Nasib Divestasi Freeport Sesudah Pesta Demokrasi
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang baru saja usai, meninggalkan berbagai wacana politik termasuk optimalisasi hasil tambang PT Freeport Indonesia. Siapa pun yang akan menjadi kepala negara terpilih tentu berhadapan dengan tantangan menjawab makna kepemilikan 51 persen saham PTFI oleh pemerintah bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya warga Papua.
Tidak banyak negara di dunia yang mempunyai potensi sumber mineral tembaga, emas dan perak seperti Indonesia. Mengutip publikasi Forbes bertajuk “Top 10 Gold-Producing Countries” (13/3/2018), Indonesia tercatat sebagai produsen emas terbesar ketujuh di dunia pada tahun 2017. Produksi emas Indonesia di tahun tersebut tercatat mencapai 154,3 ton per tahun.
Adapun produksi tembaga Indonesia tercatat berada diperingkat 10 besar dunia (tahun 2016) mengacu pada publikasi World Mining Congress, sebuah organisasi yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-bangsa. Publikasi yang sama juga mencatat, Indonesia berada di peringkat 19 besar dunia dalam produksi perak.
Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar produksi tembaga, emas dan perak itu bersumber dari hasil penambangan Freeport. Sebagai gambaran, data terakhir yang dipublikasikan di laman Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan kontribusi emas dari Freeport sedikitnya mencapai separuh dari rata-rata total produksi emas nasional sepanjang 2009-2014.
Dalam kurun waktu yang sama, sepertiga dari produksi perak nasional pun juga bersumber dari Freeport. Sementara, produksi tembaga dari Freeport juga membari andil rata-rata 60 persen per tahun dari total prduksi tembaga nasional.
Nilai ekonomi
Angka produksi tembaga, emas dan perak yang dihasilkan freeport memberikan nilai yang menggiurkan dinominalkan dalam bentuk uang. Setiap tahun rata-rata nilai produksi PTFI mencapai kisaran Rp 56 triliun. Angka tersebut merupakan hasil kalkulasi dari produksi tembaga, emas, dan perak.
Dari ketiga jenis produk itu tembaga merupakan bahan tambang yang kuantitas produksi dan nilai barangnya sangat besar. Setiap tahun kontribusi nilai produksi tembaga pada PTFI mencapai kisaran 59 persen atau sekitar Rp 33,5 triliun. Mineral emas menyumbang sekitar 39 persen atau sekitar Rp 22,25 triliun. Sisanya, kurang dari 2 persen atau sekitar Rp 1 triliun bersal dari komoditas perak.
Ilustrasi angka tersebut menggambarkan pendapatan rata-rata secara umum PTFI yang bersumber dari penjualan komoditas tembaga, emas, dan perak. Diasumsikan semua komoditas itu dijual dengan mengacu pada harga komoditas mineral di pasar internasional. Jumlah pendapatan kotor yang rata-rata berkisar Rp 56 triliun per tahun itu relatif sangat besar apabila disandingkan dengan pendapatan seluruh perusahaan BUMN nasional.
Menurut Kementerian BUMN, pada tahun 2017 Indonesia memiliki 115 badan usaha milik negara dengan total pendapatan produksi mencapai Rp 2.028 triliun dengan akumulasi keuntungan sekitar Rp 186 triliun. Bila dibagi sama rata, jumlah pendapatan kotor masing-masing unit BUMN sekitar Rp 17,6 triliun dan laba per perusahaan sekitar Rp 1,6 triliun.
Angka ini sangat timpang bila di sandingkan dengan PTFI yang hanya merupakan satu unit usaha pertambangan. Berdasarkan laporan Freeport Mc. Mooran Cooper & Gold Inc., sebagai induk perusahaan PTFI, pada tahun 2017 lalu, PTFI membayar kepada pemerintah Indonesia senilai 774 juta Dollar AS atau sekitar Rp 10,3 triliun. Adapun pembayaran kepada pemerintah Indonesia ini terdiri dari sejumlah hal seperti pajak pendapatan perusahaan, pajak penghasilan karyawan, deviden kepada negara, royalti, pajak properti, sejumlah pajak lain dan fee.
Manfaat
Di balik potensi logam mulia dan rupiah yang mengalir, data Badan pusat Statistik per semester II 2018 menunjukkan persentase penduduk miskin Papua mencapai 22,7 persen. Angka itu menempatkan Provinsi Papua pada peringkat kedua penduduk miskin terbesar di antara provinsi lain di Indonesia sesudah Papua Barat.
Publikasi Badan Pusat Statistik hingga waktu yang sama juga menunjukkan Papua masih berada di peringkat dua teratas dalam aspek kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Kondisi demikian mencerminkan fakta “kualitas” kemiskinan di Papua. Kondisi keparahan dan kedalaman kemiskinan itu mengindikasikan dua hal. Pertama, rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin menjauhi garis kemiskinan. Fakta kedua, rata-rata pengeluaran antar penduduk miskin semakin timpang. Tercatat pada waktu yang sama, persentase penduduk miskin Papua.
Indikator pendidikan penduduk Papua juga memberikan gambaran yang senada. Data BPS termutakhir yang dipublikasikan tahun 2016 menunjukkan, angka melek huruf penduduk usia produktif di Papua (15-24 tahun) hanya 87,12 persen, terendah di Indonesia.
Sementara, Laporan Studi LPEM-UI tahun 2013 menggambarkan besarnya dampak ekonomi PT Freeport Indonesia terhadap perekonomian Papua. Mengacu pada kalkulasi lembaga ini, keberadaan PTFI memberikan kontribusi terhadap 37,5 persen produk domestik regional bruto Provinsi Papua.
Sejumlah kasus lingkungan hidup juga membayangi aktivitas PTFI. Publikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agustus 2018 memberikan informasi adanya 48 pelanggaran dari hasil inspeksi Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sebanyak 31 temuan dari inspeksi tersebut terkait dengan analisis mengenai dampak lingkungan dan izin lingkungan. Adapun sisanya berkaitan dengan pencemaran air dan udara masing-masing lima temuan serta tujuh temuan yang berhubungan dengan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3.
Tantangan Pengelolaan
Ke depan, kepemilikan saham mayoritas ini tidak cukup berhenti di ranah “kepemilikan” secara politis. Sudah menjadi keniscayaan jika kepemilikan saham diikuti dengan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan tersebut, sedang memulai babak baru pemanfaatannya. Tidak hanya kebanggaan atas kesuksesan divestasi saham, melainkan juga pengelolaannya.
Era eksploitasi yang akan dilakukan PTFI adalah penambangan di dalam tanah (undergroud mining) yang lebih berisiko tinggi, rumit karena memerlukan hitungan ilmu pengetahuan yang jitu, serta membutuhkan dana yang besar untuk operasionalnya.
Hasil produksi pertambangan bawah tanah tersebut diperkirakan akan jauh lebih banyak daripada pertambangan terbuka era Grasberg yang sudah dieksploitasi sebelumnya oleh PTFI. Pada era open pit mining yang mengikis Gunung Grasberg itu, PTFI menghasilkan sekitar 1,3 miliar ton bijih yang diproses menjadi 11,8 juta ton tembaga dan 4.600 ton emas.
Untuk emas diperkirakan mencapai 23,2 juta ounce atau sekitar 81 ribu ton. Potensi bahan mineral itu masih tersimpan sangat besar di perut bumi Papua. Sebagai ilustrasinya pada tahun 2017, PTFI berhasil memproduksi atau menjual tembaga hasil underground mining sekitar 1 miliar pound tembaga dan 1,5 juta ounce emas. Jadi, potensi tembaganya masih miliar pound dan emas masih jutaan ounce. Apalagi, hampir semua cadangan deposit itu, sekitar 96 persen berada di pertambangan underground.
Sejauh ini, PTFI berpeluang memperoleh perpanjangan masa operasi maksimal 2x10 tahun hingga tahun 2041. Setelah produksi hingga tahun 2041, masih tersisa sumber daya dalam bentuk bijih sebanyak 2,1 juta ton. Dalam konteks inilah pemerintahan ke depan idealnya mampu menegakkan pelaksanaan regulasi, mulai dari kepastian royalti, pajak, pembangunan smelter termasuk transfer teknologi. (Litbang Kompas)