Menyimak Eropa dari Sinema
Di ujung April ini, penyuka film bakal kelimpungan memilih film yang akan ditonton. Film-film bagus bermunculan di bioskop. Di luar bioskop, ada seratusan judul film produksi Benua Eropa di ajang festival Europe on Screen.
Di ujung April ini, penyuka film bakal kelimpungan memilih film apa yang akan ditonton. Film-film bagus bermunculan di bioskop. Di luar bioskop, ada seratusan judul film produksi Benua Eropa di ajang festival Europe on Screen. Festival ke-19 ini tak cuma berlangsung di Jakarta, tetapi juga tujuh kota besar lainnya.
Festival Europe on Screen (EoS) ini merupakan ajang untuk memutar film dari negara-negara Eropa. Beberapa judul merupakan hasil kerja sama dari beberapa negara, baik yang di dalam region Eropa maupun dengan negara dari benua lain.
Wakil Kepala Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Charles-Michel Geurts mengatakan, festival EoS mengenalkan budaya Eropa dalam medium film. ”Kami juga mempromosikan kerja sama antara Eropa dan Indonesia di bidang industri kreatif,” ujarnya.
Salah satu bentuk kerja sama urusan film adalah pembiayaan produksi film pendek garapan sineas Indonesia dalam program Short Film Pitching Project. Program bagi sineas pemula itu baru diadakan pada EoS 2018.
Penyelenggara menerima 120 proposal. Mereka kemudian menyortir lagi jadi 10 judul. Nah, tiga terbaik dari 10 judul itu berhak mendapatkan pembiayaan produksi film. Dua film di antaranya ditayangkan perdana pada EoS 2019 ini.
Dua film itu adalah Bangkis, besutan sutradara Seren Trihardja, dan Lasagna yang disutradarai Adi Victory. Film Bangkis ditayangkan pada Rabu (24/4/2019) di IFI Jakarta. Sementara Lasagna diputar di Auditorium Universitas Binus Alam Sutera (25 April), Kineforum (26 April), dan di Theater Universitas Multimedia Nusantara (29 April).
Ada juga beberapa judul film produksi Indonesia yang mengambil gambar di kawasan Eropa, seperti Arini (disutradarai Ismail Basbeth), juga The Gift (Hanung Bramantyo). Secara keseluruhan, festival yang berlangsung sampai 30 April ini memanggungkan 101 judul film dari 27 negara.
Film-film itu ditayangkan di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Medan, Denpasar, Yogyakarta, dan Surabaya. Sebagian besar pemutaran film berlangsung di pusat-pusat kebudayaan negara Eropa.
Minimalis
Dalam pembukaan festival, para undangan disuguhi film The Guilty (2018) dari Denmark. Film ini disutradarai Gustav Moller. Kata Duta Besar Denmark untuk Indonesia Rasmus Abildgaard Kristensen, film ini adalah contoh tepat untuk mewakili karya-karya film bergaya minimalis dari negaranya.
”Gaya film seperti itu dipopulerkan Lars von Trier dari Denmark dan kini diikuti sineas muda Denmark seperti Gustav ini. Ini adalah film dari Denmark yang diajukan ke Academy Awards kategori film berbahasa asing,” ujar Rasmus. Kabarnya, The Guilty sedang dibuat ulang (remake) di Amerika Serikat dibintangi Jake Gyllenhaal.
Penyematan label minimalis pada The Guilty amat tepat. Bayangkan saja, adegan di film sepanjang durasi 85 menit ini hanya berlokasi di dua ruangan. Gambar lebih banyak menyorot mimik aktor utamanya, Jakob Cedergren yang memerankan Asger Holm, petugas penerima panggilan darurat di kantor polisi.
Asger menjalani tugas baru itu biasa-biasa saja. Di film tergambar bahwa dia sudah terbiasa menerima telepon orang yang meminta bantuan polisi. Banyak dari panggilan itu merupakan panggilan iseng. Ada juga panggilan dari orang yang mengalami paranoid, tapi sebenarnya itu akibat dari narkotika. Asger tak terlalu antusias.
Hingga pada suatu malam menjelang akhir sif kerjanya, ada penelepon perempuan bernama Iben. Awalnya Asger menduga, panggilan itu tak lain dari kerjaan orang mabuk atau iseng. Namun, ia tak bisa mengabaikannya setelah menduga Iben adalah korban penculikan.
Dari sinilah ketegangan film bermula. Saking tegangnya, kamu bakal lupa ngemil popcorn yang kamu beli tadi.
Ide dasar cerita terasa sederhana: polisi mengurai kasus kejahatan berdasarkan temuan demi temuan. Tapi yang menyita konsentrasi adalah temuan itu bersumber dari suara, baik isak tangis, lalu lalang kendaraan, maupun tumbukan benda.
Lewat percakapan di telepon, imajinasi penonton digiring. Penonton, seperti halnya Asger, berupaya menerka-nerka hal yang sedang terjadi berdasarkan suara. Kita dibikin cemas dengan suara tumbukan atau bersimpati pada isakan. Segala perasaan itu adalah imajinasi, yang bisa sesuai kenyataan atau melenceng jauh.
Sayangnya, film seru ini hanya diputar di Jakarta. Setelah ditayangkan untuk publik pada Senin lalu, film ini akan kembali diputar pada Sabtu (27 April) nanti di IFI Thamrin, Jakarta Pusat.
Konflik politik
Film lainnya yang juga diikutsertakan ke ajang Academy Awards adalah Brothers (2017) dari Belanda. Film berjudul asli Broeders besutan Hanro Smitsman ini menyodorkan wajah buruk dari perang saudara di Suriah. Film ini mengajak penonton hadir langsung di daerah konflik.
Kakak beradik, Mourad (diperankan Walid Benmbarek) dan Hassan (Achmed Akkabi), berusaha mencari adik bungsu mereka, Yasin (Bilal Wahib). Si bungsu ini semula menjadi sukarelawan di kamp pengungsi di wilayah Jordania. Namun, belakangan tak ada kabar lagi dari Yasin kepada keluarga mereka yang menetap di Belanda.
Pencarian si bungsu itu tak terlalu sulit, tapi berisiko tinggi. Mereka bertemu sejumlah orang yang memberi informasi akurat terkait keberadaan Yasin. Kebetulan-kebetulan itu rasanya hanya terjadi di film, tidak di dunia nyata. Namun, dalam perjalanan itu, mereka acap berhadapan langsung dengan mau—sebuah realita yang jamak terjadi di daerah konflik senjata.
Film Brothers merespons fenomena keterlibatan kaum muda dari negara Eropa pada konflik bersenjata di Timur Tengah. Mereka terpanggil untuk hadir di wilayah konflik, baik sebagai sukarelawan kemanusiaan maupun ikut gerakan berjihad. Apapun motivasinya, keterlibatan itu berdampak pada keluarga. Kira-kira, begitulah yang disorot film berdurasi 93 menit ini.
Memperbincangkan Eropa seperti tak lengkap tanpa menyinggung gelombang migrasi yang menguat sekitar 10 tahun belakangan ini. Film Transit (2018) adalah salah satu yang membicarakan isu tersebut.
Tanpa menegaskan latar ruang dan waktu, film berdasarkan novel berjudul sama karya Anna Seghers ini memaparkan kecamuk para pencari suaka. Mereka berupaya menyelamatkan diri dari kejahatan politik negaranya.
Film-film seperti itu agaknya cukup berjarak dengan bioskop di Indonesia, ya. Namun, bukan berarti film-film Eropa sepi peminat. Festival EoS 2018 saja dihadiri oleh 24.000 penonton. Oh iya, seluruh pemutaran film di festival ini gratis. Mari kita cek jadwal pemutarannya di akun media sosial Europe on Screen.