Lomba lari ekstrem Kompas Tambora Challenge Lintas Sumbawa 320K pada 1-4 Mei 2019 di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, semakin dekat. Para peserta memantapkan persiapan fisik dan mental untuk “menjinakkan” keganasan rute dan cuaca.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Lomba lari ekstrem Kompas Tambora Challenge Lintas Sumbawa 320K pada 1-4 Mei 2019 di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, semakin dekat. Para peserta memantapkan persiapan fisik dan mental untuk ”menjinakkan” keganasan rute dan cuaca di sana.
Elevasi rutenya naik-turun. Suhu bisa mencapai 40 derajat. Namun, cuaca sulit diprediksi. Sangat mungkin, pelari berlomba saat cuaca terik dan hujan dalam satu kesempatan.
”Tanpa fisik dan mental yang kuat, mustahil untuk finis. Jadi, persiapan harus benar-benar matang,” ujar Alan Maulana, juara full ultra Kompas Tambora Challenge 2015, pada acara Road to Kompas Tambora Challenge 2019 di Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (21/4/2019).
Kompas Tambora Challenge Lintas Sumbawa 2019 terdiri dari dua kategori, perseorangan dan estafet, dua pelari untuk menempuh jarak 320 kilometer. Rute lari tahun ini sama dengan tahun lalu, dari Poto Tano di Sumbawa Barat hingga Doro Ncanga di Dompu.
Lomba akan diikuti 49 pelari yang telah lolos seleksi. Untuk menjadi peserta, pelari harus mempunyai kualifikasi lari 100 km untuk kategori estafet dan 170 km untuk perseorangan.
Pada lomba 2015, Alan menjadi satu-satunya peserta yang menyelesaikan rute 320 km dengan waktu 62 jam 28 menit. Rekor itu dipecahkan William ”Binjai” saat menjadi juara pada 2018 dengan waktu 62 jam 26 menit.
Persaingan Kompas Tambora Challenge Lintas Sumbawa 320K 2019 diprediksi semakin sengit karena William dan Alan kembali berlomba tahun ini. Selain itu, masih terdapat puluhan pelari lainnya.
”Saya sudah bernazar, kalau rekor itu pecah, saya akan ikut lomba ini lagi. Tentunya berharap membuat catatan waktu lebih baik,” ujar Alan.
Alan sudah menyiapkan diri secara khusus sejak tiga bulan lalu. Intensitas latihan pun ditingkatkan.
Semula dia berlatih 3-4 hari per minggu dengan jarak 10 km setiap hari. Kini ditingkatkan menjadi 5-6 hari per minggu dengan jarak 20 km per hari. Selain itu, sekali dalam sepekan, dia juga berlari jarak jauh 50-60 km.
Untuk menyiapkan mentalnya, Alan berlatih di jalur dengan tanjakan dan turunan. Waktunya beragam, dari pagi, siang, hingga malam. Beberapa kali dia juga berlatih di bawah guyuran hujan sambil membawa ransel.
”Saya berlatih menghadapi rasa sakit dan bosan. Intinya dalam kondisi tidak nyaman sebab kondisi itu sangat mungkin terjadi saat lomba,” ujarnya.
Menginjak pelaksanaannya di tahun kelima, Kompas Tambora Challenge akan mengumpulkan donasi bagi korban bencana alam gempa bumi yang mengguncang NTB pada 2018.
Alan belajar dari pengalaman untuk mempersiapkan diri lebih baik. Karena itu, saat berlomba pada 2015, dia sempat berhalusinasi ketika memasuki Km 230. Dia kehilangan fokus sehingga tidak menyadari sedang mengikuti lomba lari.
”Saya berhalusinasi hampir satu jam. Apalagi saat itu suasananya sepi. Baru ingat kembali ketika ada panitia yang lewat,” ujarnya.
Menginjak pelaksanaannya di tahun kelima, Kompas Tambora Challenge akan mengumpulkan donasi bagi korban bencana alam gempa bumi yang mengguncang NTB pada 2018. Menurut Alan, hal itu menambah motivasinya karena turut berkontribusi membantu warga yang sedang tertimpa musibah.
Santih Gunawan, juara Kompas Tambora Challenge 2018 kategori estafet akan beralih ke kategori perseorangan pada lomba tahun ini. Keputusan itu membuatnya melipatgandakan latihannya.
Dia berlari sejauh minimal 20 km setiap hari. Selain itu, dua hari dalam sepekan, dia berlari jarak jauh hingga 40 km.
Kompas Tambora Challenge 2019 akan menjadi pengalaman perdana Santih berlari sejauh 320 km. Pengalaman tahun lalu berlomba pada kategori estafet membuatnya penasaran untuk berlari di kategori individu.
”Tahun lalu saya berlari di 160 km pertama. Ternyata, pemandangan di 160 km kedua itu sangat indah. Makanya, saya penasaran untuk lari full,” ujarnya.