JAKARTA, KOMPAS — Sehari setelah Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir ditetapkan sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa mantan Tenaga Ahli Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Tahta Maharaya. Tahta diketahui pernah memiliki hubungan kerja dengan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih, yang membidangi energi, riset, dan teknologi.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah, di Jakarta, Rabu (24/4/2019), mengatakan, Tahta dipanggil sebagai saksi atas tersangka Sofyan Basir. ”Saksi dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kontrak kerja sama pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Riau-1,” kata Febri dalam keterangan tertulis.
Eni telah dipidana setelah terbukti bersalah menerima uang suap Rp 4,75 miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo terkait kontrak kerja pembangunan PLTU Riau-1.
Mengacu pada berkas tuntutan Eni, Tahta yang merupakan keponakan Eni pernah dipanggil, baik oleh penyidik maupun jaksa penuntut umum KPK, sebagai saksi untuk pihak yang telah diproses terlebih dahulu terkait kasus PLTU Riau-1.
Tahta tercatat pernah beberapa kali menjadi perantara Eni untuk menerima uang dari Kotjo, yang kini sudah dibui, dan pengusaha lain, Samin Tan, yang sudah berstatus tersangka.
Pada 13 Juli 2018, saat Kotjo memerintahkan stafnya, Audrey Ratna Justianty, untuk memberikan uang sejumlah Rp 500 juta kepada Eni melalui Tahta di kantor Kotjo, di Jakarta. Sesaat setelah pemberian uang tersebut, KPK menciduk Kotjo, Eni, Tahta, dan Audrey dalam operasi tangkap tangan.
Penetapan Sofyan sebagai tersangka pada Selasa (23/4/2019) merupakan pengembangan dari kegiatan operasi tangkap tangan tersebut. Sofyan menjadi orang kelima yang diperkarakan dalam kasus PLTU Riau-1 selain Kotjo, Eni, Samin Tan, dan mantan Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham, yang baru saja divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.
Sementara itu, pengacara Sofyan Basir, Soesilo Aribowo, mengatakan belum bertemu dengan kliennya sampai hari ini. ”Saya belum sempat ketemu karena posisi beliau masih di luar kota terkait pekerjaan,” ujarnya. Ia mengaku tidak tahu informasi detail mengenai kegiatan Sofyan.
Janji komisi
Sofyan diduga bersama-sama atau membantu Eni M Saragih dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Dalam fakta persidangan, Kotjo mengatakan berencana membagikan komisi 2,5 persen dari nilai proyek PLTU sebesar 900.000 dollar AS kepada sejumlah pihak. Kotjo juga terbukti memberikan uang kepada Eni M Saragih bersama Idrus Marham sejumlah Rp 2,25 miliar, yang dipakai untuk kepentingan partai.
Selain itu, Sofyan pun diduga berperan dalam pusaran kasus tersebut karena, antara lain, ia pernah menunjuk perusahaan Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1. Sofyan menyuruh salah satu direktur di PT PLN untuk berhubungan dengan Eni Saragih dan Kotjo.