Babak Baru Konfigurasi Parpol
Pemilih partai politik cenderung sudah jauh-jauh hari menentukan pilihannya. Konfigurasi partai politik di tingkat nasional pada lima tahun ke depan diduga tidak akan berubah banyak dengan komposisi pada periode sebelumnya.
Hasil survei pascapemilihan atau exit poll Litbang Kompas pada pemungutan suara 17 April lalu menunjukkan, sebagian besar responden pemilih mengaku pilihan terhadap partai politik di tingkat nasional sudah mereka tetapkan jauh hari, bahkan lebih dari sebulan sebelum hari pencoblosan.
Jika dirunut di tiap parpol, mereka yang memantapkan pilihannya jauh-jauh hari ini rata-rata di atas separuh jumlah pemilih parpol itu. Hal ini didukung oleh tingkat loyalitas pemilih terhadap parpol yang relatif terjaga. Artinya, masing-masing parpol memiliki pemilih setia yang sudah sejak lama menjadi kelompok pemilih parpol tersebut.
Dari kelompok pemilih parpol peraih kursi DPR 2014-2019, dari hasil exit poll setidaknya terekam tiga derajat loyalitas pemilih. Pertama, pemilih dengan loyalitas paling tinggi, ada di atas 65 persen. Di kelompok ini ada pemilih PKB (74 persen), Gerindra (73,4 persen), PKS (72,9 persen), dan PDI Perjuangan (69,3 persen). Sementara di kelompok sedang (60-65 persen) tercatat di pemilih Golkar (62,9 persen), PAN (61,8 persen), dan Nasdem (61,2 persen). Di posisi berikut adalah parpol dengan loyalitas pemilih kurang dari 60 persen, antara lain PPP (56,7 persen), Demokrat (46,7 persen), dan Hanura (45,9 persen).
Pembelahan suara
Menariknya, loyalitas pilihan terhadap parpol ini tidak kemudian berbanding lurus dengan loyalitas pemilih terhadap pilihan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diusung parpol pilihannya. Semua parpol mengalami pembelahan suara (split voting) dari pemilihnya terkait pilihan pasangan capres dan cawapres tersebut.
Meski demikian, pada parpol yang memiliki pemilih loyal yang kuat atau tinggi, tingkat pembelahan suara dari pemilihnya relatif lebih rendah daripada parpol yang loyalitas pemilihnya lebih lemah atau rendah. Artinya, semakin tinggi loyalitas pemilih terhadap pilihan parpol akan menekan potensi terjadinya pembelahan suara pemilih pada pemilihan presiden.
Sebaliknya, jika loyalitas pemilih lemah atau rendah, ada peluang lebih besar terjadinya pembelahan suara pemilih saat memilih capres-cawapres.
Sebut saja di PDI-P, PKB, Gerindra, dan PKS yang masuk kategori loyalitas pemilihnya lebih tinggi. Potensi pembelahan suara pemilih keempat parpol ini pada pemilihan presiden relatif lebih rendah dibandingkan parpol lainnya. Di PDI-P, misalnya, hanya 5,1 persen dari pemilihnya yang mengaku memilih pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang tidak diusung oleh PDI-P. Hal yang sama juga terekam di pemilih Gerindra. Hanya 10,6 persen pemilih parpol itu yang mengaku mencoblos pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin saat pemungutan suara 17 April lalu. Hal yang sama juga terjadi di pemilih PKB dan PKS.
Kedua pemilih parpol ini potensi pembelahan suaranya masih lebih rendah dibandingkan partai lain di luar PDI-P dan Gerindra.
Sementara untuk parpol yang tingkat loyalitasnya lebih rendah dibandingkan parpol di atas, potensi pembelahan suaranya justru lebih tinggi. Rata-rata pembelahan suara mereka lebih dari 25 persen. Paling tinggi keterbelahan suara terjadi pada pemilih PPP yang mencapai 39,4 persen. Artinya, kurang lebih empat dari sepuluh pemilih PPP lebih memilih Prabowo-Sandi di pemilihan presiden. Padahal, PPP adalah pendukung Jokowi-Amin.
Setelah PPP, Golkar menempati potensi keterbelahan suara tertinggi dengan angka 35,6 persen. Rekam jejak Golkar yang kerap berada dalam posisi politik tidak tunggal seperti halnya soal koalisi di Pemilu 2014 boleh jadi turut memengaruhi tingginya tingkat pembelahan suara pemilih parpol ini.
Konfigurasi
Hasil hitung cepat Litbang Kompas pada hari pemungutan suara 17 April lalu juga merekam hasil yang tidak jauh berbeda dengan survei yang digelar sebelum pemilu. Dari hasil hitung cepat itu, sembilan parpol meraih suara memenuhi ambang batas parlemen yang besarnya 4 persen. Jika hasil ini tidak berbeda dengan rekapitulasi final Komisi Pemilihan Umum akhir Mei mendatang, konfigurasi DPR lima tahun ke depan hanya akan diisi oleh sembilan parpol.
Sembilan partai politik tersebut adalah PDI-P, Gerindra, Partai Golkar, PKB, PKS, Demokrat, Nasdem, PAN, dan PPP. Posisi sembilan parpol itu sebenarnya sudah terbaca pada hasil survei Kompas pada Oktober 2018 dan awal Maret 2019. Pada survei awal Maret, misalnya, PDI-P, Gerindra, Golkar, dan PKB masuk kategori parpol yang di atas kertas melampaui jauh ambang batas parlemen 4 persen. Sementara Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan Nasdem masuk kategori lolos ambang batas parlemen dengan mempertimbangkan angka sampling error di survei tersebut. Hasil survei ini terbukti tidak jauh berbeda dengan hasil hitung cepat Kompas pekan lalu dengan komposisi peringkat kesembilan partai tersebut yang relatif sama.
Hal sama lainnya adalah soal parpol politik yang berpotensi gagal masuk DPR. Dari kelompok partai peraih kursi legislatif nasional pada Pemilu 2014, Partai Hanura, berdasarkan hasil hitung cepat, ditengarai gagal lolos ambang batas parlemen untuk mengirimkan wakilnya di DPR. Kondisi ini sudah terbaca di dua survei Kompas tersebut.
Dua parpol lama juga disinyalir gagal lolos masuk DPR, yakni PBB dan PKPI. Selain itu, perolehan suara empat parpol pendatang baru, yakni Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia, dan Partai Solidaritas Indonesia, dari hasil hitung cepat, juga ada di bawah ambang batas parlemen.
Meski demikian, parpol-parpol yang tidak memenuhi ambang batas tersebut masih berpeluang mendapatkan kursi di DPRD tingkat provinsi atau kota/kabupaten. Hal ini karena syarat ambang batas tidak berlaku untuk DPRD.
Jika merujuk hasil hitung cepat Litbang Kompas, dari sembilan parpol yang akan lolos DPR, jika mengikuti pola koalisi yang mereka bangun dalam pemilihan presiden, akan terbagi dalam dua posisi. Koalisi pertama adalah PDI-P, Partai Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP yang mengusung Jokowi-Amin.
Koalisi ini memiliki sekitar 53,8 persen total suara parpol berdasarkan hitung cepat. Koalisi kedua adalah Partai Gerindra, PKS, Demokrat, dan PAN yang mengusung Prabowo-Sandi dengan memiliki 36,3 persen suara nasional. Sementara suara tersisa adalah milik parpol yang disinyalir gagal memenuhi ambang batas parlemen.
Tentu saja, dua koalisi ini masih terbaca dari konstelasi ketika pemilu berlangsung. Boleh jadi pascapenetapan resmi hasil pemilu oleh KPU, konfigurasi koalisi di parlemen akan berubah seiring konversi suara mereka menjadi kursi di legislatif.
Perubahan ini, antara lain, pernah terjadi pada Pemilu 2014. Ada perbedaan komposisi koalisi antara saat pemilu dan setelah hasil pemilu ditetapkan. Di atas semuanya itu, hal terpenting bagi pemilih adalah bagaimana janji-janji yang dikampanyekan saat pemilu lalu bisa ditunaikan saat mereka sudah berada di kursi kekuasaan.
(YOHAN WAHYU/ Litbang Kompas)