Asa Perlindungan Hukum bagi Difabel
Kolaborasi karya perempuan difabel kian diapresiasi. Banyak karya besar tercipta. Di sisi lain, banyak difabel masih menjadi korban. Saatnya negara semakin memberi perlindungan hukum bagi mereka .
Kolaborasi karya perempuan difabel kian diapresiasi. Banyak karya besar tercipta. Di sisi lain, banyak difabel masih menjadi korban. Saatnya negara semakin memberi perlindungan hukum bagi mereka .
Keceriaan di Sekolah Dreamable Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Hidayah, Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kontras dengan mendung yang mulai menyelimuti angkasa, Senin (15/4/2019) siang. Yulianti (36) berhasil memantiknya. Belasan siswa bersemangat menjawab pertanyaan tentang jenis-jenis hewan.
”Kambing, sapi, kucing,” kata sejumlah anak, perempuan dan laki-laki, bergantian. ”Bagus. Pintar. Coba perhatikan lagi gambar yang lain. Yang ini gambar apa?” tanya Yulianti. ”Kuda,” jawab anak-anak kompak.
Dreamable adalah sekolah inklusi yang didirikan Yulianti tahun 2015. Siswanya anak-anak berkebutuhan khusus berusia 5-18 tahun. Saat ini, ada 33 siswa yang belajar di sana, ada difabel grahita hingga difabel daksa. Selain di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Hidayah, Yulianti juga melakukan metode pendidikan serupa di rumahnya di Tegaluar, Kecamatan Bojongsoang.
Di samping belajar materi pelajaran formal, mereka belajar melakukan kegiatan sehari-hari, mulai dari merawat diri hingga berkomunikasi dengan orang lain. Dalam sehari, ia mendedikasikan waktu 10 jam untuk anak-anak difabel, tanpa memungut bayaran.
”Semuanya berawal saat membesarkan anak sulung saya, Hanif Noval. Dia adalah guru terbaik saya,” kata Yulianti yang kini tercatat sebagai mahasiswa semester VIII Prodi Studi Pendidikan Luar Biasa Universitas Islam Nusantara, Bandung.
Hanif (17) adalah anak difabel grahita ringan. Kondisi itu membuat Hanif sulit melakukan banyak hal sendirian. Namun, Yulianti tahu anaknya punya semangat tinggi.
Meski jalannya tak mudah, kesabaran Yulianti mengantar Hanif menuju kemandirian. Sejak lima tahun lalu, Hanif sudah bisa melakukan banyak hal sendiri, seperti berpakaian, makan, dan mandi sendiri.
”Saya berpikir, bisa jadi banyak orangtua yang masih minim pengetahuan mendampingi anak difabel. Setelah berkeliling ke berbagai tempat, ternyata benar. Masih ada yang mengurung anaknya di rumah. Ada juga yang menelantarkan anak sehingga mudah terpapar hal negatif. Mulai 2014, saya mulai menawarkan pendampingan bagi anak disabilitas,” katanya.
Dukungan Pertamina
Ketulusan Yulianti dilirik banyak orang. Selain banyak orangtua yang menitipkan anaknya sekolah di sana, beragam kalangan ingin meringankan usahanya. Salah satunya Pertamina. Sejak tahun 2018 mereka memberikan pendampingan bekal usaha untuk anak-anak istimewa itu.
Operation Head Terminal BBM Bandung Group Pertamina Bambang Soeprijono mengatakan, pendampingan diberikan agar anak-anak didik mandiri dan menjadi wirausaha sukses suatu hari nanti. Pendampingan diberikan melalui guru. Harapannya transfer ilmu muncul saat belajar-mengajar dilakukan.
Untuk mewujudkan hal itu, guru Dreamable bakal diajak ke Boyolali, Jawa Tengah. Di sana, ada sekolah nonformal yang fokus membuat batik. Ada juga sekolah yang membudidayakan ikan menggunakan teknik micro bubble generator di Rewulu, Desa Sidokarto, Godean, Yogyakarta.
Yulianti berharap bekal yang didapat anak didiknya bisa membantu mereka melanjutkan hidup. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka jadi contoh bagi orang lain di sekitarnya kelak.
Teladan
Popon Siti Latipah (32) membuktikannya. Difabel netra ini jadi perempuan inspiratif karena melampui batas dan berbagi semangat dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam dua tahun terakhir, dia menjadi kontributor media newsdifabel.com. Banyak karyanya menjadi panduan bagi aktivitas difabel netra lainnya.
Tulisan tentang cara difabel netra berdandan, misalnya. Ia menuliskannya berdasarkan pengalaman pribadi dan memasukkan penata rias sebagai narasumbernya.
”Difabel netra bisa melakukan banyak hal yang sama dengan orang kebanyakan. Hanya caranya yang berbeda,” katanya. Jelang hajatan politik digelar, jiwa sosialnya kembali tumbuh subur. Dia memilih bergabung dengan Relawan Demokrasi Berbasis Disabilitas Kota Bandung.
Di sana, ia mempromosikan agar difabel netra memilih meski harus dibantu dengan template braille dan pendamping. Setelah mendapat pelatihan dari Komisi Pemilihan Umum Kota Bandung, dia mulai bergerilya sejak awal tahun 2019.
”Selain menambah ilmu sendiri, saya ingin berbagi kepada sesama,” katanya. Hasil pendampingannya terlihat saat Irvan Arimansyah (31), difabel netra, mulus memilih di TPS 003, Kelurahan Cieumbeleuit, Kecamatan Cidadap, Bandung. Ditemani pendamping, dia hanya butuh waktu kurang dari lima menit untuk menentukan pilihannya.
Sejak awal, ia sudah terpapar pengetahuan dari Popon tentang cara memilih dan mencari tahu rekam jejak jagoannya. Tanpa ragu, ia memilih presiden, anggota DPR, dan anggota DPRD.
”Sayangnya saya tidak tahu mau memilih siapa untuk DPD karena belum mendengar kampanyenya. Jadi, saya meminta pendamping untuk menyebutkan nama-nama calon. Namun, tetap saja saya tidak tahu,” katanya sambil tertawa.
Perlindungan hukum
Meski perhatian yang diberikan cukup besar, Direktur Sapa Institute Sri Mulyati menilai, difabel, terutama perempuan, masih rentan menjadi korban kekerasan.
Sebagai lembaga pendampingan korban kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Bandung, Sapa Institute mencatat, ada 357 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jabar sepanjang 2018. Sekitar 25 persen korban merupakan perempuan difabel.
Menurut Sri, kasusnya relatif sulit diungkap. Alasannya, perempuan difabel yang menjadi korban tidak mudah mengutarakan kekerasan yang dialaminya. Mayoritas kasus kekerasan terhadap perempuan difabel merupakan kekerasan seksual dan dalam beberapa kasus, pelakunya justru orang terdekat korban, seperti keluarga dan tetangga.
”Ada remaja tunarungu diperkosa ayah kandungnya hingga hamil. Korbannya tidak paham reproduksi dan kekerasan seksual,” ujarnya. Korban tidak dapat mengungkapkan kekerasan seksual yang menimpanya. Hanya saja, setiap bertemu ayahnya, korban kerap membenturkan kepalanya ke tembok.
Ada pula kasus lain yang melibatkan perempuan dengan keterbelakangan mental. Dia nyaris diperkosa tetangganya. Karena keterbatasan, korban tidak dapat bercerita kepada keluarganya. Padahal, beberapa tetangga lain sudah curiga terhadap pelaku.
Menurut Sri, sulitnya mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan difabel disebabkan minimnya pendamping khusus. Sebagai contoh, saat membuat berita acara pemeriksaan di kepolisian, mereka tidak disediakan pendamping yang memahami orang dengan disabilitas.
Dengan kondisi itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi sangat penting. Sebab, di dalamnya disebutkan, penuntut umum dalam melaksanakan pra-penuntutan dan penuntutan perkara kekerasan seksual wajib menyediakan fasilitas khusus untuk korban atau saksi dengan disabilitas.
Masyarakat sudah memulai. Kolaborasi dan perhatian bagi difabel dilakukan bersama-sama. Kini, giliran negara memberi perlindungan hukum di masa depan. (Tatang Mulyana Sinaga/ Samuel Oktora/Cornelius Helmy/Machradin Wahyudi Ritonga/Melati Mewangi)