Perempuan akar di rumput bisa menjadi kekuatan bangsa. Pendampingan, advokasi, dan penguatan kapasitas yang dilakukan sejumlah organisasi perempuan di Tanah Air selama puluhan tahun, mendorong perempuan bangkit dari keterpurukan, juga melahirkan perempuan-perempuan pelopor dan penggerak perubahan di tengah masyarakat.
Empat tahun yang lalu, sekitar awal tahun 2015, Bns (54), warga Depok, Jawa Barat, hampir memilih bunuh diri karena tidak siap menerima kenyataan pahit atas apa yang terjadi dengan anak perempuannya, Md, yang menjadi korban kekerasan seksual suami Bns yang juga ayah kandung Md. Sebagai ibu, Bns tak sanggup menerima kenyataan, mendapati anak bungsunya yang masih duduk di bangku SMA mengalami tragedi tersebut.
“Anakku depresi, terus menangis, menjerit, dan linglung. Ia tidak menduga akan menimpa hal yang sesadis dan sekejam itu," ujar Bns, saat ditemui di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Senin (22/4/2019).
Demi mendapatkan keadilan bagi anaknya, Bns melaporkan kasus kekerasan seksual tersebut ke kepolisian setempat. Bns sempat membawa Md ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Depok, tapi saat itu tidak ada petugas di kantor tersebut.
Bns sempat membawa Md ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Depok, tapi saat itu tidak ada petugas di kantor tersebut.
“Dengan kesedihan mendalam saya berusaha sekuat tenaga. Tapi apa daya keterbatasan tenaga dan keuangan membuat saya hampir menyerah,” ujar Bns.
Saat itulah dia bertemu Siti Mazumah, staf LBH APIK Jakarta (sekarang direktur) yang kemudian bersama tim LBH APIK mendampingi Bns dan Md saat proses hukum hingga akhirnya pelaku divonis tujuh tahun penjara.
“Bersama LBH APIK saya bergerak maju tanpa henti. Meski, butuh waktu cukup lama anakku untuk bangkit lagi. Itu semua berkat dukungan LBH APIK Jakarta yang tiada lelah, mengantarkan anakku terapi ke psikolog dan psikiater,” ujar Bns yang kini menjadi sebagai sukarelawan LBH APIK, termasuk ikut menuntut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan.
"Ada banyak yang seperti Bns yang bangkit dan menjadi sukarelawan LBH APIK," ujar Siti Mazumah.
Perempuan pembawa perubahan
Pendampingan organisasi perempuan, tidak hanya membangkitkan perempuan-perempuan yang terpuruk, tetapi juga melahirkan perempuan tangguh di akar rumput/kelompok marginal menjadi pelopor dan pembawa perubahan di tengah masyarakat.
Di Pulau Kulambing, Kabupaten Kepulauan Pangkejene, Sulawesi Selatan, Indotang (40), penjual sayur keliling, berubah jalan hidupnya setelah mengikuti Sekolah Perempuan dari Institut KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan) dan Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat Sulsel. Hingga lima tahun lalu, perempuan lulusan sekolah dasar dengan seorang anak, setelah ditinggalkan suami yang menikah lagi, hanya perempuan biasa. Kini dia dikenal sebagai duta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs), karena setiap berjualan sayur dia mengampanyekan pentingnya mewujudkan TPB, agar tidak ada satu orang pun yang tertinggal terutama perempuan dalam pembangunan.
Indotang (40), penjual sayur keliling, berubah jalan hidupnya setelah mengikuti Sekolah Perempuan dari Institut KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan) dan Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat Sulsel.
Bahkan, pada Desember 2018 Indotang menerima penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai Pelopor Pencegahan Anak. Ini karena Indotang tidak hanya kampanye mengedukasi ibu-ibu supaya jangan menikahkan anak di bawah umur, tetapi juga aktif mencegah perkawinan anak di desanya. Indotang juga ikut diundang ke Istana Negara bersama perempuan-perempuan akar rumput bertemu Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
“Jujur saya mengakui, seandainya saya tidak ikut sekolah perempuan, hidup saya tidak akan berubah. Saya tidak mungkin bangkit seperti sekarang,” ujar Indotang.
Pengalaman hidup Indotang, yang menembus batas, menjadi representasi kelompok marjinal (perempuan miskin di pulau terpencil). Karena bersama perempuan anggota sekolah perempuan di di desanya, Indotang bersuara mewakili kelompok marginal, bahkan terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat desa sampai kabupaten.
Dulu dia malu dan tidak berani berbicara, sekarang Indotang sudah biasa berdialog dengan camat, hingga bupati, dan gubernur. “Saya baru saja mendapat undangan dari pemerintah kabupaten, untuk memberikan testimoni pada acara Hari Kartini di Kantor Bupati,” ujar Indotang, saat dihubungi, Senin, petang.
Bns dan Indotang, hanyalah sebagian kecil dari perempuan-perempuan akar rumput yang bangkit dari keterpurukan, setelah mendapat pendampingan dari organisasi perempuan. Hingga kini ada banyak organisasi perempuan yang tetap setia mendampingi perempuan akar rumput dan kelompok marjinal.