Polda Sumbar bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengungkap kasus dugaan perdagangan kulit harimau sumatera di Kota Bukittinggi, Sumbar. Dua tersangka ditangkap beserta barang bukti kulit dan tulang belulang harimau sumatera serta bagian tubuh satwa liar dan dilindungi lainnya, seperti tapir dan diduga gajah sumatera .
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kepolisian Daerah Sumatera Barat bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengungkap kasus dugaan perdagangan kulit harimau sumatera (Phantera tigris sumatrae) di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Dua tersangka ditangkap beserta tulang belulang harimau sumatera serta bagian tubuh satwa liar dan dilindungi lainnya, seperti tapir (Tapirus indicus) dan diduga gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).
Para tersangka ditangkap terpisah. S (39) dibekuk terlebih dahulu di sebuah toko barang antik di kawasan Jalan Ahmad Yani, Bukittinggi, sekitar pukul 11.30. Sementara A (43) ditangkap empat jam kemudian di Jalan Guru Tuo, Kelurahan Puhun Pintu Kabun, Kecamatan Mandi Angin Koto Selayan, Bukittinggi.
”Penangkapan bermula dari informasi yang sangat akurat dari masyarakat terkait praktik jual beli kulit harimau sumatera beserta tulang belulangnya di toko barang antik. Tim gabungan langsung menuju ke sana,” kata Kepala Sub-Direktorat IV Tindak Pidana Tertentu Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumbar Ajun Komisaris Besar Rokhmad Hari Purnomo, Selasa (23/4/2019).
Tim gabungan terdiri dari personel Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Sumbar, Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi dan BKSDA Sumbar.
Begitu sampai di lokasi, kata Rokhmad, tim gabungan menemukan kulit harimau sumatera yang masih basah. Tim gabungan juga menggeledah toko barang antik dan menemukan bagian tubuh harimau lainnya.
Barang bukti itu berupa 14 tulang punggung harimau, 2 tulang tengkorak harimau, 2 tulang panggul harimau, 10 bagian kaki harimau, 2 tulang bahu harimau, dan tumpukan tulang rusuk harimau. Selain itu, ada juga satu tulang tengkorak tapir sumatera dan pipa rokok dari gading gajah.
”Tulang belulang itu dipajang di toko barang antik tersebut,” ujar Rokhmad.
Terkait asal-usul harimau sumatera yang disita dari S, Rokhmad mengatakan belum bisa menjawabnya. Alasannya, sistem penjualannya cenderung tertutup. Sistem penjualannya terputus antara pemilik sekarang dan penjual sebelumnya. Pihaknya masih akan mengembangkan kasus tersebut.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumbar Komisaris Besar Syamsi mengatakan, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 21 Ayat (2) Huruf b dan Huruf d serta Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Mereka terancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta.
Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Sumbar Rusdiyan P Ritonga mengatakan belum bisa mengidentifikasi jenis kelamin harimau sumatera yang disita dari S. Hanya saja, dari morfologi kaki, dia memperkirakan harimau tersebut masih berusia remaja, 2-3 tahun.
”Harimau ini kemungkinan belum lama ditangkap. Hitungan bulan. Itu terlihat dari daging yang masih menempel di tulang-tulangnya,” kata Rusdiyan.
Terbesar ketiga
Rusdiyan mengapresiasi pengungkapan kasus tersebut. Menurut dia, pengungkapan itu merupakan yang kedua dalam dua tahun terakhir atau keenam sejak 2007.
Setiap pengungkapan, ada satu harimau. Pengungkapan terakhir juga terkait perdagangan kulit harimau dan bagian tubuh satwa dilindungi lainnya pada Februari 2017.
Rusdiyan memaparkan, kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar dilindungi merupakan kejahatan yang tinggi peredarannya di Indonesia setelah narkoba dan perdagangan manusia. Peredaran uangnya mencapai Rp 19 triliun. Masih adanya penangkapan, menurut dia, membuktikan bahwa harimau sumatera tidak aman di alam liar.
”Penyebab paling besar kepunahan harimau sumatera adalah perburuan dan perdagangan, baru kemudian kerusakan habitat,” kata Rusdiyan.
Menurut dia, berdasarkan kajian untuk menilai keberlanjutan populasi harimau sumatera yang dilakukan KLHK beserta pihak terkait pada 2018, populasi harimau sumatera yang tersisa sekitar 600 ekor. Hewan dilindungi itu tersebar di seluruh Sumatera.
”Jumlahnya memang lebih banyak dari survei pada 1994, yakni 360 ekor. Tetapi, saat itu, survei masih di beberapa lanskap. Kalau 2018, di seluruh Sumatera,” ucap Rusdiyan.
Melihat kondisi itu, KLHK terus berjuang sekuat tenaga agar harimau sumatera bisa terus bertahan. Apalagi harimau sumatera menjadi satu-satunya harimau yang tersisa di Indonesia. Harimau bali punah pada tahun 1940 dan harimau jawa punah sekitar 40 tahun kemudian.
”Harimau sekarang menjadi perhatian penting tidak hanya di Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Harimau sangat penting karena posisinya sebagai predator puncak di ekosistem. Apabila harimau punah, akan terjadi bahaya ekologis karena tidak ada kontrol terhadap ekosistem,” ujar Rusdiyan.
Oleh karena itu, pihaknya melakukan berbagai upaya. Selain perlindungan dan pencegahan, termasuk penegakan hukum, sosialisasi tentang satwa liar dan dilindungi terus dilakukan. Sosialisasi dilakukan baik secara langsung maupun lewat media massa.