Literasi tentang risiko bencana di suatu daerah seharusnya dipahami sebagai investasi, bukan sebagai beban sehingga tidak harus ditutupi. Risiko bencana yang dikelola dengan baik dan transparan justru memberi kepastian terhadap investasi dan pembangunan ke depan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Literasi tentang risiko bencana di suatu daerah seharusnya dipahami sebagai investasi, bukan sebagai beban sehingga tidak harus ditutupi. Risiko bencana yang dikelola dengan baik dan transparan justru memberi kepastian terhadap investasi dan pembangunan ke depan.
”Negara dengan kerentanan gempa tinggi, seperti Jepang, investasi tetap tinggi dan pembangunannya tetap jalan. Jadi, alasan pengetahuan risiko gempa melemahkan investasi tidak dibenarkan. Harus diubah,” kata Burhanudin dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dalam diskusi dan peluncuran buku Ekspedisi Sesar Palu-Koro di Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Ekspedisi Sesar Palu-Koro dilakukan sejumlah peneliti, termasuk IAGI dan para penggiat kebencanaan, sebelum terjadi gempa di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018. ”Ekspedisi ini membuktikan bahwa Sesar Palu-Koro memang sangat aktif dan gempa bisa berulang. Namun, dibutuhkan penelitian lanjutan, terutama mikrozonasi, untuk menentukan arah pembangunan kawasan yang dilaluinya,” kata Burhanudin.
Pada 30 Juli 2018, Tim Ekspedisi Sesar Palu-Koro telah memberikan data hasil ekspedisi kepada Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola. ”Sebelum jalan juga sempat berusaha menghubungi pemerintah, tetapi kurang mendapat respons baik. Bahkan, bisa bertemu Gubernur Sulteng setelah dua tahun. Susah sekali menyampaikan kepada pemda tentang risiko bencana karena selama ini hal ini dianggap menakut-nakuti dan beban bagi investasi di daerah,” kata Ketua tim ekspedisi, Trinimalaningrum.
Susah sekali menyampaikan kepada pemda tentang risiko bencana karena selama ini hal ini dianggap menakut-nakuti dan beban bagi investasi di daerah.
Neneng Susilawati, anggota tim ekspedisi, mengatakan masih menyimpan video pertemuan itu. ”Pemerintah tidak responsif pada kajian bencana. Gubernur saat itu juga tak percaya dengan tim geolog. Sebab, dulu Prof JA Katili (Direktur Jenderal Pertambangan Umum pada 1973-1984) menyatakan, Palu akan hancur karena gempa, tetapi tak terjadi dan membuat warga takut,” kata Neneng.
Neni Muhidin dari Nemu Buku Palu, yang terlibat dalam ekspedisi ini, menambahkan, ketidaktahuan tentang risiko bencana juga terjadi di kalangan masyarakat. ”Sebelum gempa 28 September, masyarakat kebanyakan tidak tahu bahwa gempa besar, apalagi tsunami, bisa terjadi di Teluk Palu. Gempa-gempa kecil memang sering terjadi, tetapi tidak ada yang menyadari bahwa mereka tinggal di atas patahan aktif dan sewaktu-waktu bisa dilanda gempa merusak,” ujarnya.
Padahal, data sejarah menunjukkan bahwa Teluk Palu telah berulang kali dilanda gempa besar dan tsunami, termasuk kemungkinan terjadinya likuefaksi di masa lalu. Literasi yang buruk menyebabkan pengalaman bencana yang berulang di masa lalu tidak sampai ke generasi saat ini
Studi terpisah oleh ahli tsunami Gegar Prasetya (2001) menyebutkan, Teluk Palu dan Selat Makassar pernah dilanda belasan kali tsunami dalam 200 tahun terakhir. Sebanyak 14 tsunami terjadi di kawasan ini dari tahun 1820 hingga 1882. Adapun sejak 1927 hingga 2001 telah terjadi enam kali tsunami di kawasan ini. Ditambah dengan kejadian 2018, berarti total kejadian tsunami di kawasan ini sudah 19 kali, merupakan yang terbanyak di Indonesia.
Teluk Palu dan Selat Makassar pernah dilanda belasan kali tsunami dalam 200 tahun terakhir. Total kejadian tsunami di kawasan ini sudah 19 kali, merupakan yang terbanyak di Indonesia.
Partisipatif
Sekalipun gempa yang disusul tsunami dan likuefaksi Palu-Donggala pada 2018 menelan ribuan korban jiwa, literasi masyarakat tentang bencana juga belum terbangun dengan baik. Kini, sepanjang zona Sesar Palu-Koro mulai dibangun kembali. Padahal, seperti direkomendasikan geolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam tulisannya di buku laporan ekspedisi ini, jalur sesar aktif, seperti Palu-Koro ini, harus dihindari minimal 15 meter tiap sisinya.
Menurut Neni, risiko bencana ini harus disampaikan kepada masyarakat dan upaya mengatasinya juga dengan melibatkan warga. ”Jangan sampai atas dalih mitigasi, justru memicu masalah baru, seperti rencana pembangunan tanggul tsunami di Palu setelah bencana yang tidak partisipatif sehingga ditentang masyarakat. Padahal, ada solusi lain yang lebih ramah lingkungan dan murah, misalnya dengan mangrove,” kata Neni.
Selain mendapat penolakan warga, sejumlah ahli yang tergabung dalam Ikatan Ahli Tsunami Indonesia juga telah mengingatkan pemerintah untuk meninjau ulang rencana pembangunan tanggul di pesisir Palu-Koro. Selain berbiaya mahal, yang akan ditopang dari dana utang, tanggul laut yang merupakan usulan dari Jepang ini dinilai tidak sesuai dengan konteks lokal dan belum tentu efektif meredam tsunami.