Ekonomi Kawasan Terkoreksi, Penduduk Miskin Mesti Dilindungi
Oleh
Karina Isna Irawan
·2 menit baca
BANGKOK, RABU — Pelambatan pertumbuhan ekonomi China akan berdampak terhadap perekonomian negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik. Oleh karena itu, investasi berkelanjutan dalam program bantuan sosial dan asuransi diperlukan untuk melindungi penduduk miskin dari gejolak global.
Bank Dunia dalam laporan proyeksi perekonomian global untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik yang dirilis Rabu (25/4/2019) merevisi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dan 2020 menjadi 6 persen. Pertumbuhan ekonomi kawasan melambat dari tahun 2018 sebesar 6,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Malaysia pada 2019 diproyeksikan tidak akan berubah, yakni 5,2 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Thailand dan Vietnam akan lebih rendah masing-masing 3,8 persen dan 6,6 persen.
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia pada 2019 dan 2020 menjadi 5,4 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 diperkirakan 3,3 persen.
Bank Dunia menyebutkan, pelambatan pertumbuhan ekonomi kawasan dipengaruhi moderasi ekonomi China. Pertumbuhan ekonomi China diproyeksikan sebesar 6,2 persen pada 2019 dan 2020, turun dari 6,6 persen di tahun 2018.
Moderasi ekonomi China menyebabkan laju ekspor negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik melambat. Meski demikian, pelambatan ekspor akan diimbangi permintaan domestik yang tetap kuat. Prospek pertumbuhan ekonomi kawasan umumnya tetap positif.
“Namun, pada saat yang sama, setengah miliar penduduk di kawasan ini tetap tidak aman secara ekonomi, dan berisiko kembali jatuh dalam kemiskinan – yang menjadi pengingat besarnya tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Victoria Kwakwa.
Penurunan tingkat kemiskinan tetap harus dilanjutkan kendati tantangan global lebih berat. Saat ini, negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik memiliki cakupan bantuan sosial terendah bagi 20 persen penduduk termiskin. Investasi berkelanjutan dalam program bantuan sosial dan asuransi diperlukan untuk melindungi mereka dari gejolak global.
Bank Dunia juga menyoroti pentingnya penguatan penyangga untuk mengurangi risiko jangka pendek. Pemerintah disarankan kembali membangun cadangan devisa yang sempat digunakan untuk mengelola gejolak nilai tukar pada 2018. Kebijakan moneter disesuaikan agar lebih netral untuk mengurangi risiko arus keluar.
“Meskipun prospek ekonomi untuk Asia Timur dan Pasifik umumnya tetap positif, perlu diingat bahwa kawasan ini terus menghadapi tekanan yang meningkat sejak tahun 2018 dan masih bisa berdampak buruk,” kata Andrew Mason, World Bank Acting Chief Economist for the East Asia and Pacific.
Menurut Mason, reformasi struktural yang berkelanjutan dapat mengurangi risiko pelambatan ekonomi kawasan dalam jangka menegah. Reformasi diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, mendorong daya saing, menciptakan peluang bagi sektor swasta, dan memperkuat kualitas sumber daya manusia. (*)