1.256 TPS Belum Lakukan Pemungutan Suara Ulang, Susulan, dan Lanjutan
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum mencatat sebanyak 2.767 tempat pemungutan suara (TPS) harus melakukan pemungutan suara ulang, susulan, dan lanjutan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.256 belum melakukan pemungutan suara ulang, susulan, dan lanjutan.
Ketua KPU Arief Budiman saat konferensi pers di Kantor KPU, Senin (22/4/2019), menyampaikan, KPU telah melakukan pemungutan suara ulang (PSU), pemungutan suara susulan (PSS), dan pemungutan suara lanjutan (PSL) di 1.511 TPS. Sementara 1.256 TPS lainnya belum melakukan PSU, PSS, dan PSL.
Berdasarkan data KPU, Sumatera Barat menjadi daerah yang belum melakukan PSU terbanyak yakni 84 TPS, disusul Sulawesi Tenggara (40 TPS), dan Sulawesi Utara (33 TPS).
Sementara daerah yang paling banyak belum melakukan PSS yakni Sumatera Selatan (446 TPS), Papua (211 TPS), dan Sumatera Utara (113 TPS). Sedangkan daerah terbanyak yang belum melakukan PSL yakni Maluku (20 TPS) dan Kalimantan serta Riau dengan masing-masing 8 TPS.
Arief berharap, 1.256 TPS dapat melaksanakan PSU, PSL, PSS maksimal 10 hari setelah hari pemungutan suara sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sementara itu, dalam menghitung surat suara susulan, ulang, dan lanjutan ini, Anggota KPU Wahyu Setiawan mengimbau kepada semua petugas baik Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) hingga Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dapat bekerja dengan baik untuk mengawal suara rakyat.
“Kawal suara rakyat sebaik-baiknya dan jangan pernah ragu atau takut dengan tekanan dari pihak manapun,” katanya.
Proses rekapitulasi surat suara pemilu 2019 saat ini dilakukan di tingkat kecamatan sejak 18 April hingga 14 Mei. Rekapitulasi berlanjut ke tingkat kabupaten/kota pada 20 April-7 Mei, kemudian tingkat provinsi pada 22 April-12 Mei. Sementara rekapitulasi di tingkat nasional dan luar negeri dilakukan 25 April-22 Mei.
Krusial
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, menyatakan, berdasarkan pengalaman Pemilu 2009 dan 2014, tahap rekapitulasi di kecamatan merupakan salah satu fase paling krusial karena dugaan ketidakcermatan maupun dugaan kecurangan.
Berdasarkan pengalaman Pemilu 2009 dan 2014, tahap rekapitulasi di kecamatan merupakan salah satu fase paling krusial
Titi menjelaskan, ketidakcermatan terjadi karena banyaknya suara yang dihitung, termasuk suara untuk calon anggota legislatif dari DPR, DPD, DPRD Provinsi, hingga DPRD Kabupaten/Kota. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk menggeser suara dan memenangkan calegnya.
“Caleg sudah bisa membaca konfigurasi perolehan suara mereka untuk kepentingan mendapatkan kursi. Pergeseran suara ini juga sering terjadi di internal partai. Bisanya pergeseran suara itu banyak terjadi melibatkan caleg dari satu partai yang sama,” ujarnya.
Agar kecurangan dapat dicegah, Titi mendorong agar semua pihak baik penyelenggara dan masyarakat luas turut berpartisipasi mengawasi proses penghitungan suara ini. Sebab, hasil rekapitulasi suara di kecamatan adalah mekanisme resmi sebagai basis untuk penetapan hasil pemilu.
Selain itu, lanjut Titi, KPU dan Bawaslu juga harus memiliki mekanisme supervisi internal yang baik selama proses rekapitulasi di kecamatan. Hal ini karena petugas di tingkat kecamatan seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sangat rentan menjadi target penyuapan oleh caleg dengan tujuan mengubah alokasi suara.
“Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) juga bisa menjadi salah satu instrumen penyeimbang untuk mengontrol proses rekap di kecamatan. Ini tidak terlepas dari antusiasme masyarakat yang sangat aktif ikut mengawasi data C1 yang diunggah di situs KPU,” katanya.