Melongok Muslim di Xinjiang China
Kebebasan memeluk agama, termasuk untuk tidak memeluk agama apa pun, adalah hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi China. Keragaman kehidupan antarumat beragama adalah keniscayaan sejak ratusan tahun lalu.
Agama Islam di China berkembang sejak abad ke-9, tetapi pengaruhnya secara masif terjadi sejak abad ke-15 sehingga pengaruh Islam signifikan ikut membentuk kebudayaan China selain pengaruh dari Konfusius, Buddha, dan Taoisme.
Ini terlihat, misalnya, dari bentuk masjid yang merupakan gabungan arsitektur berbagai kebudayaan. China punya Al Quran yang ditulis di potongan kayu atau dipahat di batu, seperti terlihat di Masjid Niujie, Beijing.
Jumlah umat Islam di China kini 23 juta orang dari 13 etnis. Yang terbesar adalah Hui, 11 juta orang, diikuti Uyghur 10 juta orang. Selain itu, ada Kazakh, Dongxiang, Kirgiz, Salar, Tajik, Baoan, Uzbek, dan etnis Tatar.
Ada 720-an organisasi Islam di China yang semuanya bergabung dalam wadah nasional asosiasi Islam atau kalau di Indonesia kira-kira semacam Majelis Ulama Indonesia.
Meski negara komunis itu tegas memisahkan urusan agama dengan pemerintahan, ada beberapa hal di mana pemerintah membantu pengembangan agama. Pemerintah China, misalnya, menyubsidi setiap masjid ataupun imam masjid.
”Sebagai imam masjid, saya dapat bantuan 1.600 yuan (Rp 3,2 juta) setiap bulan selain bantuan pemeliharaan atau renovasi masjid,” ujar Husein Memeti di Masjid Jame Shufu di Hotan, selatan Xinjiang.
Bahkan, Pemerintah China membiayai pendidikan agama bagi yang ingin menjadi ulama, imam masjid, ataupun pengurus masjid. ”Gratis dan ada subsidi untuk siswanya,” ujar Abede Rikip, Ketua Asosiasi Islam China Provinsi Xinjiang.
Maraknya terorisme
Lalu, mengapa beberapa tahun ini China justru disoroti, dikritik, bahkan dicaci maki berbagai kalangan karena dituduh menindas atau bertindak zalim terhadap umat Islam?
Jawabannya adalah ancaman terorisme. Pemerintah China merasa Xinjiang, yang berbatasan dengan delapan negara Asia Tengah, telah menjadi pintu masuk bagi penyebaran radikalisme dan terorisme sejak 1990-an.
Kementerian Publisitas China mencatat, dari sekitar 2.000 aksi teroris yang berlangsung di China sejak 1992, hampir semuanya terjadi di Provinsi Xinjiang.
Korban teror beragam, mulai dari petani, karyawan pabrik, hingga polisi. Pada 12 Mei 1996, imam masjid Etigar di Kasghar Aronhan tewas ditikam dan 21 orang di masjid luka-luka. Ada penyebaran racun dalam stok pangan di Kasghar pada 1998.
Ada pembantaian di Pasar Daximen dan pasar kain di Hetanlu, Urumqi, pada Mei 1998 atau aksi menabrakkan bom mobil ke kerumunan massa, penyerangan kantor polisi, penjaga perbatasan, hingga pembajakan bus dan pesawat. Sebagian besar terekam kamera pemantau (CCTV) yang tersebar di semua tempat di China.
Begitu hebatnya aksi teroris di Xinjiang sampai pemerintah membuat pameran khusus di Urumqi pada Februari 2019, membeberkan secara gamblang kengerian aksi-aksi teroris.
Konflik di Xinjiang memang punya sejarah yang panjang dengan banyak faktor pemicu. Pertama adalah perbedaan etnis. Warga Uyghur merasa mereka bukan orang China, ciri fisik, etnis, ataupun bahasanya. Mereka merasa lebih dekat dengan etnis Turkistan.
Soal lain adalah derasnya migrasi, terutama etnis Han ke Xinjiang. Dari hanya 5 persen pada 1949, etnis Han kini sudah melebihi 40 persen populasi. Di ibu kota Provinsi Urumqi, etnis Uyghur kini justru minoritas. Ini menyebabkan, meski Xinjiang ditetapkan sebagai Provinsi Otonom Uyghur, warga Uyghur justru tersingkir dalam pembangunan.
Pembangunan infrastruktur dan industri memancing pemodal dan tenaga kerja terampil datang ke kota-kota besar di Xinjiang. Etnis Han secara bertahap mengambil semua peluang dan menciptakan kesenjangan dengan kehidupan warga Uyghur.
Tak ada teror di agama
Kesenjangan dan kecemburuan sosial itu yang pada era 1990-an bergeser menjadi gerakan radikalisme dan terorisme dengan isu agama sebagai bahan penyulutnya.
”Kesenjangan harus kita atasi. Kami sadar betul soal itu. Akan tetapi, terorisme harus diperangi. Tak boleh ada standar ganda. Tidak ada agama yang mengajarkan teror,” ujar Juan Juango, Wakil Menteri Publisitas China.
Penegakan hukum sudah dilakukan. Bagi yang belum melakukan aksi teror tetapi sudah terpapar pikiran radikal, China membuat program deekstremisasi. ”Kami membuat pusat-pusat deekstremisasi sekaligus pendidikan vokasi untuk membekali mereka dengan keterampilan,” ujar Juango.
Pada titik itulah perbedaan dalam melihat persoalan terjadi dan mengisi berbagai berita soal Xinjiang. Banyak media Barat menilai pusat-pusat pendidikan dan vokasi sebagai kamp-kamp konsentrasi yang dipakai untuk indoktrinasi dan propaganda, yang melanggar hak asasi.
Pada Agustus 2018, sebuah komite PBB mendapat laporan soal satu juta warga Uyghur dan kelompok Muslim lainnya ditahan dan menjalani program ”reedukasi”.
Sebuah media asing menyatakan sejumlah mantan tahanan mengaku disiksa fisik ataupun psikologis. Semua keluarga mereka lenyap. China diberitakan telah melarang mereka melaksanakan ibadah dan penggunaan jilbab.
Bisa diduga, Pemerintah China membantah. Kini malah Pemerintah China mengundang media Barat ataupun Asia untuk menyaksikan sendiri kondisi di Xinjiang setelah China secara total memerangi teroris.
”Selama dua tahun terakhir, tak ada satu pun aksi teroris terjadi di Xinjiang. Kini kami lebih percaya diri. Kami mengundang media untuk melihat Xinjiang dan pusat-pusat pendidikan dan vokasi,” ujar Juango.
Dari Indonesia, 6 media dan 18 pengurus ormas Islam serta MUI diundang berkunjung ke Xinjiang dalam program terpisah. Awak media mengunjungi 4 dari 20 lokasi pendidikan dan vokasi di Atushi, Kashi, Shule, dan Hotan, serta bertemu keluarga dan para alumninya.
Meski dari luar pusat-pusat pendidikan ini dikelilingi pagar tinggi, di dalam siswa diberi keleluasaan berkegiatan. Tuduhan media Barat bahwa peserta ”dipaksa” belajar bahasa Mandarin benar adanya.
”Mereka warga China, jadi harus bisa berbahasa Mandarin. Lagi pula bahasa Mandarin dibutuhkan untuk kemudahan berkomunikasi,” ujar Mahumuti Mamuti, Kepala Lembaga Pendidikan dan Vokasi di Hotan, memberikan alasan.
”Kami juga mengajarkan konstitusi dan hukum. Pikiran radikal adalah hal yang tak semestinya mereka yakini,” ucapnya.
Hal itu dibenarkan siswa. ”Sebelum ke sini, saya tak bisa bahasa Mandarin dan tak ingin mempelajarinya. Buat apa. Pemerintah China itu haram bagi Islam".
Segala hal yang dibangun pemerintah haram dan harus dihancurkan. Sekarang saya menyesali semua pikiran itu,” ujar Memeti Azisdiki (42) menjelaskan alasannya ”diminta” kepala desanya ikut pendidikan dan vokasi.
Hal senada disampaikan Mahmud Majid (32) yang mengaku beruntung karena ditegur polisi dan disarankan ikut lembaga pendidikan dan vokasi di Kashi.
”Seandainya tidak ditegur polisi, mungkin saya sudah membakar rumah-rumah subsidi pemerintah dan gedung-gedung pemerintah. Sekarang saya sadar itu semua karena terpapar pikiran-pikiran radikal. Saya beruntung sekarang saya bisa belajar tentang e-commerce yang bisa dijadikan bekal saya berdagang setelah lulus nanti,” ujarnya.
Tidak ada petugas yang mengawasi wawancara. Wartawan diberi kebebasan juga untuk masuk ke kamar tidur, kamar mandi, perpustakaan, ruang konsultasi, mendengarkan peserta menelepon atau melakukan video call dengan keluarga, dan mengobrol di arena olahraga.
Sulit memastikan apakah jawaban yang diberikan mencerminkan kebenaran atau rekayasa. Namun, pernyataanpernyataan seperti itulah yang didapat dari siswa yang diwawancara di empat lokasi.
Para peserta menjalani pendidikan dan vokasi enam jam setiap hari, tiga jam di pagi hari dan tiga jam di siang hari, diselingi istirahat dua jam. Mereka tinggal di asrama dan diizinkan pulang ke rumah setiap Minggu.
”Kami memulai pendidikan dengan melakukan perjanjian kontraktual tentang apa saja yang ditempuh selama pendidikan dan menentukan apa saja syarat kelulusan. Setiap orang berbeda sehingga ada yang 6 bulan, ada yang hingga setahun,” ujar Mehmeti Ali Tuyrsu, Kepala Lembaga Pendidikan dan Vokasi di Shule.
Lutfi Amer At-Tamimi, Sekretaris Jenderal Lembaga Persahabatan Ormas Islam, yang ikut dalam kunjungan ke China, mengatakan bisa memahami upaya Pemerintah China memberantas aksi terorisme ataupun upayanya mencegah berkembangnya radikalisme.
”Secara prinsip, bukankah itu juga yang dilakukan BNPT,” ujarnya. ”Kunjungan ini membuka mata kita untuk tidak begitu saja percaya pada media Barat tentang penyiksaan warga Muslim yang ternyata tak semua terbukti.”
Keleluasaan beribadah
Hal senada dikatakan Ketua Bidang Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia Muhyidin Junaidi. Ada perspektif baru yang mengubah pandangan tentang Xinjiang.
Kalaupun ada yang masih sangat patut dikritik adalah dari kebijakan melarang warga Islam menjalankan ibadah—apa pun agamanya—di tempat publik. Ibadah hanya bisa dilakukan di rumah atau tempat ibadah.
Kebijakan ini menyebabkan semua peserta pendidikan dan vokasi di 20 lokasi di Xinjiang, tidak bisa menjalankan shalat. Perempuan juga tak bisa mengenakan jilbab. Semua fasilitas di lembaga itu, bahkan juga di kamar tidur, masuk kategori tempat umum.
Baik Muhyidin maupun Lutfi berharap Pemerintah China memberi keleluasaan bagi umat Muslim di Xinjiang, untuk bisa menjalankan ibadah dan kewajiban agama. Sebab, apalah arti jaminan kebebasan beragama jika tak ada keleluasaan menjalankan ibadahnya?