JAKARTA, KOMPAS – Infrastruktur maritim harus terus didukung untuk menjadi sektor prioritas peningkatan ekonomi. Sejumlah kalangan menilai, perlu ada lembaga pembiayaan kemaritiman agar pembangunan sektor maritim dapat lebih difokuskan.
“Dalam membangun dan memajukan sektor maritim harus ada keberpihakan. Sebab, maritim tidak hanya berbicara soal laut, tetapi pelabuhan, wisata, industri, dan hasil laut harus turut dipikirkan,” kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus saat dihubungi Kompas, Rabu (24/4/2019).
Heri menilai, jika sekarang ada lembaga pembiayaan infrastruktur, seharusnya ada juga lembaga pembiayaan kemaritiman. Lembaga yang berfungsi menjadi alat pembiayaan dengan fokus membangun kemaritiman, termasuk salah satunya adalah bagaimana memperkuat armada kapal.
Pasalnya, 90 persen kapal untuk ekspor-impor Indonesia masih menggunakan kapal asing. Inilah mengapa defisit neraca jasa Indonesia terus terjadi, yaitu karena terjadi defisit transportasi di sektor maritim.
Bank Dunia mencatat, defisit neraca sektor jasa terbesar disumbang oleh jasa transportasi. Pada 2005, jasa transportasi menyumbang defisit lebih dari empat miliar dollar AS, jumlah ini terus meningkat dan mencapai lebih dari enam miliar dollar AS pada 2017.
“Harusnya kapal kita bisa berbuat lebih banyak untuk mendukung kegiatan yang ada di kelautan. Setidaknya berperan lebih besar sebagai armada angkutan ekspor sehingga dapat mengurangi defisit neraca jasa yang terjadi sejak 2004,” kata Heri.
Meski demikian, Heri menyadari, investasi di sektor perkapalan membutuhkan biaya tinggi dengan risiko yang tinggi pula. Dalam hal inilah, lembaga pembiayaan kemaritiman dibutuhkan untuk memberikan subsidi atau bunga kredit murah bagi investor.
Sejalan dengan itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia bidang Perhubungan Carmelita Hartoto mengatakan, sektor maritim harus tetap diperjuangkan kelanjutannya. Sebab, masih banyak kebijakan yang belum selesai, termasuk pembangunan pelabuhan dan industri.
“Pembangunan infrastruktur pelabuhan menjadi poin penting dalam membangun sektor maritim. Sebab, pembangunan pelabuhan juga akan terkait dengan pembangunan industri. Jika dapat dibangun, maka kapal-kapal dari timur Indonesia yang kembali ke barat tidak kosong sehingga akan ada nilai tambah,” kata dia.
Pelayaran
Selain itu, dari sisi pelayaran, Carmelita menilai masih banyak kebijakan yang belum berpihak kepada pelaku usaha. Misalnya, terkait dengan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) khusus untuk kapal asing.
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2015 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Bahan Bakar Minyak untuk Kapal Angkutan Laut Luar Negeri.
“Sementara BBM bagi kapal domestik masih dibebankan PPN. Dampaknya, biaya logistik semakin tinggi dan daya saing di sektor pelayaran kita pun semakin kalah dibandingkan dengan negara-negara lain,” papar Carmelita.
Padahal, sebagai negara maritim, pelayaran seharusnya menjadi andalan bagi ekonomi Indonesia. Carmelita menilai, jika kebijakan pelayaran domestik diperlakukan setara dengan negara lain, kontribusi bagi ekonomi nasional akan semakin besar.
Heri pun berpendapat demikian. Pemerintah tidak perlu khawatir akan kehilangan pemasukan dari PPN tersebut. Sebab, ketika biaya bahan bakar lebih murah, para pelaku usaha akan melirik untuk mengirim barang menggunakan kapal.
“Dengan begitu, akan ada penerimaan baru bagi negara, baik dari PPh atau pun dari PPN lain. Memang pengembaliannya akan membutuhkan waktu, maka harus ada kalkulasi agar penerimaan yang hilang bisa digantikan,” tutur Heri.