Meski diberangus pada jaman orde baru, semenjak pertengahan 1980-an gerakan perempuan mulai bangkit. Paska reformasi organisasi perempuan tumbuh subur, mendampingi perempuan, dan menembus belenggu budaya
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi perempuan hadir dengan berbagai isu di tengah masyarakat, mulai dari isu lingkungan, pendidikan dan kesehatan, perburuhan, pertanahan, hingga isu perlindungan perempuan dari berbagai kekerasan.
Selain mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak masyarakat, terutama perempuan, anak dan kelompok marginal, sejumlah organisasi perempuan terjun langsung di akar rumput mengedukasi dan menguatkan kapasitas perempuan agar berperan berparstipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) misalnya, sejak berdiri 1998, telah membentuk struktur organisasi mulai tingkat provinsi hingga di tingkat desa di sejumlah daerah.
"Saat ini, anggota KPI hampir mencapai 50.000 orang tersebar di 1.110 balai perempuan di desa/kelurahan, di 210 kabupaten/kota di 20 provinsi,” ujar Sekretaris Jenderal KPI Dian Kartikasari, Senin (22/4/2019), di Jakarta.
Kepengurusan KPI hingga tingkat desa yaitu Balai Perempuan, membuat KPI lebih aktif dan mampu melakukan advokasi di tingkat desa, untuk menyelesaikan masalah masyarakat di tingkat desa seperti penyediaan air bersih, pembangunan pendidikan anak usia dini, perbaikan sanitasi (jamban), listrik desa, dan advokasi dana desa.
Peningkatan kapasitas kepemimpinan kader KPI telah memberikan peluang bagi perempuan untuk menduduki posisi strategis, sebagai aparat desa, kepala desa, kepala daerah dan posisi-posisi strategis lainnya, seperti di komisi-komisi di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.
Peningkatan kapasitas kepemimpinan kader KPI telah memberikan peluang bagi perempuan untuk menduduki posisi strategis.
"Anggota KPI sangat heterogen terbagi dalam 18 kelompok kepentingan, seperti perempuan masyarakat adat. ibu rumah tangga, perempuan buruh, perempuan di sektor informal, petani, nelayan dan pesisir, perempuan buruh migran, perempuan professional, lansia, disabilitas, dan lainnya.
Sekolah Perempuan
Selain KPI, sejak tahun 2000, juga ada Institut KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan) yang hadir di akar rumput, membangun gerakan perempuan dan gerakan sosial untuk mewujudkan keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan jender serta perdamaian di ranah publik dan privat. Pendampingan perempuan dilakukan melalui Sekolah Perempuan di daerah pinggiran dan pelosok.
"Saat ini Sekolah Perempuan telah melahirkan lebih dari 5.000 perempaun kritis di akar rumput," ujar Direktur Kapal Perempuan Misiyah.
Ada juga Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) digagas pada akhir tahun 2000. Saat ini total anggota Pekka yang diorganisir mencapai 63.314 orang. Mereka tergabung dalam 2.762 kelompok Pekka di 1.378 desa, 307 kecamatan, 81 kabupaten, dan 20 provinsi.
“Dalam proses pengorganisasian yang kami lakukan, kami tidak berwacana kata-kata jender. Kesetaraan dan keadilan jender kami terjemahkan dalam bentuk “gugatan” terhadap stigma terhadap janda dan perempuan tanpa suami yang selama ini selalu dilihat secara negatif dan didiskreditkan, seolah hanya sebagai perempuan beban, genit dan sebagainya,” ujar Direktur Pekka Nani Zulminarni.
Solidaritas Perempuan (SP), yang berdiri tahun 1990 melakukan pendekatan untuk mendorong perempuan menemukan kekuatan dan kebutuhannya sendiri. Mereka mengawali pendekatan dengan membuka ruang aman agar perempuan berani bersuara.
Menurut Koordinator Program SP Dinda Nuurannisaa Yura, aktivitas yang dilakukan SP seringkali tidak diterima oleh laki-laki. "Sering dikatakan, biar perempuan urus anak saja, biar ini yang kami urus," kata Dinda.
Mereka menentukan kebutuhannya sendiri misalnya butuh pengetahuan hukum atau ketrampilan advokasi. "Itu menentukan keberlanjutannya karena itu dari semangat mereka sendiri," ujarnya.