JAKARTA, KOMPAS — Seni grafis pada dasarnya dituangkan di atas kertas. Pada perhelatan Triennale Seni Grafis Indonesia VI kali ini, teknik konvensional seni grafis pun ingin kembali ditekankan. Harapannya tidak ada lagi kerancuan antara seni grafis dan seni lainnya.
Triannale merupakan kompetisi tiga tahunan yang dalam dua perhelatan terakhir dibuka menjadi kompetisi internasional. Pada Triennial VI, sebanyak 317 karya dari 26 negara telah masuk. Dari jumlah itu, tiga karya terpilih menjadi pemenang yang diumumkan di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Ketua Dewan Juri Triennial VI Seni Grafis Indonesia VI Ipong Purnama Sidhi menuturkan, para juri tidak hanya menyelisik dan menginvestigasi dari sisi ide, gagasan, dan presentasi artistik dari pegrafis. Namun, penilaian juga difokuskan pada teknik mencetak.
”Kita memahami, sejak awal kelahirannya, seni grafis terkait erat dengan teknik dan proses mencetak yang khas dan rumit. Dari segi teknik cetak inilah para juri berusaha memastikan sebuah karya sesuai dengan ketentuan kompetisi, terutama tanpa adanya pewarnaan (hand coloring) tanpa melalui proses cetak,” katanya.
Ipong mengatakan, pada perhelatan ini seni grafis ingin dikembalikan ke marwahnya. Dalam teknik konvensional, ada empat teknik untuk seni grafis, yakni teknik cetak tinggi dengan cukilan kayu dan lino atau karet; cetak datar dengan litografi; cetak dalam dengan etsa, drypoint, dan mezzotint; serta cetak saring dengan sablon.
Para juri tidak hanya menyelisik dan menginvestigasi dari sisi ide, gagasan, dan presentasi artistik dari pegrafis. Namun, penilaian juga difokuskan pada teknik mencetak.
Dari karya-karya yang masuk, pemenang utama yang terpilih pada Triennial VI adalah pegrafis dari China dan Thailand. Pemenang pertama adalah Hui Zhang asal China dengan karya berjudul ”Gaze Toward the Light 2” yang dicetak dengan teknik litografi di kertas pada edisi 13/39. Pemenang kedua diperoleh pegrafis asal Thailand bernama Nuttakarn Vajasut dengan karya berjudul ”Depressed” dan pemenang ketiga didapatkan oleh pegrafis bernama Chalita Tantiwitkosol asal Thailand dengan karya berjudul ”Supernumerary (Ploy)”.
Direktur Program Bentara Budaya Frans Sartono menambahkan, keikutsertaan pegrafis-pegrafis internasional itu diharapkan dapat membangkitkan daya saing dan kualitas para pegrafis Indonesia.
Devy Ferdianto, salah satu dewan juri yang juga Head of Printmaking Division at Ganara Art, berpendapat, kompetisi Triennial bisa menjadi ajang belajar bagi pegrafis dalam negeri. Ia mengakui kompetensi pegrafis Indonesia masih butuh banyak peningkatan.
Dari jumlah peserta yang ikut dalam ajang kompetisi ini, hanya tiga karya yang dikirim oleh pegrafis Indonesia. Selain itu, teknik yang digunakan pun sangat terbatas. Belum ada karya grafis yang dikerjakan dengan teknik litografi yang masuk sampai Triennial Seni Grafis Indonesia VI. Media seni grafis yang populer di Indonesia masih terbatas pada cetak dalam, cetak tinggi, dan cetak saring.
”Kreativitas pegrafis Indonesia tidak kalah dengan pegrafis dari luar negeri. Namun, keterbatasan seperti keterbatasan pengetahuan, peralatan, juga infrastruktur membuat kemampuan yang dimiliki tidak bisa dipresentasikan secara optimal,” ujarnya.