Indonesia kebanjiran pujian masyarakat internasional atas terselenggaranya pemilu presiden dan pemilu legislatif secara serentak, 17 April lalu. Ketakjuban mereka terkait ukuran pemilu dari segi jumlah pemilih dan petugas serta tempat pemungutan suara, luas cakupan wilayah, kandidat yang bersaing, kursi yang diperebutkan, dan durasi pencoblosan.
Lembaga think tank dari Australia, Lowy Institute, menyebut pilpres dan pileg pada 17 April lalu sebagai salah satu pemilu paling rumit di dunia. ”Pemilihan nasional terbesar dan paling kompleks dalam satu hari yang pernah diadakan di mana saja,” kata Gary Quinlan, Dubes Australia untuk Indonesia, lewat cuitan di akun Twitter-nya. ”Australia kagum dengan hal itu.”
Dengan 192 juta lebih pemilih terdaftar, sekitar 6 juta petugas pemilihan, sekitar 810.000 TPS, dan melibatkan lebih dari 250.000 kandidat yang memperebutkan 20.538 kursi legislatif di empat level perwakilan—hanya dalam waktu enam jam!—media Inggris, Guardian, menyebut, pemilu 17 April lalu merupakan pemilu terbesar dan paling kompleks di dunia yang digelar dalam satu hari.
Khusus pilpres, pemilu 17 April lalu merupakan pilpres langsung terbesar di dunia. AS, dengan 138 juta pemilih atau 58,1 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) pada pilpres 2016, menggunakan sistem elektoral tidak langsung.
Dengan ukuran sebesar itu dan cakupan wilayah dari Sabang sampai Merauke, penanganan logistik bukan persoalan yang sederhana. Sebagai perbandingan lagi, gara-gara kendala logistik itu, pemilu Nigeria sempat ditunda sepekan hingga tiga pekan. Negara tetangga ASEAN, Thailand, bahkan berkali-kali mengalami penundaan pemilu pascakudeta 2014 sebelum akhirnya tergelar pada 24 Maret lalu.
Dengan kompleksitas dan besarnya ukuran pemilu 17 April lalu, cukup beralasan jika sejumlah pemimpin negara juga menyampaikan pujian kepada Indonesia.
Menurut hitung cepat sejumlah lembaga survei, Joko Widodo unggul atas pesaingnya, Prabowo Subianto, dalam perebutan kursi presiden 2019-2024. Hingga Minggu (21/4/2019) pukul 19.00 WIB, hitung suara sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperlihatkan Jokowi meraih 54,39 persen suara, berbanding Prabowo 45,61 persen. Di beberapa kesempatan, Jokowi mengingatkan agar rakyat bersabar menunggu hasil resmi KPU.
Sorotan lain media internasional pada pemilu 17 April lalu adalah soal akomodasi Islam dalam politik di Indonesia. Pengamat dari Brookings Institution, Shadi Hamid, penulis buku Islamic Exceptionalism, menyebutkan, hal itu merupakan tren global di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim di mana demokrasi belum klop dengan sekularisme. Mesir dan Turki disebut memiliki struktur yang sama dengan Indonesia.
Meningkatnya politik identitas di Indonesia, lanjut Hamid, merupakan bagian dari tren geopolitik lebih luas di mana ”kompetisi demokrasi menjadi kurang berorientasi kebijakan dan teknokratis dan menjadi lebih dikuasai masalah-masalah identitas, budaya, dan agama” (Krithika Varagur, Foreign Policy, 17 April 2019).
Terlepas dari itu semua, sukses pemilu 17 April lalu telah menorehkan sejarah baru. Tidak tertutup kemungkinan, hanya sekali itu pilpres dan pileg digelar serentak mengingat muncul desakan agar penggabungan dua pemilu itu ditinjau ulang.
Sejarah ini patut disyukuri, sekaligus mengafirmasi posisi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan AS.