Pelangi Muram di Rumput Hijau
Carlos Alberto, pesepak bola keturunan Brasil yang berkulit gelap, harus menutupi wajahnya dengan tepung beras agar terlihat putih. Persiapan sebelum bertanding juga harus dilakukan Arthur Friedenreich, pesepak bola dengan warna kulit kecokelatan, yang meluruskan rambut keritingnya terlebih dulu.
Alberto dan Friedenreich adalah gambaran pesepak bola pada awal abad ke-20 di Brasil. Mereka mengubah diri semirip mungkin dengan kulit putih agar tidak mendapat cemoohan dari penonton.
Friedenreich merupakan keturunan ayah Jerman campuran dan ibu Afrika-Brasil. Dia diizinkan bermain sepak bola dalam tim Germania, kumpulan tim imigran Jerman, karena ayahnya berkulit putih. Namun, sebelum bermain, dia harus menutupi rambut keritingnya. Alberto yang bermain di Fluminense terpaksa mengubah warna wajahnya menjadi putih pucat agar sama dengan rekan-rekannya.
Sekitar 100 tahun lalu, sepak bola sangat ”putih”. Rumput hijau menjadi tempat elite yang hanya boleh didatangi kaum putih. Kulit gelap tidak memiliki kesempatan sama sekali. Kecuali ingin dihina seperti Alberto saat tepung di wajahnya memudar terkena keringat dan Friedenreich saat bentuk asli rambutnya kembali.
Satu abad setelahnya, setelah berbagai upaya kesetaraan dilakukan, penggawa tim nasional Inggris, Raheem Sterling, Danny Rose, dan Callum Hudson Odoi, diganggu suara ala monyet oleh pendukung Montenegro pada akhir Maret 2019.
Masih dengan cara yang sama. Beberapa pekan berikutnya, giliran pemain remaja Juventus asal Italia, Moise Kean, menjadi sasaran pelecehan rasis para pendukung Cagliari.
Dilempar kulit pisang
Tak hanya itu, dalam enam bulan terakhir, pelecehan rasis sudah menimpa banyak pemain, seperti Pierre Emerick Aubameyang, pemain Arsenal keturunan Gabon, yang dilempar kulit pisang saat selebrasi gol pada Desember 2018, serta Troy Deeney dan Ashley Young menerima pelecehan di media sosialnya.
Rentetan kasus ini menandakan sepak bola telah kembali ke zaman primitif. Saat putih dan hitam dipisahkan di rumput hijau. Satu abad setelah Alberto dan Friedenreich, pembedaan warna kulit dan identitas masih menjadi penyakit akut. Kampanye UEFA tentang rasisme, seperti ”say no to racism” masih sebatas jargon.
”Saya tidak pernah nyaman sebagai salah satu pemain berkulit hitam pada era 1980-an. Seperti yang kita lihat sekarang, sepertinya wabah itu mulai kembali lagi. Itu sama sekali tidak bisa diterima,” kata Chris Kamara, mantan pemain salah satu tim di Inggris, Brentford, kepada Skysports.
Dampak perlakuan primitif itu begitu besar. Rose mengutarakan keinginannya pensiun sedini mungkin. Bek kiri Tottenham Hotspur itu tidak kuat menahan pelecehan yang menyerang dirinya. ”Saya rasa sudah cukup. Saya punya lima atau enam tahun lagi. Seterusnya hanya ingin menikmati dari jauh,” ucapnya.
Perasaan Rose sebelumnya sudah dirasakan Mario Balotelli, mantan pemain tim nasional Italia. Meski dengan gagah membela timnas, pemain keturunan Ghana itu kerap dihina oleh publik Italia.
Balotelli pernah menangis tersedu-sedu di bangku cadangan karena mendapat perilaku rasis. Pemain yang bertubuh tegap itu juga sempat bertanya kepada ibunya tentang alasan orang-orang menghina kulit gelapnya.
Fanatisme agama
Sebuah film pemenang Oscar, Green Book, memberikan alternatif menangani perilaku rasis. Film yang diambil dari kisah nyata itu merefleksikan perlawanan musisi berkulit gelap di Amerika Serikat pada 1962.
Tokoh utama film, Don Shirley, yang memainkan peran sebagai pianis berkulit gelap, menjalani tur keliling Amerika Serikat. Kala itu, perbedaan warna kulit masih menjadi masalah besar.
Sepanjang tur, Shirley mendapat pelecehan di setiap kota. Mulai dari tak diberikan ruang ganti di gudang hingga tidak diizinkan satu kamar mandi dan restoran dengan penonton konsernya. Namun, Shirley melawan perilaku rasis dengan menjaga martabat dan tidak terpancing.
”Kamu tidak pernah menang jika membalasnya,” katanya kepada sopirnya, imigran asal Italia berkulit putih, Frank Vallelonga, yang semula juga bersikap rasis.
Lalu, apakah cara Shirley bisa dipindahkan ke sepak bola? Sepertinya tidak. Fanatisme sepak bola di dunia yang sudah akut membuat para pendukung akan melakukan apa saja demi memprovokasi sang lawan.
Seperti kata Diego Maradona, legenda Argentina yang dijuluki ”Tangan Tuhan”, sepak bola sudah bukan lagi sebuah permainan ataupun olahraga. Namun, lebih dari itu, sepak bola sudah menjadi agama yang disebarkan dan diikuti seperti buku suci.
Dengan fanatisme seperti agama itu, akan sulit mengubah karakter dengan duduk manis dan tinggal diam. ”Semuanya harus terlibat melakukan sesuatu. Ketika rasisme terjadi, semua orang di sekitarnya harus berani mengambil aksi. Seperti membela mereka bersama-sama. Jika tidak, kita hanya akan di sini saja,” kata mantan pesepak bola Liga Primer, Pascal Chimbonda.
Aksi yang dilakukan pemain senior Juventus, Leonardo Bonucci, dan pelatihnya, Massimiliano Allegri, tidak boleh terulang lagi. Setelah Kean mendapat perlakuan rasis, keduanya justru tidak memihak sang korban. Mereka justru memberikan pernyataan normatif agar Kean lebih dewasa menerima cemoohan penonton.
Bahkan, Bonucci menyampaikan bahwa kejadian itu tidak sepenuhnya salah pendukung Cagliari. Perlakuan buruk itu datang karena rekannya melakukan selebrasi gol. Pernyataan kontroversialnya mendapat kecaman dari sejumlah pihak karena seperti membenarkan pelehan tersebut.
Perlawanan rasisme
Kemarin, Sabtu (20/4/2019), Asosiasi Pesepak Bola Profesional (PFA) menyatakan perlawanan kepada rasisme. Mereka membuat kampanye di sosial media dengan gambar bertuliskan ”Enough” atau cukup.
Kampanye itu didukung banyak pesepak bola profesional, mulai dari Yaya Toure, Hector Bellerin, Gareth Bale, Jesse Lingard, dan banyak lagi. Semuanya memberikan alasan menarik untuk berdiri bersama menumbangkan perilaku primitif.
”Kami berdiri menentang perilaku rasis. Kami menyadari tanggung jawab kami dan memilih untuk bersuara melawan rasis dalam sepak bola,” tulis Toure dalam akun Twitter.
Bellerin, bek Arsenal asal Spanyol, meminta pendukung, pemain, dan pihak berkepentingan mengambil aksi untuk mengembalikan sepak bola sebagai sebuah permainan semua orang. ”Ini adalah permainan seimbang untuk semuanya. Kami merasa ini semua sudah cukup,” tulisnya.
PFA menjelaskan, tujuan kampanye ini lebih jauh dari sekadar imbauan di media sosial. Dengan kampanye, mereka berharap otoritas berkepentingan, seperti UEFA, bisa lebih tegas dalam menindak rasisme di dalam dan di luar lapangan.
Tanpa ketegasan dari otoritas, kampanye besar tersebut hanya percuma. Dalam peraturan UEFA, wasit berhak menghentikan pertandingan jika melihat tindakan rasis dari pendukung. Instruksi itu juga dipertegas oleh Presiden UEFA Aleksander Ceferin.
Namun, di lapangan, ”para pengadil” masih belum tegas dan punya standar jelas untuk menghentikan laga. Biasanya pertandingan hanya dihentikan beberapa menit sampai penonton tenang. Setelah itu, laga dilanjutkan dan pendukung tersebut tidak diberikan sanksi apa pun.
Sepak bola yang mencerminkan sportivitas seharusnya menjadi awal mula berhentinya rasisme, bukan justru menjadi pemicunya. Nelson Mandela, tokoh perlawanan terhadap perbedaan ras, mengatakan hal tersebut.
”Sepak bola punya kekuatan mengubah dunia, bisa menciptakan harapan saat hanya ada keputusasaan. Hal ini lebih kuat untuk memecah hambatan ras,” kata Mandela sebelum meninggal pada 5 Desember 2013.
Sepak bola terlalu membosankan dengan membagi dua warna, hitam dan putih. Yang paling cocok mewakilkan rumput hijau seluas 68 meter x 105 meter adalah pelangi, menandakan keindahan permainan dan keragaman pelakunya. Hanya saja, pelangi tersebut sedang muram saat ini. (AP/REUTERS)