Sosok Kartini Masa Kini
Zaman sekarang, penerimaan masyarakat semakin terbuka pada berbagai peran perempuan. Warga Ibu Kota mengapresiasi positif perempuan yang bekerja, menjadi pemimpin, ataupun tetap menjadi ibu rumah tangga.
Penerimaan terhadap peran perempuan di berbagai aspek kehidupan selalu dikaitkan dengan kiprah R A Kartini, 140 tahun lalu. Semasa hidupnya, perempuan kelahiran 21 April 1879 itu terus memperjuangan emansipasi atau persamaan hak perempuan di Indonesia.
Kala itu mustahil bagi perempuan pribumi dapat mengenyam pendidikan tinggi. Ketatnya adat membuat kesempatan itu hanya dapat diraih oleh kaum adam dan perempuan Eropa.
Kini, definisi emansipasi perempuan tak hanya terbatas pada pendidikan, seperti pemikiran awal Kartini. Hal ini tecermin dari hasil wawancara melalui telepon oleh Litbang Harian Kompas terhadap 500 responden di Jakarta dan sekitarnya.
Mayoritas responden (34,8%) berpendapat emansipasi saat ini lebih pada perempuan dapat ikut bekerja. Setelah itu disusul perempuan menjadi pemimpin perusahaan atau lembaga (28,0%) dan baru kemudian perempuan dapat bersekolah tinggi (20,6%).
Tiga hal itu sejatinya saling berkaitan satu sama lain. Modal keterampilan dan pendidikan harus dimiliki perempuan karier. Harapan menduduki posisi penting dalam suatu perusahaan dapat diraih salah satunya melalui pendidikan yang tinggi. Hal ini diperlukan karena persaingan di dunia kerja sangat tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2014, rata-rata pendaftar kerja perempuan di Jakarta sebanyak 7.786 orang per bulan, separuh lebih dari total jumlah pendaftar kerja laki-laki sebanyak rata-rata 13.268 orang per bulan.
Perempuan pekerja
Sepanjang 2017, berdasarkan data BPS, angkatan kerja perempuan di Ibu Kota mencapai 36,9 persen atau 1,7 juta jiwa. Adapun selebihnya memilih menjadi ibu rumah tangga.
Ketatnya persaingan kerja di Ibu Kota, tidak jarang sebagian perempuan di Jakarta memilih bidang profesi yang identik dengan laki-laki. Gayung bersambut ketika sejumlah perusahaan memfasilitasinya.
Contohnya PT Transjakarta yang mempekerjakan 85 pengemudi bus sejak 2013. PT MRT Jakarta yang tidak hanya merekrut masinis laki-laki, tetapi juga perempuan. Begitu juga PT Aplikasi Karya Anak Bangsa atau Gojek yang juga memiliki perempuan sebagai tukang ojek.
Sebagian besar warga mengapresiasi profesi maskulin yang digeluti perempuan. Sebanyak 73,2 persen responden mengaku setuju jika perempuan bekerja sebagai sopir bus, masinis, ojek online, atau petugas PPSU.
Meskipun demikian, sejumlah faktor menjadi alasan 26,6 persen responden tidak sependapat. Mayoritas mereka (26,4%) menilai pekerjaan semacam itu menyalahi kodrat. Lainnya, 24,4 persen, menganggap perempuan lebih baik mengurus rumah saja. Juga 16,4 persen menilai perempuan mudah mengeluh.
Mengatasi keraguan itu, sudah ada peraturan perlindungan hak-hak para perempuan pekerja, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di dalam UU itu terdapat larangan waktu kerja pada malam hingga pagi hari bagi pekerja di bawah usia 18 tahun dan perempuan hamil. Hak libur bagi perempuan pekerja saat masa haid. Hak masa istirahat selama tiga bulan pra dan pasca-melahirkan. Hingga kesempatan laktasi di sela-sela waktu kerja bagi perempuan pekerja yang masih menyusui anaknya.
Lebih kurang tiga perempat warga Ibu Kota yakin, melalui peraturan itu, hak-hak perempuan pekerja dapat terlindungi. Meski demikian, sejumlah persoalan masih kerap kali menimpa perempuan pekerja di level menengah ke bawah, seperti pekerja rumah tangga (PRT).
Berdasarkan data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) tahun 2017, tercatat telah terjadi 249 kasus PRT dalam negeri. Kasus itu meliputi kekerasan, upah, THR tidak dibayarkan, hingga PHK menjelang hari raya.
Ibu rumah tangga
Meski kian marak perempuan pekerja kantoran di Ibu Kota, hampir separuh di antaranya lebih memilih menjadi ibu rumah tangga (IRT). Sebagian warga pun tetap memandang positif pilihan itu. Hal ini terlihat dari 37,6 persen responden yang menilai posisi IRT justru lebih tinggi daripada perempuan yang bekerja di luar kantor.
Sementara separuh lebih warga lainnya menilai, IRT memiliki peran setara. Hanya 8,6 persen responden yang menilai peran sebagai IRT lebih rendah ketimbang perempuan pekerja.
Peran IRT merupakan tanggung jawab yang mulia. Menurut UU Perkawinan No 1/1974, suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
Tugas pokok istri adalah bertanggung jawab mengurus kebutuhan rumah tangga, mulai dari menjadi seorang dokter ketika anak sakit, seorang guru ketika mendidik anak, dan bahkan seorang psikolog ketika mendengarkan keluh kesah anak dan juga suami.
Peran IRT pun kerap kali turut melekat pada perempuan pekerja di luar rumah. Tidak sedikit perempuan pekerja yang telah menikah dan memiliki anak bahkan akan menghadapi tantangan dalam peran ganda. Satu sisi sebagai ibu yang harus mengurus pekerjaan rumah tangga, sisi lain sebagai karyawati memiliki kewajiban sebagai karyawan. Dua tugas itu harus dijalani secara seimbang oleh seorang perempuan pekerja.
Emansipasi perempuan zaman sekarang memang sedikit bergeser. Pilihan menjadi perempuan pekerja menjadi definisi yang paling banyak diamini warga Jakarta dan sekitarnya. Meski demikian, di balik kerasnya semangat para perempuan pekerja, selalu ada sisi lembut seorang ibu yang dinanti keluarga di rumah.
Selamat Hari Kartini.