Perkuat Industri Kecil Menjadi Bagian Rantai Pasok Industri Besar
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Integrasi dan interkoneksi industri besar dan kecil dalam penerapan teknologi industri 4.0 harus ada. Jika tidak, industri kecil sebagai sektor hulu akan semakin tergantikan dengan bahan baku impor.
"Selama ini, industri kecil sebagai sektor hulu masih bekerja sendiri-sendiri. Itu menyebabkan industri besar lebih memilih impor karena mereka butuh kepastian dan harga bahan baku yang murah," kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho saat dihubungi Kompas, Senin (22/4/2019).
Menurut Andry, dalam penerapan teknologi industri 4.0 hubungan industri kecil dengan industri besar adalah saling melengkapi. Jangan sampai sektor hulu Indonesia nantinya malah berada di luar, bukan di dalam negeri.
Dalam hal ini, pemerintah harus turun tangan memfasilitasi industri kecil agar dapat menjadi bagian dari rantai pasok. Pemerintah dapat memberikan pinjaman modal hingga memfasilitasi kerja sama antarindustri.
"Program penerapan teknologi industri 4.0 harus menjadi agenda prioritas pemerintah. Bukan hanya di ranah Kementerian Perindustrian, tetapi juga lintas kementerian atau lembaga pemerintahan terkait," kata dia.
Pemerintah harus turun tangan memfasilitasi industri kecil agar dapat menjadi bagian dari rantai pasok. Pemerintah dapat memberikan pinjaman modal hingga memfasilitasi kerja sama antarindustri.
Andry mencontohkan, pembuatan regulasi Internet of Things (IoT) merupakan ranah dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Regulasi itu juga harus disesuaikan dengan arah pengembangan industri 4.0 yang dimotori Kementerian Perindustrian.
Memang untuk awal penerapan, teknologi industri 4.0 akan dimonopoli industri besar. Sebab, diperlukan modal kuat untuk menerapkan otomatisasi dan mengkoneksikan faktor produksi melalui internet.
Sejalan dengan itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengemukakan, melalui teknologi industri 4.0, biaya produksi industri makanan dan minuman dapat turun hingga 40 persen, namun investasi meningkat dua kali lipat. Investasi inilah yang menjadi kendala bagi industri kecil.
"Saya juga mendorong pemerintah ikut membantu memikirkan bagaimana memberikan pinjaman modal bagi industri kecil. Sebab, ujung-ujungnya, daya saing kita harus meningkat. Itu yang paling penting," kata Adhi.
Tenaga kerja
Guna membantu pengembangan industri kecil, Adhi menyampaikan perlunya keterbukaan industri besar. Khususnya dalam pemberian pelatihan bagi para tenaga kerja mengenai transformasi teknologi ke industri 4.0.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono menyampaikan, saat ini balai latihan kerja berjumlah 305 balai dengan kapasitas 300.000 tenaga kerja. Sementara kebutuhan, mencapai sekitar 3,7 juta tenaga terampil.
"Kami menyadari, konsekuensi penerapan industri 4.0 akan membuat beberapa lapangan kerja hilang. Namun, akan ada peluang lapangan kerja baru. Maka, program pelatihan yang kami berikan, mengacu pada kebutuhan industri," kata Satrio.
Peluang pekerjaan baru tentu membutuhkan keterampilan baru. Satrio menyampaikan, keadaan saat ini sama seperti ketika memasuki revolusi industri 2.0 dengan adanya penemuan listrik dan motor pembakaran dalam (combustionchamber) yang salah satunya menjadi awal pembuatan mobil.
"Saat itu, dengan masuknya industri 2.0, pekerjaan kusir terancam digantikan oleh supir. Dalam keadaan tersebut, yang dibutuhkan adalah meningkatkan keterampilan dari kusir. Ini yang tengah kami lakukan," ujar Satrio.