JAKARTA, KOMPAS — Pekerja migran Indonesia yang telah kembali ke Tanah Air berpotensi kembali bekerja ke luar negeri. Kesulitan ekonomi di daerah asal menjadi alasan utamanya.
Pemerintah mengupayakan pelatihan usaha produktif disertai pengelolaan keuangan meskipun penyelenggaraannya belum maksimal.
Direktur Pemberdayaan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) A Gatot Hermawan, Senin (22/4/2019), di Jakarta, menceritakan, pada 2015-2018, pihaknya menyelenggarakan program pemberdayaan terintegrasi bagi pekerja migran Indonesia purna beserta keluarganya. Disebut terintegrasi karena terdiri dari pelatihan wirausaha dan pengelolaan keuangan.
Dalam pelaksanaan dua kegiatan itu, BNP2TKI biasanya mengajak kementerian dan lembaga lain untuk terlibat, seperti Otoritas Jasa Keuangan serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Menurut Gatot, pekerja migran Indonesia yang sudah kembali dari negara penempatan bisa mengikuti program pemberdayaan terintegrasi itu. Anggota keluarga mereka juga disarankan ikut.
Pada periode 2015-2018, ada 25.000 pekerja migran Indonesia purna dan anggota keluarganya yang menjadi peserta pelatihan wirausaha.
Gatot menyebutkan, sekitar 38 persen di antaranya memperoleh pendapatan dari berwirausaha.
Belum optimal
Kepala Subdirektorat Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Yuli Adiratna mengatakan, pemerintah membuat proyek Desa Migran Produktif (Desmigratif) yang diisi pelatihan wirausaha dan koperasi. Pekerja migran Indonesia yang dipulangkan ke Indonesia karena ikut program amnesti dari pemerintah negara penempatan dapat bergabung ke proyek Desmigratif.
Ketua Pusat Studi Migrant Care Anis Hidayah menyebutkan, program pemberdayaan usaha kepada pekerja migran Indonesia purna belum optimal dijalankan pemerintah. Anis mencontohkan program pemberdayaan yang dilakukan Kementerian Sosial kepada pekerja migran Indonesia purna dari Malaysia, yang belum menjangkau seluruh pekerja migran Indonesia yang pernah bekerja di Malaysia.
Pada 2015, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengeluarkan surat Keputusan Menaker Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah. Ada 19 negara Timur Tengah masuk dalam daftar itu.
Terkait hal itu, Anis berpendapat, Pemerintah Indonesia cenderung mengabaikan realitas perdagangan manusia yang muncul sebagai dampak kebijakan itu. Dalam setahun terakhir, pemerintah berwacana menjalankan penempatan pekerja migran Indonesia kepada pengguna perseorangan ke beberapa negara Timur Tengah, tetapi melalui model kerja sama satu pintu dengan pemerintah negara tujuan. (MED)