Bisnis roti hamburger buatan lokal menjamur beberapa tahun terakhir. Gerai baru tumbuh di pasar, ruko, hotel, bahkan pinggir jalan. Konsep menu, tampilan, dan pemasarannya beragam. Inilah siklus ”menciptakan kembali” roti hamburger bagi generasi konsumen baru.
Siapa pun yang pertama menginjakkan kaki dan memesan roti di Lawless Burger Bar kemungkinan akan kaget dengan kencangnya volume lagu yang diputar pengelola. Umumnya bergenre metal dan rock. ”Dilarang protes musik. Hanya boleh komplain mutu makanan,” kata salah satu pendiri Lawless Burger Bar, Gofar Hilman, menjelaskan peraturan utama makan.
Kekagetan berikutnya adalah dinding restoran yang dipenuhi poster iklan konser musik dari genre yang sama. Demikian keunikan Lawless Burger Bar di Jalan Kemang Selatan VIII, Jakarta, yang berdampingan dengan unit usaha Lawless Jakarta lainnya, yaitu desain khusus motor dan mode.
”Secara pribadi, aku menjunjung tinggi idealisme dan harus bisa mengontrolnya. Dari idealis terhadap musik metal dan rock turun ke desain khusus motor, mode, dan terakhir roti hamburger,” ujar Gofar.
Pendiri lainnya, Arian Arifin, Sammy Bramatyo, Ucup, dan Roni Pramadita, memiliki idealisme yang sama. Mereka ”menyusupkan” musik ke menu, seperti Sabbath Burger, salah satu menu utama sekaligus terfavorit. Nama ”Sabbath” diambil dari Black Sabbath, kelompok musik Inggris yang dianggap bagian dari pendiri aliran musik metal aliran keras.
Menu lain ialah kentang goreng Judas Fries, terinspirasi dari Judas Priest, band metal beraliran keras asal Birmingham, Inggris. Menurut Gofar, konsep roti hamburger di Lawless Burger Bar menggunakan gaya roti hamburger Amerika. Ciri utamanya adalah roti bun yang keras. Konsekuensinya, mayoritas bahan baku harus impor, termasuk daging, ayam, bawang, dan tepung. Jenis dagingnya terdiri dari sapi dan bacon.
”Roti hamburger kami adalah makanan gourmet. Konsumen memang harus menunggu agak lama karena kami memasak beberapa bahan. Kami mendidik konsumen bahwa makanan di Lawless Burger Bar bukan dikemas cepat saji,” ucapnya.
Oleh karena itu, harga jual satu roti hamburger di Lawless Burger Bar bisa lebih dari Rp 70.000. Harga roti hamburger tertentu dengan isi daging lebih banyak dan besar bisa mencapai lebih dari Rp 100.000.
Lokalitas
Beda dengan Lawless Burger Bas, pendirian Flip Burger dilatarbelakangi oleh belum adanya bisnis jaringan roti hamburger merek lokal yang mampu menyamai usaha serupa dari luar negeri, seperti McDonalds, Burger King, dan Carl’s Jr. Kalaupun sudah ada, roti hamburger lokal dibuat dari bahan baku yang sudah beredar di pasaran, seperti daging beku dan roti bun yang diproduksi secara massal. Flip Burger mengambil pendekatan berbeda, yakni daging sapi, roti bun, dan bawang bombai segar.
Pendiri Flip Burger, Afit Purwanto, mengatakan, citra roti hamburger yang dibangun adalah kualitas prima, dimasak gourmet, dan dijual dengan harga terjangkau. Seluruh dagingnya halal. Dengan demikian, semua kelas masyarakat diharapkan dapat menikmati.
Menu andalan Flip Burger adalah Smacker yang tersusun dari daging ganda 240 gram, keju ganda, dan daging sapi asap. Satu roti hamburger dipatok mulai dari sekitar Rp 50.000.
Saat ini, Flip Burger memiliki 14 gerai yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Depok, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Seluruh gerainya didesain dengan nuansa warna-warni untuk menghadirkan kesan dinamis.
Afit menyambut baik kehadiran sejumlah pemain lokal lain yang terjun ke bisnis roti hamburger. Situasi itu dinilai bagus untuk kompetisi merek lokal.
Korporasi
Bisnis roti hamburger juga digeluti oleh Potato Head dengan nama Three Buns yang berlokasi di Jalan Senopati. Potato Head merupakan korporasi Indonesia yang khusus bergerak di bisnis restoran, bar, kegiatan, dan hotel. Bisnisnya menyebar di Bali, Jakarta, Singapura, dan Hong Kong.
Operations Manager Three Buns Tommy Sugiharto mengatakan, Three Buns berdiri pada tahun 2014 dengan menu utama roti hamburger. Lapisan dagingnya menggunakan material halal dan nonhalal. Dapur untuk memasaknya pun dipisah.
Roti hamburger tidak dikemas siap saji. Semuanya melalui proses memasak. Beberapa material dasarnya diimpor. Untuk memberikan pengalaman berbeda dengan restoran ataupun bar roti hamburger lain, Three Buns bermain pada interior. Tempat beberapa kursi duduk dan meja pengunjung dibuat berundak. Langit-langit dibuat tinggi.
Menu utama sekaligus favorit pengunjung adalah Fun Boy Three. Tommy mengemukakan, pihaknya berupaya berinovasi menu di luar roti hamburger. Meski demikian, penjualan roti hamburger tetap dominan.
Di luar ketiga merek lokal di atas, masih banyak pengusaha Indonesia yang terjun ke bisnis roti hamburger. Tentunya, mereka menawarkan pendekatan pemasaran atau teknik memasak berbeda. Di ibu kota Jakarta, misalnya, bisnis ini sampai bisa ditemukan di pasar, pinggir jalan, dan perhotelan. Beberapa di antaranya adalah Byurger, D’Besto Chicken & Burger, Burger Blenger, Le Burger, dan Burgreens.
David Michaels dalam bukunya, The World is Your Burger: A Cultural History, mengatakan, roti hamburger versi modern mulai muncul akhir tahun 1800-an. Beberapa peristiwa penting membuatnya berkembang luas.
Hadirnya bisnis dengan pendekatan berbeda di seluruh dunia, roti hamburger menjadi titik fokus budaya populer. Oleh karena itu, kata Michaels dalam wawancara dengan TheDailyBeast.com, roti hamburger akan selalu memiliki caranya ”menciptakan kembali” dirinya sendiri bagi generasi konsumen baru.