerah sampai nasional. Pemilih terdaftar mencapai 192,84 juta jiwa tersebar di lebih dari 800.000 tempat pemungutan suara.
Ini adalah pemilu sehari yang terkompleks di dunia untuk menentukan presiden-wakil presiden dan lebih dari 20.000 kursi legislatif dari daerah sampai nasional. Pemilih terdaftar mencapai 192,84 juta jiwa tersebar di lebih dari 800.000 tempat pemungutan suara
Keputusan final akan diumumkan Komisi Pemilihan Umum pada pertengahan Mei. Mekanisme standar, seperti perhitungan suara manual berjenjang dan sejumlah syarat administrasi, memerlukan waktu sekitar sebulan.
Meski demikian, sejumlah lembaga survei telah mengumumkan hasil perhitungan cepat. Meski tak menjadi rujukan keputusan final KPU, hasil perhitungan cepat merupakan indikator yang bisa digunakan masyarakat untuk memproyeksikan hasil akhir pemilu.
Wajar jika atas hasil penghitungan cepat tersebut, masyarakat lebih banyak memperbincangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menang. Seperti halnya majalah, hal pertama yang menyita perhatian adalah sampulnya.
Makna pemilu
Namun, jangan lupa, pemilu tak bisa direduksi semata pada siapa yang menang, siapa yang kalah. Banyak aspek penting yang mesti dilihat dari hasil Pemilu 2019. Salah satunya bagaimana memaknai Pemilu 2019 dalam konteks perjalanan sejarah bangsa dan relevansinya terhadap pendewasaan demokrasi berikut efektivitasnya mewujudkan kesejahteraan umum.
(Pemilu 2019) dengan semua catatan dan bopeng-bopeng demokrasi, menjadi catatan yang tak ternilai harganya untuk membangun sebuah demokrasi. Jangan kemudian demokrasi yang sudah kita bangun dengan susah payah ini mengalami defisit,
Sebagaimana pesan banner yang diusung Socrates, ada kepentingan yang jauh lebih besar ketimbang soal menang atau kalah. Dalam konteks bangsa Indonesia, kepentingan besar itu adalah menjaga demokrasi Indonesia berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
”Oleh karena itu, (Pemilu 2019) dengan semua catatan dan bopeng-bopeng demokrasi, menjadi catatan yang tak ternilai harganya untuk membangun sebuah demokrasi. Jangan kemudian demokrasi yang sudah kita bangun dengan susah payah ini mengalami defisit,” kata Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Priyo Budi Santoso dalam talk show Satu Meja The Forum yang disiarkan Kompas TV, Rabu (17/4/2019).
Priyo mengingatkan, ujung dari semua proses Pemilu 2019 adalah bahwa bangsa Indonesia harus tetap bersatu menjaga kerukunan dan kedamaian.
”Ujung dari semua, jika KPU sudah ketok palu, kita tetap harus mempertahankan persatuan nasional kita yang hebat,” kata Priyo.
Hadir sebagai panelis lain dalam acara tersebut adalah Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Jakarta Komaruddin Hidayat, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy, kader PDI Perjuangan Charles Honoris, dan Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria. Acara dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo.
Rekonsiliasi
Rekonsiliasi pascapemilu menjadi pesan utama Hamdi. Ini tidak hanya tertuju kepada masyarakat yang terbelah selama masa kampanye, tetapi justru terutama untuk elite politik yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan teladan.
”Marilah kita hilangkan narasi-narasi pemenang dan pecundang. Semua adalah pemenang dalam demokrasi. Ini adalah demokrasi besar yang berlangsung damai. Semua menjadi pemenang,” kata Hamdi.
Hamdi mengimbau agar semua pihak tidak saling merendahkan. Semua pihak mesti menempatkan persatuan di atas kepentingan kelompok. ”Persaudaraan, pertemanan, dan hal-hal yang mengikat kita sehari-hari sebagai bangsa, itulah hakikat kita berbangsa. Itulah yang langgeng. Sementara pemilu hanya per lima tahun,” katanya.
Lukman menambahkan, peserta Pemilu 2019 acapkali mengedepankan pragmatisme politik selama kampanye. Tak jarang hal ini mengorbankan etika dan idealisme bangsa, yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. ”Sebaiknya kita singkirkan semua pragmatisme itu. Kita kembali ke sebuah bangsa yang beragam dan maju dengan persatuan yang solid,” katanya.
Hal senada disampaikan Riza, persatuan dan kesatuan perlu dikedepankan. Ia juga mengapresiasi tingginya tingkat partisipasi masyarakat.
Komaruddin memberikan evaluasi kepada partai politik. Parpol mempunyai kewenangan besar dalam membuat kebijakan publik. Pada saat yang sama, parpol juga wajib memiliki agenda besar mendewasakan demokrasi Indonesia.
”Problemnya, saya kok kurang percaya bahwa iklim demokrasi tumbuh dalam tubuh parpol (sendiri). Orang luar tidak punya akses untuk mengaudit dan memeriksa parpol, mulai perekrutan, keuangan, dan sebagainya,” katanya.
Tugas legislatif yang diisi oleh kader parpol yang lolos dalam pemilu, menurut Komaruddin, adalah menegakkan etika dan mengawasi kebijakan publik. ”Namun, dalam dirinya sendiri, budaya dan nilai tersebut tidak tumbuh,” ujarnya.
Bangsa Indonesia baru saja menyelesaikan pemilu. Masyarakat dan pemangku kepentingan harus bersama mengawal dan menerima apa pun hasilnya. Seperti banner Socrates, ini jauh dari sekadar menang atau kalah. Ini menyangkut modal penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia sekaligus momentum positif untuk meningkatkan performa politik, ekonomi, sosial, dan budaya bangsa.