Fundamental Ekonomi Dinilai Kuat, Arus Modal Terus Masuk
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika politik Pemilihan Umum 2019 tidak berdampak signifikan terhadap arus modal masuk, baik ke pasar keuangan maupun pasar modal Indonesia. Hal itu karena kondisi fundamental ekonomi makro dan fiskal dinilai cukup kuat.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, arus modal masuk ke pasar Indonesia hingga triwulan I-2019 mencapai Rp 85,9 triliun. Modal masuk ke pasar saham sekitar Rp 10,6 triliun dan pasar keuangan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 75,3 triliun.
Arus modal masuk pada triwulan I-2019 jauh lebih baik dibandingkan dengan periode sama tahun 2018 yang hanya Rp 900 miliar. Modal masuk ke pasar saham negatif Rp 23,5 triliun, sementara pasar keuangan Rp 22,6 triliun.
Arus modal masuk ke pasar finansial Indonesia hingga triwulan I-2019 mencapai Rp 85,9 triliun. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan periode sama tahun 2018 yang hanya Rp 900 miliar.
”Saat ini kondisi pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sedang bullies karena kondisi fundamental ekonomi terjaga sehingga dinamika Pemilu 2019 hanya riak-riak sesaat,” kata Luky dalam konferensi pers kinerja APBN triwulan I-2019 di Jakarta, Senin (22/4/2019).
Frasa bull market berasal dari gerakan kepala kerbau besar yang mengarah ke atas, menggambarkan pasar yang sedang menguat atau naik. Sebaliknya, bear market berasal dari gerakan beruang yang selalu mengarahkan tangannya ke bawah jika ingin mencakar.
Luky mengatakan, kondisi pasar Indonesia yang bull juga tecermin dari penurunan imbal hasil SBN Indonesia tenor 10 tahun, baik dalam rupiah maupun dollar AS, dan indikator persepsi risiko investasi (credit default swap/CDS) 5 tahun.
Imbal hasil SBN Indonesia tenor 10 tahun per 9 April 2019 sebesar 7,58 persen (rupiah) dan 3,93 persen (dollar AS). Adapun CDS 5 tahun turun dari level 137,43 menjadi 91,77.
Kondisi pasar, lanjut Luky, dipengaruhi dua faktor utama, yakni fundamental ekonomi makro dan fiskal. Kedua faktor itu harus terjaga agar sentimen positif bisa tumbuh di tengah dinamika Pemilu 2019 dan perekonomian global. Kondisi pasar yang bull juga dipengaruhi keputusan The Federal Reserve (The Fed) menahan suku bunga acuan.
”Pemerintah akan tetap mewaspadai dinamika perekonomian global yang berisiko bagi perekonomian domestik,” ujarnya.
Risiko tetap ada
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, risiko pasar keuangan global masih ada kendati diperkirakan lebih kondusif dibandingkan dengan tahun 2018. Meskipun The Fed menahan kenaikan suku bunga acuan, tendensi peningkatan risiko di pasar keuangan global masih ada.
”Harga aset keuangan terus bergerak naik. Situasi ini akan meningkatkan biaya dana, menurunkan investasi, dan menekan pertumbuhan ekonomi,” kata Suahasil.
Untuk itu, lanjut Suahasil, pemerintah terus memantau dampak perkembangan pasar keuangan terhadap perekonomian global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan dua risiko yang perlu dicermati negara-negara berkembang, yakni peningkatan risiko utang dan arus modal keluar secara tiba-tiba.
”Shock di pasar keuangan global acap kali memiliki dampak interkoneksi yang kuat ke negara-negara berkembang,” katanya.
Beberapa faktor eksternal yang memiliki risiko terhadap sentimen dalam negeri, yakni ketidakpastian negosiasi perang dagang antara AS dan China, kesepakatan Brexit, dan fenomena geopolitik di sejumlah negara. Selain berdampak ke sentimen pasar, faktor eksternal itu juga akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi RI.
Dalam laporan terbarunya, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 dan 2020 akan datar 5,2 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi global terkoreksi dari 3,5 persen menjadi 3,3 persen pada 2019.