JAKARTA, KOMPAS — Tingginya penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta berkontribusi pada polusi udara. Upaya membenahi sistem angkutan umum secara keseluruhan berperan penting dalam menekan polusi di Jakarta.
Jakarta kini menyumbang 4-4,5 ton CO2 ekuivalen per orang per tahun. Sementara angka ideal adalah 3 ton per orang per tahun.
Beberapa pengukuran kualitas udara juga menobatkan Jakarta kota dengan polusi udara terburuk di Asia Tenggara. Setelah rilis Greenpeace, laporan terbaru Air Quality Index oleh Energy Policy Institute at the University of Chicago menyebutkan, polusi udara Jakarta empat kali lipat lebih tinggi dari batas aman tahunan menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih, Selasa (23/4/2019), mengatakan, berdasarkan hasil studi, 75 persen polusi debu 2,5 pm di Jakarta disumbang oleh transportasi darat.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya sudah merintis upaya mengurangi emisi udara. Salah satunya dengan mendorong warga menggunakan transportasi massal. Dorongan memakai angkutan umum massal dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan membangun infrastruktur mulai dari penyediaan angkutan umum, trotoar, hingga lokasi parkir di sekitar halte atau stasiun. Pembatasan kendaraan pribadi juga dilakukan dengan sistem ganjil genap di beberapa ruas.
Kebijakan mengubah bahan bakar minyak menjadi gas yang lebih bersih juga telah dilakukan untuk seluruh bajaj dan sebagian bus Transjakarta.
Maret lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan akan menguji coba 10 bus listrik yang lebih ramah lingkungan dari BBM.
Sejumlah kereta di Jabodetabek juga beroperasi dengan tenaga listrik, yakni Kereta Rel Listrik Commuterline, MRT Jakarta, dan kereta Bandara Soekarno-Hatta. LRT Jakarta rute Kelapa Gading-Rawamangun yang siap beroperasi juga memakai tenaga listrik.
Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki mengatakan, saat ini infrastruktur transportasi umum massal di Jakarta sudah cukup memadai untuk warga beralih dari kendaraan pribadi. Nyatanya masih banyak orang yang memilih kenyamanan dan kecepatan perjalanan.
”Itu egois sekali sebenarnya. Mereka dapat kenyamanan, tetapi membiarkan seluruh kota menanggung emisi yang dia hasilkan demi kepentingan pribadinya,” ujarnya, kemarin.
Ekonomis
Sementara sebagian warga memilih angkutan umum lantaran alasan ekonomis.
Dwi Maryanto (45), warga Cibinong, Kabupaten Bogor, memilih KRL jika harus ke kantor pusat di Jakarta. ”Naik KRL ke Jakarta lebih ekonomis daripada bawa kendaraan pribadi. Lagi pula waktu tempuhnya bisa diukur dan lebih pasti,” katanya.
Ia pun sadar, meninggalkan kendaraan pribadi sedikit banyak membuatnya berpartisipasi mengurangi polusi udara dan penggunaan bahan bakar dari fosil. ”(Pakai kendaraan umum) jadi, pro-lingkungan hidup, menjaga bumi. Namun, saya pribadi menggunakan KRL pertimbangannya karena lebih ekonomis daripada bawa kendaraan sendiri ke Jakarta,” katanya.