TURIN, SABTU — Juventus musim ini gagal meraih gelar juara Liga Champions yang sudah mereka incar selama 23 tahun. Meski demikian, ”Si Nyonya Besar” tetap berhasil merajai Eropa pada musim ini dengan cara mereka sendiri, yaitu menjadi juara Liga Italia sebanyak delapan musim beruntun.
Kepastian juara diraih setelah Juve mengalahkan Fiorentina 2-1 pada laga yang berlangsung di Stadion Allianz, Turin, Minggu (21/4/2019) dini hari WIB. Laga yang tepat bagi Juve untuk merayakan gelar juara ke-35 karena laga itu berlangsung di kandang mereka dan lawan yang mereka kalahkan adalah Fiorentina, rival besar Juve sejak musim 1981-1982.
Fiorentina, 37 tahun silam, menuduh Juve sebagai pencuri trofi. Pada musim 1981-1982 itu, Fiorentina dan Juventus memiliki poin sama dan tinggal menjalani laga terakhir di tempat berbeda untuk menentukan sang juara. Pada laga terakhir itu, Fiorentina merasa dicurangi. Gol mereka ke gawang Cagliari dianulir wasit, sedangkan Juve mendapat hadiah penalti ke gawang Catanzaro. Juve menang dan Fiorentina berseru, ”Lebih baik menjadi tim nomor dua daripada menjadi pencuri.”
Laga kemarin juga menyakitkan bagi ”La Viola”, julukan Fiorentina. Mereka sudah unggul lebih dulu setelah Nikola Milenkovic mencetak gol pada menit ke-6. Namun, bek Juve, Alex Sandro, menyamakan kedudukan pada menit ke-37 dan bek Fiorentina, German Pezzella, melakukan gol bunuh diri pada menit ke-53.
Sementara gawang Juve seolah dijaga oleh dewi fortuna ketika tembakan penyerang Fiorentina, Federico Chiesa, dalam dua kesempatan mengenai tiang dan kemudian mistar gawang. Wajar jika Juve juga membidik anak dari legenda Italia, Enrico Chiesa, itu sebagai pemain baru mereka musim depan.
Ketika wasit meniup peluit panjang, Fiorentina harus menyaksikan Juve memecahkan rekor yang fantastis. Belum ada klub lainnya dari lima liga top Eropa (Italia, Inggris, Spanyol, Jerman, dan Perancis) yang mampu meraih gelar juara beruntun sebanyak Juve. Rekor sebelumnya dipegang Lyon, tim yang menjuarai Liga Perancis sebanyak tujuh musim beruntun (2002-2008). Juve saat ini terbukti sebagai tim tertangguh di Eropa dalam hal dominasi liga domestik.
Wakil Presiden Juventus Pavel Nedved mengakui pencapaian fenomenal ini akan sulit untuk diulangi lagi, terutama di Italia. ”Meraih gelar juara beruntun seperti ini bukanlah sulit, melainkan mustahil,” ujarnya seperti dilansir laman Football-Italia.
Oleh karena itu, Juve memakai istilah ”Le6end” atau legend (legenda) untuk menggambarkan gelar beruntun keenam dan ”My7h” atau myth (mitos) ketika meraih gelar beruntun ketujuh. Pencapaian ketujuh sudah seperti mitos sehingga kali ini Juve hanya bisa berkata ”W8nderful” atau mengagumkan.
Nedved menggarisbawahi pencapaian di Italia karena di luar lima liga top Eropa masih banyak klub yang bisa mengukir rekor lebih fantastis. Lincoln di Liga Gibraltar dan Skonto di Liga Latvia masing-masing pernah meraih 14 gelar juara beruntun. Namun, kedua tim itu tidak mampu bersaing di kompetisi Eropa. Lincoln, misalnya, hanya mentok tampil sampai putaran kedua kualifikasi Liga Champions.
Bisa berlanjut
Meski demikian, Juve masih berpeluang melanjutkan dominasi pada musim depan. Sejauh ini, mereka merupakan klub yang punya kedalaman skuad sehingga bisa tampil konsisten sepanjang musim. Apalagi Cristiano Ronaldo, pemain terbaik Juve saat ini, sudah menyatakan tetap bertahan di Turin.
”Ini musim yang menyenangkan dan saya bisa beradaptasi dengan baik. Meski sulit, kami bisa menjuarai Liga Italia dan Piala Super Italia,” ujar Ronaldo yang sebenarnya dibeli Juve untuk memenangi Liga Champions. Meski gagal di Liga Champions, Ronaldo saat ini sudah menjadi pemain pertama yang mampu menjadi juara di tiga liga top Eropa yang berbeda (sebelumnya di Inggris bersama Manchester United dan di Spanyol bersama Real Madrid).
Faktor kedua adalah peran sang pelatih Massimiliano Allegri yang saat ini menjadi pelatih pertama yang meraih lima gelar juara Serie A secara beruntun bersama Juve. Sepanjang kariernya, Allegri total telah mengoleksi enam trofi Serie A, satu trofi bersama AC Milan. Ia kini berada di belakang Giovanni Trapattoni yang sudah mengoleksi tujuh gelar.
Allegri bisa mencapai rekor tersebut berkat gayanya yang pragmatis. Juve menjadi tim yang lebih mengutamakan hasil daripada permainan yang cantik. ”Permainan yang indah tidak akan membuahkan hasil. Pada akhirnya anda memahami hasil lebih penting,” ujar Allegri ketika Juve ditahan imbang Parma 3-3, awal Februari lalu.
Sebagai klub yang mendominasi Italia dan setidaknya selalu tampil di fase gugur Liga Champions, Juve punya modal berlimpah untuk mendapatkan pemain-pemain terbaik yang mereka inginkan. Mereka juga bisa mencetak pemain masa depan seperti Moise Kean. Juve tinggal mencari cara untuk menancapkan taringnya di Eropa, atau tidak berbuat apa-apa dan terjebak menjadi raja lokal seperti Lincoln di Gibraltar. (AP/AFP/REUTERS)