Tantangan Likuiditas Ketat
Menurut Bank Indonesia, saat ini sebenarnya likuiditas tidak ketat, tetapi terkonsentrasi di bank umum konvensional, yakni bank umum kategori usaha (BUKU) I (dengan modal inti hingga Rp 1 triliun) dan BUKU II (Rp 1 triliun-Rp 5 triliun).
Hal itu berarti BUKU III (di atas Rp 5 triliun-Rp 30 triliun) dan BUKU IV (di atas Rp 30 triliun) tidak mengalami kesulitan likuiditas. Mengapa? Bagaimana upaya mengatasi likuiditas ketat? Sejauh mana kinerja bank umum? Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 21 Maret 2019 menunjukkan bahwa bank umum mampu meningkatkan penyaluran kredit 12,16 persen dari Rp 4.445,80 triliun per Januari 2018 menjadi Rp 4.986,32 triliun per Januari 2019. Pertumbuhan kredit itu lebih subur sedikit dari 11,97 persen pada Desember 2018.
Sebaliknya, dana pihak ketiga (DPK) ”hanya” naik 6,35 persen dari Rp 4.989,47 triliun menjadi Rp 5.306,11 triliun. Pertumbuhan DPK itu menipis dari 6,37 persen per Desember 2018. DPK bank umum itu merupakan representasi dari semua BUKU sehingga menjadi DPK rata-rata industri.
Pertumbuhan DPK seperti itu menyiratkan kegersangan likuiditas di pasar. Tengok saja data berikut ini. DPK BUKU I tumbuh 7,34 persen, sebaliknya BUKU II malah turun 4,33 persen, sedangkan BUKU III dan BUKU IV masing-masing naik 7,30 persen dan 8,06 persen.
Selain itu, loan to deposit ratio (LDR) juga menjadi indikator ketatnya likuiditas. LDR bank umum melonjak dari 89,10 persen menjadi 93,97 persen di atas ambang batas 78-92 persen. Simak pula LDR BUKU lainnya. LDR BUKU I 84,71 persen, BUKU II 91,05 persen, dan BUKU IV 90,19 persen yang menunjukkan ketiga BUKU itu tak mengalami likuiditas ketat. Sayangnya, BUKU III dengan LDR 101,41 persen mengalami likuiditas ketat per Januari 2019.
Apakah ketatnya likuiditas memengaruhi perolehan laba? Laba sebelum pajak bank umum naik 12,28 persen dari Rp 175,47 triliun per Januari 2018 ke Rp 197,01 triliun per Januari 2019. Hal itu mendorong kenaikan imbal hasil aset (return on assets/ROA) dari 2,50 persen ke 2,59 persen, hampir dua kali ambang batas 1,5 persen. Artinya, kualitas aset bank umum makin baik.
Inilah perolehan laba sebelum pajak menurut BUKU. BUKU I dan II, meskipun mampu meraih laba sebelum pajak, mengalami penurunan. Laba sebelum pajak BUKU I menipis 100,78 persen dari Rp 1.026 miliar menjadi Rp 511 miliar, sedangkan BUKU II menipis 14,64 persen dari Rp 15,71 triliun menjadi Rp 13,41 triliun. Kondisi itu menggambarkan kedua BUKU itu terdampak ekonomi yang kurang tonikum ini.
Hanya BUKU III dan IV yang sanggup menaikkan laba sebelum pajak. Laba sebelum pajak BUKU III naik 9,85 persen dari Rp 55,63 triliun menjadi Rp 61,11 triliun, sedangkan BUKU IV naik 18,32 persen dari Rp 103,10 triliun menjadi Rp 121,99 triliun. Inilah simbol bahwa likuiditas yang ketat ternyata memengaruhi perolehan laba sebelum pajak pada awal 2019.
Aneka jurus
Lantas, faktor pendorong apa saja yang mendorong ketatnya likuiditas itu, dan jurus apa saja yang patut dimainkan untuk mengatasi likuiditas ketat itu? Pertama, sudah barang tentu kenaikan suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate (BI 7 DRRR) menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya gersangnya likuiditas di pasar. Kok bisa? Lantaran bank mau tak mau harus mengeluarkan biaya lebih berupa biaya untuk menghimpun dana masyarakat (cost of fund).
Dengan bahasa lebih bening, bank suka tak suka harus memberikan suku bunga simpanan (baca deposito) lebih tinggi supaya deposan lebih tertarik untuk menanam dana mereka di bank. Semakin tinggi bank membutuhkan DPK, semakin tinggi pula suku bunga deposito yang ditawarkan.
Mari kita amati suku bunga deposito menurut BUKU. BUKU I menawarkan suku bunga deposito 7,90 persen (tenor satu bulan), 8,30 persen (tiga bulan), 8,20 persen (enam bulan) dan 8,10 persen (12 bulan) dan BUKU II: 7,20 persen, 7,87 persen, 7,97 persen, dan 7,47 persen. Sementara itu, BUKU III: 7,17 persen, 7,46 persen, 7,34 persen, dan 7,15 persen, sedangkan BUKU IV: 6,46 persen, 6,32 persen, 6,15 persen, dan 6,36 persen masing-masing untuk tenor satu, tiga, enam, dan 12 bulan.
Artinya, semakin kecil modal inti, kian besar suku bunga deposito yang ditawarkan. Masuk akal. Karena itu, ketika The Fed terus menahan laju suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR), Bank Indonesia (BI) hendaknya menipiskan suku bunga acuan dari 6 persen menjadi 5,75 persen. Hal itu bertujuan untuk membantu bank agar tak begitu megap-megap sehingga suku bunga deposito juga tak terlalu kuat mendorong suku bunga kredit untuk naik terlalu cepat dan tinggi.
Toh level 5,75 persen itu masih jauh lebih tinggi daripada suku bunga acuan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura 1,66 persen, Thailand 1,75 persen, Malaysia 3,25 persen, dan Filipina 4,75 persen, kecuali Vietnam 6,25 persen. Dengan demikian, kita tidak terlalu takut bahwa investor asing akan kabur gara-gara margin investasi yang menipis 25 basis poin (bps).
Kedua, bank dengan terpaksa bersaing dengan pemerintah dalam menghimpun DPK sebagai salah satu sumber dana mahal dibandingkan dengan rekening tabungan dan giro. Akhir-akhir ini, pemerintah rajin menerbitkan instrumen saving bond atau surat utang ritel dengan tingkat kupon hingga 1,75 persen (175 bps) hingga 2,15 persen (215 bps) di atas BI 7 DRRR yang 6 persen.
Coba teliti data ini. Surat utang terbaru SBR006 dipasarkan 1-16 April 2019 dengan tingkat kupon mengambang (floating rates) 7,95 persen. Tingkat kupon sebelumnya lebih tinggi lagi seperti SBR001 sebesar 8,75 persen, SBR004 sebesar 8,05 persen, dan SBR005 sebesar 8,15 persen.
Sudah barang tentu tingginya kupon surat utang ritel itu sedikit banyak akan membuat investor ritel akan lebih melirik SBR daripada deposito di bank umum. Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan hendaknya sudi mempertimbangkan ketatnya likuiditas di pasar bagi industri perbankan nasional.
Kesenjangan sumber dana
Ketiga, jangan sampai bank umum dipaksa babak belur dalam menghimpun dana masyarakat dengan bersaing ketat dengan penghimpunan dana oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan. Untuk itu, hendaknya OJK dan Kementerian Keuangan duduk bersama untuk mengatasi kesenjangan aneka sumber dana itu.
Tegasnya, tingkat kupon surat utang ritel sudah semestinya tidak terlalu jauh di atas rata-rata suku bunga deposito bank umum. Hingga Januari 2019, suku bunga rata-rata DPK (dalam rupiah) bank umum mencapai 6,87 persen (satu bulan), 6,90 persen (tiga bulan), 7,15 persen (enam bulan), dan 6,75 persen (12 bulan).
Jika tingkat kupon itu terlalu tinggi, seolah-olah suku bunga deposito memperoleh restu dari regulator untuk bergerak lebih tinggi. Padahal, kenaikan suku bunga deposito pasti akan mendorong kenaikan suku bunga kredit yang merupakan biaya modal (cost of capital) bagi sektor riil.
Keempat, BI kembali meluncurkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/5/PADG/2019 tanggal 29 Maret 2019 tentang Perubahan Ketiga atas PADG Nomor 20/11/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM).
RIM dan RIM Syariah yang semula 80-92 persen diubah menjadi 84-94 persen berlaku 1 Juli 2019. Namun, pengenaan sanksi terkait perubahan batas bawah dan batas atas target RIM dan RIM Syariah berlaku 1 Oktober 2019.
Sejatinya, RIM merupakan giro wajib minimum-loan to funding ratio (GWM-LFR) sebagai perluasan dari loan to deposit ratio (LDR), sedangkan Penyangga Likuiditas Makroprudensial adalah GWM Sekunder. Dengan bahasa lebih lugas, RIM adalah rasio hasil perbandingan antara kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing (valas) plus surat berharga korporasi dalam rupiah dan valas yang memenuhi persyaratan tertentu terhadap DPK (deposito, giro, tabungan) plus surat berharga.
Sungguh, relaksasi RIM dan RIM Syariah itu diharapkan dapat membantu bank agar bisa bernapas lebih panjang untuk sementara waktu. Pun, relaksasi itu akan mendorong bank umum untuk melakukan ekspansi kredit. Itu dari sisi penawaran.
Kelima, sebaliknya, pemerintah dan regulator wajib mendorong dari sisi permintaan kredit, misalnya dengan memberdayakan suku bunga dasar kredit (SBDK) atau base lending rates yang ”kurang sakti”. SBDK merupakan referensi tingkat bunga yang diterbitkan BI melalui Surat Edaran Nomor 13/5/DPNP, tanggal 8 Februari 2011, perihal Transparansi Informasi Bunga Dasar Kredit.
Aturan itu bertujuan utama untuk meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya, dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah. Amat diharapkan transparansi itu dapat menekan suku bunga kredit agar tak naik terlalu tinggi.
Keenam, tetapi ternyata likuiditas ketat di perbankan itu tak terjadi di perkoperasian yang justru banjir likuiditas. Menurut majalah PICU (Pusat Informasi Credit Union), November-Desember 2018, pinjaman yang beredar di koperasi kredit (credit union/CU) turun sehingga rata-rata pinjaman yang beredar 65 persen, padahal idealnya 70-80 persen. Akibatnya, dana menganggur (idle fund) di koperasi kredit makin gendut. Inilah kesempatan bagi bank dan koperasi kredit untuk bergandengan tangan.
Dana menganggur di koperasi kredit dapat ditempatkan di bank dengan suku bunga simpanan yang cukup tinggi karena bank sedang memburu dana. Karena itu, lahirlah interaksi dua pihak yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Bank memperoleh likuiditas tambahan, sedangkan koperasi kredit mendapatkan margin penempatan dana.
Berbekal aneka jurus demikian, bank umum segera keluar dari tekanan likuiditas ketat. Pengucuran kredit pun kian deras untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI