Pertemuan antara kedua calon presiden pada Pemilu 2019, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, dinilai perlu segera dilakukan untuk mengakhiri polarisasi di kalangan masyarakat akar rumput.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR dan ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan antara kedua calon presiden pada Pemilu 2019 dinilai perlu segera dilakukan untuk mengakhiri polarisasi di kalangan masyarakat akar rumput. Pada saat yang sama, penyelenggara pemilu juga perlu menunjukkan profesionalisme dan transparansi dalam melakukan penghitungan suara agar tidak muncul rasa ketidakpercayaan publik karena dugaan temuan kecurangan.
Pada hari Minggu (21/4/2019) siang, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, yang menjadi utusan Presiden Joko Widodo, direncanakan menemui capres nomor urut 02, Prabowo Subianto. Pertemuan itu diagendakan dilakukan di kediaman Prabowo, di Kertanegara, Jakarta.
Pada hari Sabtu, Direktur Komunikasi Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi yang juga adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, menuturkan, Prabowo akan menerima kedatangan Luhut untuk menyampaikan pesan Jokowi. ”Mungkin Pak Luhut akan bertemu Pak Prabowo,” katanya (Kompas, 21/4/2019).
Namun, pertemuan itu batal dilakukan. Hari Minggu, Prabowo melakukan agenda internal di kediamannya, di Hambalang, Bogor, dan Kertangeara, salah satunya menemui mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, secara simbolis kehadiran Luhut, yang mewakili Jokowi, untuk menemui Prabowo kurang tepat. Ia menilai, sebaiknya Jokowi menemui langsung Prabowo karena kedua tokoh politik itu yang berhadapan langsung pada kontestasi pemilihan presiden.
”Publik menanti-nanti Pak Jokowi dan Pak Prabowo sebagai tokoh menunjukkan itikad dan semangat rekonsiliasi. Akan lebih elegan dan lebih baik keduanya bertemu langsung,” ujar Firman, Minggu, di Jakarta.
Sebelumnya, Jokowi juga telah dua kali menemui Prabowo seusai kontestasi politik. Pertama, setelah Pemilihan Presiden 2014, Jokowi menemui Prabowo di Kertanegara, Oktober 2014. Kedua, sebelum Pilkada DKI Jakarta 2017, Jokowi bersama Luhut bertandang ke Hambalang, Oktober 2016.
Lebih lanjut, tambah Firman, agar upaya rekonsiliasi dapat memiliki dampak yang lebih besar, sebaiknya pertemuan Jokowi dan Prabowo juga melibatkan tokoh-tokoh lain di kedua belah pihak.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono menuturkan, pertemuan Luhut dengan Prabowo tidak terjadi. Hal itu disebabkan Prabowo bersama Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno tengah mengawal proses rekapitulasi suara pilpres.
”Kami sedang berkonsetrasi terhadap proses penghitungan suara dan pengumpulan bukti kecurangan, baik sifatnya kualitatif maupun kuantitatif,” kata Ferry.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Andre Rosiade menambahkan, Prabowo tidak menutup peluang untuk bertemu dengan Jokowi. Menurut dia, Prabowo akan lebih membuka diri untuk menemui Jokowi dibandingkan Luhut.
”Pak Prabowo tentu ingin bertemu Pak Jokowi karena beliau tetap menjaga persahabatan dengan Pak Jokowi,” kata Andre.
Andre menekankan, Prabowo memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme yang tinggi sehingga tetap berkomitmen kuat untuk menjaga keutuhan bangsa. Oleh karena itu, lanjutnya, Prabowo akan melakukan apa pun agar bangsa Indonesia tidak terpecah belah.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Moeldoko, belum mengetahui apa yang menyebabkan rencana pertemuan antara Luhut Binsar Pandjaitan dan Prabowo. Namun, dia menekankan, pertemuan itu amat dibutuhkan.
”Para elite harus menjadi contoh bagi masyarakat akar rumput di bawah. Kalau di elite baik-baik saja, di akar rumput juga akan menyesuaikan. Dalam situasi seperti ini, peran elite sangat dibutuhkan,” ujarnya.
Kepercayaan
Firman menyatakan, konflik yang muncul di masyarakat disebabkan ada perasaan dicurangi dalam pelaksanaan pesta demokrasi itu. Untuk meredam konflik itu, Firman menekankan, penyelenggara pemilu, aparat keamanan, dan pemerintah perlu meyakinkan dan memuaskan semua pihak untuk membuktikan ketiadaan kecurangan selama penyelenggaraan Pemilu 2019.
Andai ada indikasi kecurangan, hal itu seharusnya dapat diselesaikan secara adil dan tuntas. ”Terdapat korelasi antara tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu. Kalau kepercayaan itu bisa dijaga, saya yakin tidak ada kekacauan yang tidak perlu,” ujarnya. (SAN)