Jika Tidak Mampu Bersaing, Indonesia Terancam Menjadi Penonton
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerja sama antarnegara Asia Tenggara di bidang kesehatan menjadi isu yang semakin sering dibahas. Pertukaran di bidang jasa kesehatan tidak terelakkan. Apabila tidak mampu bersaing, Indonesia pun terancam hanya menjadi target pasar dan penonton di tengah ekosistem itu.
Sejumlah tantangan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) masih harus dihadapi tenaga kesehatan Indonesia, terutama dokter dan dokter gigi. Tantangan itu antara lain sertifikasi kompetensi di negara tujuan yang belum dimiliki tenaga kesehatan Indonesia, kemampuan bahasa, dan perbedaan budaya. Namun, tantangan terbesar yang harus segera diatasi adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tertinggal dengan negara lain.
Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri menyampaikan hal itu saat memberikan pidato kunci dalam acara seminar nasional ”Peluang dan Tantangan Dokter Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”, di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Usman mengatakan, fakultas kedokteran yang ada di Indonesia perlu lebih dipacu lagi agar bisa memberikan kurikulum serta praktik kedokteran yang sesuai dengan perkembangan global. Untuk itu, pendidikan kedokteran seharusnya berkolaborasi dengan industri kesehatan sehingga teknologi yang digunakan bisa disesuaikan.
”Jadi, dunia pendidikan kita saat ini masih tertinggal dengan industri. Kondisi ini bisa disebabkan industri meninggalkan dunia pendidikan. Kami akan dorong agar rumah sakit bisa berkolaborasi dengan fakultas kedokteran sehingga industri pun masuk dalam sistem itu,” ujarnya.
Menurut Usman, peluang kerja di luar negeri sebenarnya sangat terbuka bagi tenaga kesehatan di Indonesia. Permintaan tenaga untuk bekerja di luar negeri terus meningkat. Setidaknya pada 2025 permintaan dari luar negeri untuk tenaga kesehatan Indonesia seperti perawat diperkirakan mencapai 16.920 orang, dokter spesialis 1.200 orang, dokter umum 2.160 orang, dan dokter gigi 600 orang.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Daeng M Faqih berpendapat, tantangan yang dihadapi terkait dengan kompetensi tenaga kesehatan Indonesia lebih mudah dihadapi jika iklim kolaborasi dari lintas sektor sudah berjalan baik.
Selama ini, ego sektoral dari tiap-tiap sektor masih terjadi. ”Semua upaya harus dilakukan secara simultan. Artinya, pekerjaan itu diselesaikan secara bersama,” ujarnya.
Bertalian dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih terbatas, Daeng menilai, pemetaan mengenai sumber daya dan kompetensi yang dimiliki harus menjadi prioritas. Pemetaan ini diperlukan untuk mengetahui kelebihan yang dimiliki dan kekurangan yang masih harus diperbaiki.
”Pemetaan dilakukan dengan melihat penguasaan teknologi apa yang sudah dimiliki dan sampai di mana. Lalu dibandingkan dengan luar negeri, sejauh apa penguasaan teknologinya. Kalau ada gap, berarti itulah yang harus dikejar,” katanya.