Menakar Nilai Karya Seni
Mengikuti ajang pameran karya seni kontemporer berkelas dunia, seperti Art Central Hong Kong dan Art Basel Hong Kong 2019, akhir Maret lalu, tentu menjadi kesempatan berharga, baik bagi para seniman maupun bagi galeri-galeri yang menaungi mereka.
Manfaatnya tentu saja banyak, mulai dari kesempatan memperkenalkan karya kepada khalayak lebih luas hingga memperbesar peluang keuntungan finansial lewat karya- karya yang berhasil terjual. Tak hanya itu, akses dan koneksi jaringan juga semakin meluas. Hal ini akhirnya akan memperkaya pengalaman dan wawasan para pelaku seni itu sendiri.
Sejumlah seniman dan pemilik galeri mengemukakan hal itu saat diwawancarai Kompas sepanjang penyelenggaraan pameran seni rupa kontemporer Art Basel 2019 pada 29-31 Maret. Kompas menghadiri pameran ini atas undangan Pemerintah Kawasan Administratif Khusus Hong Kong.
Pameran karya seni, terutama kontemporer, yang diikuti galeri-galeri seni, mengundang para pedagang karya seni pula. Hal itu lantaran momentum ekshibisi menjadi kesempatan tatap muka antara seniman dan publik, termasuk para pembeli potensial.
Berdasarkan data pasar global seni dan barang antik tahun 2018, hasil riset Art Basel dan UBS, ”The Art Market 2019, An Art Basel and UBS Report”, sebanyak 31 persen dari total penjualan karya seni global terjadi lewat ajang pameran internasional (international fairs). Sebesar 15 persen lewat pameran lokal, sedangkan yang terbesar, 48 persen, tetap penjualan lewat galeri.
Secara nominal, diperkirakan total nilai penjualan karya seni global melalui momentum pameran seni sepanjang 2018 mencapai 16,5 miliar dollar AS atau setara Rp 233 triliun lebih. Angka itu dilaporkan naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya.
Nilai penjualan di keseluruhan pasar seni dunia sepanjang tahun yang sama jauh lebih fantastis, mencapai 67,4 miliar dollar AS, setara Rp 951 triliun lebih. Ini naik 6 persen dari tahun sebelumnya. Angka nilai penjualan di pasar seni global itu bahkan juga disebut-sebut sebagai yang tertinggi kedua dalam satu dekade terakhir.
”Kalau pameran di sini pasar dan pembelinya campur dan banyak banget. Mulai dari AS, Eropa, Asia, terutama China. Makanya, saya senang dan rajin ikut berpameran di sini. Bahkan, sejak nama event-nya Art Hong Kong tahun 2008 sampai berubah jadi Art Basel Hong Kong, saya selalu upayakan ikut,” ujar Biantoro Santoso dari Nadi Gallery.
Ada dua galeri asal Jakarta, Indonesia, yang ikut dalam Art Basel Hong Kong 2019 kali ini. Selain Nadi Gallery, juga ada ROH Projects. Sejumlah 17 karya dari tujuh seniman dibawa Nadi Gallery ke ajang ini. Seniman yang berpartisipasi adalah Eddie Hara, Agus Suwage, Samsul Arifin, Yuli Prayitno, M Irfan, Jumaldi Alfi, dan Handiwirman Saputra.
Menurut Biantoro, kisaran harga karya seni yang dipamerkan dan ditawarkan Nadi Gallery untuk dijual cukup beragam, dari angka 2.500 dollar AS hingga 100.000 dollar AS, atau setara Rp 35 juta hingga Rp 1,4 miliar.
Namun, diakui juga berpameran di ajang ekshibisi internasional butuh modal besar. Biantoro berharap ajang besar sejenis bisa juga digelar rutin di Tanah Air. Hal itu karena sebagian besar pembeli karya seni seniman Tanah Air biasanya masih punya pasar pembeli terbesar dari kolektor Tanah Air. Ini terutama karena kedekatan latar belakang budaya.
”Sebenarnya di mana pun berlaku, market terbesar dari seniman-seniman di satu negara adalah masyarakat di negara itu sendiri. Tidak bisa dimungkiri. Orang lebih gampang menerima dan mencerna karena memang satu budaya, ya,” ujar Biantoro.
Sayangnya, pelaksanaan ajang-ajang pameran seni kontemporer sekelas Art Basel Hong Kong dinilai masih banyak menemui kendala untuk digelar di Tanah Air, di antaranya terkendala perizinan dan kepastian regulasi seperti aturan kepabeanan (custom).
Saat ditemui di lokasi pameran, seniman Bagus Pandega dari Galeri ROH Projects juga membenarkan keikutsertaan dalam pameran sekelas Art Basel membuka banyak peluang bagi seniman seperti dirinya, termasuk dari sisi penjualan karya-karyanya. ”Yang jelas jadi menambah paling tidak jaringan, baik antar-artist maupun dengan fans base kami sebagai seniman,” ujar Bagus.
Saat dihubungi terpisah, Sabtu (13/4/2019), Direktur ROH Projects Jun Tirtadji mengaku 90 persen dari karya-karya sejumlah seniman yang dinaungi galerinya terjual di Art Basel Hong Kong 2019. Beberapa seniman yang ikut ke Hong Kong antara lain Aditya Novali, Kei Imazu, dan Bagus Pandega.
”Lebih kurang 90 persen dari yang kami tawarkan terjual. Namun, kami belum bisa disclose harganya pada saat ini,” tulis Jun singkat.
Penjualan fantastis
Dalam penyelenggaraan Art Basel Hong Kong 2019, sejumlah galeri sukses menjual karya-karya seniman dengan angka penjualan yang terbilang fantastis. Namun, setiap galeri tak diwajibkan mencatatkan transaksi dan nilai penjualan mereka, hanya secara sukarela saja.
Dari data transaksi yang dilaporkan dan diterima pihak Art Basel Hong Kong 2019 tampak beberapa karya seni dari sejumlah galeri terjual dengan harga sangat tinggi. Salah satu galeri, David Zwirner (London, New York, Hong Kong), misalnya, berhasil menjual semua koleksi yang dipajang di gerainya pada hari pertama pameran khusus pengunjung VIP.
Beberapa karya yang dipajang di gerai galeri itu seperti lukisan kanvas dengan cat minyak karya pelukis Alice Neel berjudul ”Olivia” (1975) terjual senilai 1,7 juta dollar AS, setara hampir Rp 24 miliar. Adapun lukisan kanvas dengan cat minyak karya pelukis Luc Tuymans berjudul ”D.A.” (2014) dijual 1,5 juta dollar AS atau setara Rp 21 miliar.
Salah satu karya yang terjual dengan harga paling tinggi adalah lukisan kanvas dengan tinta sablon (silkscreen ink) dan akrilik karya Andy Warhol, penggagas gerakan Pop Art di Amerika Serikat pada era 1950-an, berjudul ”Campbell’s Elvis” (1962). Karya itu dibeli seorang kolektor anonim seharga 2,85 juta dollar AS atau setara Rp 40,3 miliar dari Galeri White Cube (Hong Kong, London).
Beberapa karya lain juga dijual dengan nilai tinggi, antara lain lukisan dengan media campuran di atas kanvas karya seniman Mark Bradford berjudul ”Superman” (2019), Galeri Hauser & Wirth (Zurich, London, Somerset, New York, Los Angeles, Hong Kong, St Moritz), dengan harga 2 juta dollar AS, setara Rp 28,2 miliar.
Tak ketinggalan, karya pelukis Jack Whitten dari galeri yang sama berupa lukisan dengan medium kanvas dan akrilik, ”The Eleventh Loop (Dedicated to The Memory of Adrienne Rich)” (2012). Ini dijual seharga 1,75 juta dollar AS atau setara Rp 24,7 miliar.
Lukisan kanvas dengan cat minyak ”17.02.71-12.05.76” (1971) karya Zao Wou-Ki dan lukisan kanvas dengan cat minyak karya Georg Baselitz, ”Immer noch unterwegs” (2014), juga mencatatkan penjualan masing-masing senilai 1,8 juta dollar AS atau setara Rp 25,4 miliar.