Capaian parpol pada Pemilu 2019 banyak ditentukan oleh kerja mesin parpol dan caleg. Efek ekor jas tak terlalu terlihat.
Oleh
Agnes Theodora, Iksan Mahar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil hitung cepat Pemilu 2019 mengindikasikan efek ekor jas atau hubungan yang positif antara kekuatan elektoral calon presiden atau calon wakil presiden dan partai politik pendukungnya tak terlalu terlihat. Suara parpol di pemilu yang untuk pertama kali digelar serentak pemilihan anggota legislatif atau pileg dan pemilihan presiden ini lebih banyak ditentukan oleh faktor internal parpol, seperti kerja mesin politik serta para caleg yang mereka usung.
Dari hasil hitung cepat Litbang Kompas untuk pemilihan calon anggota DPR RI, dengan sampel masuk 93,9 persen, sebanyak sembilan parpol diprediksi dapat mengirimkan wakilnya ke DPR RI karena perolehan suaranya di atas ambang batas parlemen yang besarnya 4 persen suara sah nasional. Namun, hasil hitung cepat ini bukan hasil resmi. Rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2019 di tingkat nasional akan ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei 2019.
Berdasarkan data hitung cepat, lima dari 10 parpol yang kini memiliki kursi di DPR RI suaranya diperkirakan naik dibandingkan pada Pemilu 2014. Lima parpol itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Nasdem.
PDI-P dan Gerindra kerap disebut mendapat efek tarikan ekor jas karena dua parpol itu diasosiasikan dengan dua calon presiden (capres), yakni PDI-P dengan Joko Widodo dan Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto. PKB juga sering dikaitkan dengan efek ekor jas karena parpol itu kerap diasosiasikan dengan calon wakil presiden Ma’ruf Amin.
Namun, dari hasil hitung cepat, kenaikan suara PDI-P, Gerindra, dan PKB berpotensi masih di bawah kenaikan suara PKS dan Partai Nasdem. Padahal, dua parpol itu tidak punya kader yang berkontestasi di pemilihan presiden.
Tidak signifikan
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Eriko Sotarduga mengatakan, pemilu yang digelar serentak membuat parpol harus membagi fokus antara memenangkan diri sendiri di pemilu legislatif dan memenangkan capres-cawapres yang didukungnya.
PDI-P, ujarnya, tak menghadapi banyak kesulitan karena capres Joko Widodo adalah kader PDI-P. Meski PDI-P mendapatkan dampak elektoral dari pencalonan Jokowi, Eriko menilai, efek ekor jas dari sosok Jokowi sebenarnya tidak terlalu maksimal mendongkrak suara PDI-P.
Efek ekor jas itu memang ada, tetapi tidak bisa dikatakan signifikan. Masyarakat Indonesia ternyata teliti memilah antara pileg dan pilpres, tidak serta-merta bahwa gara-gara itu lantas otomatis pilihan capres dan partainya sama satu garis lurus. Jadi kalau dikatakan semata-mata karena efek ekor jas, tidak begitu. (Eriko Sotarduga)
Eriko menuturkan, PDI-P dan Jokowi sama-sama saling melengkapi. Di beberapa wilayah basis PDI-P, seperti Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara Timur, suara Jokowi berdasarkan hitung cepat terpantau sangat tinggi. Menurut Eriko, itu menunjukkan bahwa efek elektoral tidak hanya didapat PDI-P dari Jokowi, tetapi juga dirasakan Jokowi dari mesin PDI-P.
Terkait hal itu, selain adanya simbiosis-simbiosis mutualisme antara PDI-P dan sosok Jokowi, menurut Eriko, faktor yang menjadi penentu kemenangan PDI-P adalah profesionalisme PDI-P yang selama lima tahun ini menjadi partai pendukung pemerintah. Mesin partai lewat caleg-caleg dan struktur partai yang ada sampai di desa-desa juga dinilai efektif bergerak di akar rumput.
Wakil Ketua Tim Pemenangan Pemilu PKS Al Muzzammil Yusuf menuturkan, peningkatan suara partainya di pemilu kali ini terutama berkat militansi kader dan caleg dari struktur di tingkat pusat hingga tingkat desa. ”Dukungan rakyat Indonesia, terutama ulama, habaib, dan ormas Islam, juga menjadi penyumbang suara bagi PKS,” katanya.
Selain itu, hal ini tidak lepas dari konsistensi PKS sebagai partai oposisi yang mengusung Prabowo-Sandiaga Uno pada pemilihan presiden. Di sisi lain, kata dia, PKS menawarkan gagasan politik yang berpihak kepada masyarakat kelas menengah.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono menuturkan, kenaikan suara partainya disebabkan konsistensi Gerindra pada sikap politik sebagai oposisi. Gagasan Gerindra, misalnya untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat dan menyediakan harga bahan kebutuhan yang terjangkau, diterima secara positif oleh masyarakat.
”Sebagai oposisi, Partai Gerindra jadi harapan baru masyarakat, salah satunya terlihat dengan besarnya dukungan dari pemilih milenial. Ketokohan Pak Prabowo, yang juga calon presiden, juga tidak bisa dilepaskan sebagai faktor peningkatan suara kami,” ujar Ferry.
Pelajaran
Terkait hal itu, Direktur Program pada Lembaga Riset Saiful Mujani Research Consulting Sirojudin Abbas menilai, kenaikan suara Nasdem dan PKS terutama ditentukan oleh mesin parpol dan jaringan yang berjalan di akar rumput serta strategi kaderisasi dan perekrutan untuk menyiapkan caleg sebagai vote getter di tiap dapil.
Pemilu 2019, lanjut Sirojudin, memberi pelajaran bahwa untuk menghadapi pemilu serentak, parpol perlu lebih cerdik menyesuaikan strategi. Skema pemilu serentak tidak bisa dihadapi dengan strategi yang sama dengan pemilu yang terpisah. Kontestasi di pileg yang lebih sengit membuat parpol yang tidak agresif atau cerdik akan berjalan di tempat atau terlempar dari pertarungan.
Parpol juga tidak bisa lagi bekerja hanya menjelang pemilu. Parpol mesti lebih rutin dan berkesinambungan menguatkan jaringan dan basis dukungan di akar rumput. Parpol juga perlu lebih memperkuat pencitraan dan identitas berdasarkan platform, ideologi, atau program tertentu.