Kisah Si Peracik Cerita
Jika film itu sebuah sajian masakan, Eric Khoo (54) adalah peracik bumbu yang masyhur. Ia lihai memadukan berbagai cerita ke dalam narasi bergerak. Ia juga memimpin orkestrasi ide bersama banyak orang. Lewat film, Eric melintasi banyak sekat.
Saat masih bocah ingusan, cita-citanya hanya menggambar. Seiring waktu, Eric Khoo fokus merangkai potongan gambar bergerak, memadukan cerita, dan meracik semuanya dalam narasi utuh.
Sejumlah film besutannya menuai penghargaan di Singapura, negara asalnya. Di pertengahan ’90-an, beberapa filmnya bahkan dianggap mereformasi iklim perfilman di negara itu. Film seperti 12 Storeys atau Mee Pok Man juga melanglang buana ke berbagai festival film internasional, dari Cannes, Berlin, hingga Venice. Dua film ini sekaligus menjadi pelopor kiprah Singapura di kancah perfilman internasional.
Eric perangkai cerita ulung, sekaligus tumbuh menjadi pelaku film yang andal. Ia juga melihat lebih jauh, menyatukan berbagai pelaku film lintas negara untuk menghasilkan sesuatu yang seirama. Setelah melibatkan sejumlah sutradara dalam Folklore, antologi horor dari enam negara, Eric sebentar lagi hadir dengan antologi terbaru. Food Lore adalah nama proyek terbarunya itu, sebuah antologi film bertema makanan.
Serupa dengan antologi sebelumnya, ia merangkul sutradara dari sejumlah negara di Asia. Bedanya, jika dalam Folklore hanya ada enam sutradara dari enam negara, kali ini bertambah dua negara. Indonesia tentu kembali terpilih.
Pertengahan Maret lalu, Kompas berbincang dengan Eric selepas rangkaian konferensi pers produksi orisinal terbaru HBO Asia di Hong Kong. Jaringan televisi berbayar ini ikut dalam bagian Hong Kong Filmart 2019. Salah satu yang diperkenalkan di ajang ini adalah antologi terbaru besutan Eric.
Berkemeja hitam dibungkus blazer biru dongker dan celana jins belel, Eric bercerita soal proyek film, masa kecil, hingga pandangannya terhadap industri film di Indonesia.
Eric adalah sosok yang berenergi. Semangatnya meluap dan memberi resonansi ke sekitar. Bicaranya cepat dan penuh intonasi, seperti ingin menyampaikan banyak informasi dalam satu tarikan napas.
Makanan dan hati
Antologi terbaru Anda bernama Food Lore. Bisa Anda ceritakan proyek terbaru ini?
Food Lore bercerita tentang ingatan manusia dan bagaimana makanan itu berkaitan dengan kita.
Asia punya kultur makanan yang begitu kuat. Semua sutradara yang ikut dalam antologi ini punya cita rasa yang sama terhadap makanan. Saya respek kepada mereka semua. Ketika saya bilang saya ingin membuat proyek film tentang makanan, semuanya bilang ”yess!” (menjentikkan jari).
Antologi ini terbagi dalam delapan cerita yang berbeda-beda. Setiap cerita punya karakter masing-masing, ada yang komedi, ada yang serius. Saya merasa ini sesuatu yang bagus, sesuatu yang merepresentasikan Asia dan kultur kita masing-masing.
Anda yang memilih cerita?
Saya hanya membantu dan semua sutradara datang dengan ide masing-masing. Kami berdiskusi dengan masing-masing sutradara ini, juga dengan HBO Asia. Lalu kami memutuskan strategi bagaimana membangun cerita. Saya memberi mereka ruang untuk menunjukkan kreativitas.
Kenapa bertema makanan?
Tentunya semua orang di dunia suka makan, tetapi di Asia berbeda. Ada negara di luar Asia yang makanannya buruk, tetapi di sini semuanya enak. Semua makanan (di Asia) memiliki bumbu yang terasa, pedas, sedap, plus jangan lupa sambal (kembali menjentikkan jari).
Misalnya, masa kecil saya di Singapura tidak pernah lepas dengan mee siam, yaitu makanan yang terasa pedas, gurih, dan sedikit manis. Lucunya, makanan dan rasa seperti ini hanya ada di Singapura. Sangat unik. Makanan ini menjadi bagian percampuran berbagai bangsa, seperti peranakan, Malaysia, China, dan India.
Ada isu khusus terkait makanan yang ingin Anda soroti?
Makanan itu sesuatu yang timeless. Itu bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang manusia, tentang hati. Saya memang menyukai makanan. Sebelumnya, saya juga membuat film bertema makanan yang bercerita tentang penyakit demensia. Makanan itu sesuatu yang lekat dengan memori. Semuanya tentang perasaan manusia, misalnya tentang masakan ibu.
Saya tidak pernah membayangkan membuat film tentang makanan sebelumnya. Saya cinta makan meski saya pikir tidak bisa jadi chef. Sebab, ketika memasak di akhir pekan, saya memang bisa membuat berbagai makanan, tetapi kadang enak, kadang juga tidak. Saya tidak bisa mereplikasi menunya.
Tetapi, Anda seperti koki juga, meracik cerita untuk difilmkan.
Oh, iya, saya mungkin memasak cerita dengan bumbu dan bahan yang cocok. Perumpamaan yang bagus.
Sebagai seorang produser, sutradara, juga penulis naskah, apa kunci untuk sukses?
Pada akhirnya, kita harus bekerja dengan hati. Kita harus memiliki rasa atas apa yang kita lakukan. Buat saya, membuat film itu kolaborasi segala hal.
Kolaborasi dengan semua orang adalah kuncinya. Dan yang terpenting juga memperlakukan artis karena mereka bekerja di layar dan harus mengungkapkan apa yang ingin mereka sampaikan kepada banyak orang. Mereka harus merasakannya.
Sebenarnya apa cita-cita Anda ketika kecil?
Saya mau menjadi seniman komik. Saya membuat gambar dan komik sejak umur 5-6 tahun. Saya tidak pernah berhenti menggambar, bahkan sampai saat ini. Saya tetap menggambar banyak hal di sela-sela waktu saya membuat film.
Perhatian khusus
Eric juga memiliki perhatian khusus terhadap pelaku film di Indonesia. Untuk antologi Food Lore, ia mengajak Billy Christian, seorang sutradara muda yang beberapa kali membuat film bertema horor, antara lain The Sacred Riana: Beginning. Billy akan menggarap film bertema makanan dari Indonesia.
Sebelumnya, Eric mengajak Joko Anwar untuk terlibat dalam Folklore, sebuah antologi horor. Film garapan Joko Anwar di antologi itu, A Mother’s Love, banyak mendapat apresiasi dari pergelaran film di sejumlah negara.
Akan tetapi, tidak hanya sutradara, Eric juga sering kali mengajak beberapa kru asal Indonesia untuk membuat film bersama. ”Saya banyak mengajak kru orang Indonesia dalam film saya. Untuk yang seri Food Lore ini ada enam orang yang terlibat untuk sesi film saya,” ujarnya.
Kenapa memilih orang Indonesia menjadi kru?
Awalnya, seorang rekan sering shooting di Indonesia dan memakai kru di negara Anda. Saya lalu ikut bekerja sama dan sangat menyukai kerja mereka. Saya mengundang mereka ke Singapura dan mengajak mereka terlibat di proyek film.
Kru dari Indonesia sangat berpengalaman dan saya bisa merasakan mereka tidak sekadar bekerja. Mereka proaktif dan menyebarkan energi positif. Mereka melakukan segala sesuatu dengan jiwa, sepenuh hati.
Lalu, bagaimana Anda melihat industri perfilman di Indonesia?
Indonesia sangat potensial. Saya rasa, di banyak negara, film domestik bisa berkembang karena kultur yang kuat dan bahasa lokal. Sayangnya, di Singapura tidak seperti itu karena sangat kecil. Secara kultur mereka tidak sama dengan negara lain.
Kalian punya itu, kalian punya kultur kuat, bahasa yang beragam. Populasi kalian sangat besar dan sangat menjanjikan. Di Indonesia juga banyak sutradara berbakat. Saya kira akan terus tumbuh sangat cepat.
Perkembangan film digital juga akan mendorong itu. Seperti kita tahu, di Asia banyak orang bertalenta, tetapi tidak punya banyak investor untuk merealisasikan, termasuk di Indonesia. Saya tahu berapa biaya dari film Joko Anwar, A Copy of My Mind, tetapi, hei, itu begitu terkenal di luar negeri.
Eric Khoo
Lahir: 27 Maret 1965
Kebangsaan: Singapura
Profesi: Sutradara, produser, penulis naskah
Film:
- Food Lore (antologi, tayang tahun ini)
- Folklore (antologi, 2018)
- Ramen Teh (2018)
- Apprentice (2017)
- 7 Letters (2015), dan lain-lain