Mengurai Trauma dalam Tubuh
Setelah menyabet enam penghargaan dari sekitar 30 festival film di seluruh dunia, film Kucumbu Tubuh Indahku akhirnya tayang di bioskop Nusantara. Garin Nugroho, sutradara sekaligus penulis naskahnya, menyoal kelenturan jender dan penyelesaian trauma. Irisan bahasa gambar, bangunan naskah, musik latar, dan kecemerlangan akting terjalin begitu puitik.
Cahaya menerpa mata yang menjalang itu. Juno kecil (diperankan Raditya Evandra), si pemilik mata itu, sedang mengintip. Pandangannya terpaku pada lenggak-lenggok penari Lengger Banyumasan di dalam rumah itu.
Mengintip adalah tindakan yang menyiratkan rasa ingin tahu. Lubang adalah mediumnya. Kelak, keingintahuan itu berkonsekuensi panjang bagi perjalanan hidup Juno.
Konsekuensi awalnya adalah dipergoki ”simbah” guru lengger (Sujiwo Tejo). Juno diajak masuk ke dalam rumah. Dia disuruh duduk di lantai, sementara sang guru di atas kursi, tepat di depannya. Juno tak berdaya di hadapan ”penguasa sanggar” itu.
Alih-alih menerima murka, Juno justru diajak latihan tari. Sang guru mendapati bahwa Juno punya bangunan tubuh seorang penari lengger. Dia juga dapat penjelasan pertama tentang makna lengger.
”Lengger adalah leng, yang artinya lubang, dan ngger dari jengger ayam jago,” kata sang guru itu. Pemaknaan itu dipercaya bahwa feminitas dan maskulinitas bisa bersemayam di satu tubuh. Juno—nama dari tokoh wayang Arjuno—yang bertubuh laki-laki dianggap mengemban sifat feminin.
Juno tertunduk saja mendengar ocehan sang guru. Tak punya banyak pilihan, Juno belajar menari juga di sana. Gerakan tangannya amat lentur. Sayangnya, Juno tak lama berguru kepadanya. Sang guru keburu diringkus polisi; buntut dari kejahatan yang didorong rasa penguasaan atas tubuh perempuan.
Sejak ditinggal pergi ayahnya, Juno hidup sendiri di rumah berlantai tanah. Ia mencari sayuran di ladang untuk dimasak dan dimakan sendiri. Ia sempat diasuh oleh bibinya (Endah Laras) yang sehari-hari beternak dan berdagang ayam di pasar.
Si bibi mendapati kebisaan lain Juno. Jarinya, yang dia istilahkan ”jari tuyul” bisa membaca tanda-tanda kapan seekor ayam mau bertelur. Dengan jarinya itu, ia mengakrabi lagi ”leng” atau lubang.
Sementara itu, pelajaran menarinya berlanjut di sekolah. Kali ini, guru tarinya adalah perempuan. Pada suatu malam, sang guru kedua (diperankan Windarti) memberinya kesempatan merasai kelembutan yang tidak diperoleh Juno dari ibu kandungnya.
Adegan itu tertangkap mata sejumlah orang—semuanya laki-laki—yang mengintip di balik jendela kaca. Mereka marah. Mereka menggerebek tempat itu. Sang guru digelandang begitu saja. ”Seret! Bawa ke kantor polisi!” seru mereka. Urusan tubuh lagi-lagi membuat geger.
Juno menyaksikan itu semua dari mata bocahnya. Ia mengalami kehilangan berkali-kali. Banyak peristiwa itu bermuasal dari urusan tubuh.
Di sisi lain, Juno merasakan hal berbeda dalam tubuhnya. Dia bisa menari lengger dengan amat luwes. Dia bisa menjahit pakaian. Dia juga tertarik pada petinju kampung berbadan kekar (Randy Pangalila), juga seniman warok (Whani Dharmawan).
Pergulatan panjang
Kerangka dasar cerita film ini adalah perjalanan hidup seorang penari dan koreografer Rianto (38). Tokoh Juno, yang menyukai Freddie Mercury dan David Bowie itu, adalah Rianto di layar film.
Rianto menekuni tari Jawa klasik, terutama tari lengger, khas Banyumas, daerah kelahirannya. Sebagai penari lengger, Rianto harus bisa mengekspresikan dirinya sebagai penari laki-laki sekaligus perempuan. Ini adalah bentuk tari androgini.
Film dengan bahasa jawa banyumasan ini adalah pergulatan Rianto sejak kecil, remaja, dan dewasa. Dia memerankan Juno di fase dewasa. Bagiannya adalah memberi makna pada tiap babakan hidupnya lewat bentuk monolog. ”Di tubuhku ada pertarungan,” ucapnya setelah film menggambarkan keakraban Juno dengan Si Petinju.
Di luar layar, Rianto menjelaskan, pertarungan itu adalah antara maskulinitas dan feminitas terkait dengan peran sosial yang mengiringinya. ”Ketika pulang ke Banyumas mendampingi sanggar Lengger dan berpentas, saya seperti perempuan. Ketika kembali ke Jepang sebagai kepala rumah tangga, saya seperti laki-laki,” kata Rianto yang menikahi perempuan Jepang pada 2003 ini.
Yang tak terekam di layar adalah kiprah Rianto sebagai penari dan koreografer yang disegani. Dari tari lengger, Rianto menggubah karya baru, yang antara lain berjudul Medium dan Softmachine. Karya Medium telah dipentaskan sebanyak 25 kali, dan Softmachine 56 kali di beberapa negara. Dia juga bergabung dengan sanggar tari pimpinan Akram Khan di London, Inggris.
Pementasan tari Medium melibatkan Garin Nugroho sebagai penulis dramaturgi. Dari pertemuan itulah, Garin menyatakan tertarik membuat film yang bersumber dari perjalanan hidup Rianto.
”Tubuh Rianto menyimpan trauma yang dibentuk dari pengalaman sosial. Tubuh yang trauma adalah bagian dari kita semua. Jadi, ini merupakan biografi buat banyak orang,” kata Garin.
Trauma kolektif
Menurut Garin, produk budaya populer yang menampilkan isu feminin-maskulin kebanyakan terjadi di kalangan menengah ke atas. Sementara pergulatan jender di kelas menengah ke bawah belum banyak mengemuka. ”Isu feminin-maskulin juga didialogkan oleh pegiat seni tradisi, lengger, dan reog ini, misalnya,” ujarnya.
Film ini tak berhenti pada trauma tubuh Juno. Tubuh individu bisa dibaca sebagai tubuh sekumpulan. Garin menyisipkan peristiwa isu pembantaian pascaperistiwa 1965 ke dalam bangunan cerita. Peristiwa itu memberi dampak pada tokoh-tokoh dalam film.
”Peristiwa 1965 adalah trauma terbesar bangsa ini. Itu tidak bisa terpecahkan. Trauma itu seperti terperangkap dalam tubuh hingga menjadi kacau terus. Jepang dan Jerman, misalnya, punya trauma sosial politik juga. Tapi, mereka bisa menerjemahkan trauma itu ke dalam bentuk produktivitas sehingga bisa menjadi bangsa yang maju,” kata Garin.
Rianto telah membebaskan tubuhnya dari trauma atas pertentangan jender. Dia adalah laki-laki sekaligus perempuan. Dia adalah penari dan koreografer jempolan. Menyimak kisah pemuda Banyumas ini tebersit pertanyaan: bisakah Indonesia mengurai traumanya atas peristiwa 1965 dan kontestasi politik? (HEI)