Semangat Kartini Terus Menyala
”Kawin bae ambiran dipangani wong lanang (Menikah saja biar dinafkahi suami).”
Kalimat itu masih terngiang di telinga Aisyah (16). Namun, anak yang putus sekolah ini menolak saran tersebut meski datang dari keluarga dan temannya.
Selasa (16/4/2019) sore, Aisyah bersama sejumlah teman belajar tentang sejarah pemilu di Indonesia. Mereka duduk di lantai sebuah bangunan tanpa pintu seluas 8 meter x 6,5 meter di Kampung Karangdawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon.
Lokasi itu di tengah kebun, sekitar 8 kilometer dari pusat pemerintahan Kota Cirebon. Mereka datang membawa buku dan pulpen dibungkus plastik. Selain berdiskusi, mereka membaca artikel secara daring di telepon pintar gurunya. Begini cara Aisyah melawan tekanan untuk menikah muda.
Anak-anak perempuan itu belajar di Sekolah Alam (SA) Wangsakerta 1,5 tahun terakhir. Sekolah gratis itu tidak mengharuskan 20 siswa berseragam. Di sekolah itu mereka belajar menulis, berkesenian, membuat pupuk organik, mengolah sampah, hingga bercocok tanam. Ini yang membangkitkan asa Aisyah ketika putus sekolah pada tahun 2017.
Aisyah hanya mengenyam pendidikan hingga kelas IX. Bapaknya, Ilman, penarik becak, kerap tak bekerja karena sakit. Ibunya, Tisni, pernah bekerja di pabrik soun dengan upah Rp 50.000 per hari jika tidak turun hujan. Namun, saat mengandung Arman (1), Tisni berhenti bekerja.
Kakak Aisyah, Kadiman, juga tidak tamat SMP. Kini, ia menjadi penjual perabot rumah tangga di Batam. Kondisi tersebut membuat Aisyah harus putus sekolah lalu bekerja.
Gadis mungil dengan alis tebal dan lesung pipi itu pernah menjadi asisten rumah tangga di perumahan dekat kampungnya dengan upah Rp 250.000 per minggu. Hal itu lumrah bagi perempuan di sana.
Ada belasan perumahan mengimpit lahan persawahan yang semakin sempit. Sawah di tempat itu termasuk 835 hektar lahan pertanian yang hilang di Cirebon pada kurun 2013-2017.
Lapangan kerja lain adalah buruh pengupas bawang putih atau pemetik cabai. Upahnya mulai Rp 20.000 sampai Rp 60.000 per dua hari. Di Kampung Karangdawa, istilah perempuan tulang rusuk laki-laki tidak sepenuhnya terjadi sebab mereka menjadi tulang punggung keluarga.
Aisyah pernah bekerja tiga bulan di pabrik nugget. Upahnya Rp 500.000 per bulan dengan waktu kerja pagi hingga sore. ”Saya berhenti. Enggak kuat kena marah terus. Saya mau sekolah lagi. Enggak dikasih uang juga enggak apa-apa, yang penting sekolah,” ujar Aisyah yang dulu harus berjalan kaki satu jam setiap hari ke sekolah karena tidak ada angkutan umum.
Perkawinan dini
Saat berhenti kerja dari pabrik nugget, keluarganya meminta Aisyah menikah, apalagi teman sepantarannya juga menikah. ”Saya bilang, emong (enggak mau). Kita bli weruh (saya belum tahu) apa-apa,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Kondisi Beah (16), anak perempuan lain, tidak lebih baik. Ia lulusan sekolah dasar. Orangtuanya penarik becak dan buruh pabrik soun. Melanjutkan pendidikan terlalu berat bagi keuangan keluarga. ”Saya pernah disuruh nikah, tapi enggak mau,” ucapnya.
”Saya juga enggak mau nikah. Nanti ribut bae (saja) dan kelihatan tua. Teman saya masih muda, tapi sudah gendong bayi kayak ibu-ibu,” tutur Linda (15), yang juga putus sekolah.
Hasil pemetaan SA Wangsakerta bersama sejumlah warga Kampung Karangdawa, 198 anak usia 6-18 tahun tidak bersekolah. Jumlah itu lebih dari 30 persen anak usia sekolah di kampung berpenduduk 2.695 orang itu. Sebanyak 235 warga teridentifikasi buta huruf.
Rata-rata warga Cirebon menikah di usia 18-19 tahun. Akibat menikah muda, ketahanan keluarga lemah karena belum mapan secara ekonomi.
Kepala Seksi Advokasi, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) Kustriyanto memaparkan, menikah muda dan kehamilan dini berisiko pada kematian ibu dan bayi serta anak stunting. Risiko lain adalah perceraian. Tahun lalu, 60 persen dari 5.065 kasus perceraian di Cirebon dipicu menikah muda.
Dinas P2KBP3A mencatat, kematian bayi tahun 2017 di Cirebon 185 jiwa. Tahun sebelumnya 209 bayi. Pemkab Cirebon pun menjadikan Karangdawa sebagai kampung keluarga berencana (KB) untuk mencegah kematian bayi.
Namun, menurut Ketua RT 006 Karangdawa Tini, hasilnya tidak maksimal. ”Di sini banyak yang tidak ikut KB. Daripada bayar Rp 25.000 untuk suntik KB, mending untuk beli beras. Sekarang baru tahu suntik KB gratis untuk peserta BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Aisyah dan teman-temannya menemukan solusi untuk tetap bersekolah melalui SA Wangsakerta. Pagi hari, mereka mengambil air, mengurus adik, dan memetik cabai. Siang hari, mereka belajar. ”Saya sudah baca enam novel,” kata Aisyah yang gemar menulis.
Mereka bahkan ikut memetakan potensi dan problem kampung, seperti kepemilikan sumur hingga belanja rumah tangga warga yang sebagian besar habis untuk belanja pangan. Saat Aisyah memaparkan hasilnya di hadapan warga, orangtuanya menangis haru.
”Kami mencoba menyediakan pendidikan alternatif sehingga mereka tetap bersekolah dan tidak menikah muda. Keinginan mereka untuk sekolah luar biasa,” ujar Farida Mahri, salah satu pendiri SA Wangsakerta. Para siswa pun membuat lagu berjudul ”Sebuah Harapan” yang bercerita tentang keinginan untuk tidak menikah muda.
Semangat Aisyah dan teman-temannya untuk tetap mengenyam pendidikan di tengah berbagai keterbatasan mengingatkan pada perjuangan RA Kartini. Ia menjadi tonggak bangkitnya emansipasi perempuan di Tanah Air. Kini, 140 tahun berlalu, asa Kartini masih menyala bersama segala problem perempuan di negeri ini. (ABDULLAH FIKRI ASHRI)