JAKARTA, KOMPAS – Putusan hakim pada Pengadilan Negeri Cibinong, Kabupaten Bogor, yang membebaskan HI (41), membuat orangtua dari korban pelecehan seksual kakak beradik berinisial J (14) dan J (7) terus berupaya mencari keadilan atas peristiwa yang menimpa anaknya. Hukum yang belum berpihak terhadap korban kekerasan seksual membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera disahkan agar jaminan keadilan bagi korban tidak terabaikan.
Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta Uli Pangaribuan saat jumpa pers, Senin (22/4/2019), di Jakarta, mengatakan, putusan hakim yang membebaskan pelaku HI menjadi preseden buruk bagi korban kekerasan seksual.
“Hal tersebut juga membuat turunnya kepercayaan publik kepada aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual, dan membuat korban-korban kekerasan seksual tidak mempercayai proses hukum,” kata Uli.
Uli mengatakan, kasus kekerasan seksual yang dialami oleh kakak beradik itu sudah berlangsung sekitar 3 tahun dan berulang kali sejak J berumur 11 tahun dan J berumur 4 tahun. Pelaku HI (41) merupakan tetangga korban.
Mengetahui anaknya mendapat kekerasan seksual, orangtua korban melaporkan ke polisi. Pelaku pun menjalani persidangan di PN Cibinong yang dipimpin tiga orang hakim, Muhammad Ali Askandar, Chandra Hutama, dan Raden Ayu Rizkiyati sebagai Hakim Anggota.
Berdasarkan informasi dari orangtua korban dan jaksa penuntut umum, dalam proses persidangan ditemukan kejanggalan dan tidak terpenuhinya prinsip-prinsip peradilan yang jujur dan adil.
Kejanggalan tersebut seperti, korban tidak boleh didampingi oleh orangtua atau pendamping lainnya. Sehingga saat persidangan korban dipertemukan langsung dengan pelaku tanpa pendampingan. Selain itu, keluarga korban tidak diinformasikan tentang perkembangan proses persidangan.
Dalam persidangan, Jaksa menuntut HI dengan hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp 30 juta berdasarkan Pasal 81 Ayat 2 dan Pasal 82 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Namun pada 25 Maret 2019 majelis hakim memutuskan HI bebas dengan pertimbangan bahwa tidak ada saksi yang melihat langsung kejadian perkara.
“Pelaku pada saat pemeriksaan di persidangan sudah mengakui pernah melakukan kekerasan seksual kepada J dan J. Selain itu, para saksi sudah menjelaskan di persidangan, keterangannya saling menguatkan serta dari hasil visum J dan J terbukti telah Kekerasan seksual terhadap anak,” kata Uli.
Tidak sesuai peraturan
Uli mengatakan, meminta aparat penegak hukum mempertimbangkan dan mengembangkan alat bukti yang lain, yaitu keterangan saksi korban, di samping alat bukti lain sesuai dengan mandat KUHP dan UU Perlindungan Anak.
Anggota sekaligus Asisten Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indoensia (MAPPI FHUI) Meyriza Violyta mengatakan, hakim dalam menangani perkara belum sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Mayriza menilai, hakim kurang cermat dalam menggali fakta persidangan. Anak (korban) merupakan pihak yang harus dilindungi dan memiliki posisi yang rentan. Hakim dalam perkara ini tidak melihat adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku, dampak fisik dan psikis yang dialami korban, dan ketidakberdayaan fisik serta psikis korban sehingga tidak mampu menolak atau melawan perbuatan pelaku.
“Apalagi selama proses hukum anak korban harus bertemu dengan pelaku di mana hal tersebut tidak memperhatikan kondisi psikologis korban dan seharusnya hakim bisa melakukan pemeriksaan terpisah,” kata Mayriza.
Selain itu, dengan tidak mengizinkan korban untuk mendapat pendampingan oleh orangtua atau pendamping telah melanggar Pasal 9 PERMA Nomor 3 Tahun 2017.
Untuk itu, LBH Apik Jakarta dan MAPPI FHUI meminta, Mahkamah Agung agar terus melakukan sosialisasi PERMA dan meminta seluruh hakim menjalankan PERMA Nomor 3 Tahun2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Menurut Uli, seharusnya hakim yang berinisiatif agar korban anak didampingi oleh pendamping, apalagi hak atas pendamping juga dijamin oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang lain seperti dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Oleh karena itu, LBH Apik Jakarta dan MaPPI FHUI akan mengawal kasus pelecehan seksual yang menimpa J dan J. Uli mengatakan, akan memberikan poin masukan dalam memori kasasi ke MA.
“Perlu ada perlindungan hukum bagi korban. Kasus pelecehan seksual kepada anak-anak adalah kejahatan besar. Jika ini dibiarkan akan ada korban anak-anak lainnya. Sekarang keluarga korban justru yang mengungsi. Padahal mereka korban,” kata Uli.
Uli menuturkan, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual semakin mendesak untuk dilakukan agar tidak ada kasus serupa terjadi kepada para pencari keadilan dalam kasus-kasus kekerasan seksual.
Ia melanjutkan, pengusutan kasus pelecehan seksual tidak hanya tertuju kepada pelaku, tetapi juga kepada hakim yang membebaskan HI.
“Langkah yang kami tempuh, meminta kepada Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kasasi kepada pelaku yang sedang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” lanjutnya.
LBH Apik Jakarta dan MAPPI FHUI juga meminta, Komisi Yudisial dan Badan Pengawas MA untuk memberikan sanksi kepada hakim yang memeriksa perkara J dan J karena membebaskan pelaku pelecehan seksual anak.
“Kami juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan pemulihan kepada korban dan keluarganya dari trauma serta kerugian materi akibat kasus ini. Selain itu, memberikan perlindungan pada korban dan keluarga,” kata Uli.