Nyaris Tenggelam demi Selembar Foto
Demi memperoleh informasi dengan mata kepala sendiri, tak jarang wartawan menomorduakan keselamatan diri. Seperti pengalaman Zulkarnaini saat meliput kapal imigran gelap dari Sri Lanka yang terdampar di perairan Lhoknga, Aceh Besar.
Demi memperoleh informasi dengan mata kepala sendiri, tak jarang wartawan menomorduakan keselamatan diri. Seperti pengalaman Zulkarnaini saat meliput kapal imigran gelap dari Sri Lanka yang terdampar di perairan Lhoknga, Aceh Besar.
Saya diangkat sebagai wartawan tetap di harian Kompas pada 1 November 2015. Setelah setahun penuh digembleng ilmu jurnalistik di ”mabes” Kompas di Jakarta, saya ditempatkan di Aceh. Sebenarnya, bagi saya pribadi, lebih tepatnya dipulangkan ke tanah kelahiran.
Ditempatkan di kota sendiri ada kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, saya cepat berbaur dengan warga dan ragam komunitas sebab saya banyak mengenal orang dan punya jaringan sejak saat kuliah. Kekurangannya, ketika bertugas di ”kampung” cenderung melihat persoalan sebagai orang dalam. Padahal, jurnalis harus bisa melihat persoalan dari berbagai sisi.
Saya menetap di Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. Namun, wilayah kerja saya mencakup 23 kabupaten/kota. Bisa dibilang, wilayah kerja saya sama dengan gubernur, kapolda, atau pangdam.
Wartawan yang berada di lapangan tulisannya terasa lebih renyah dan berwarna sebab bahan yang diperoleh lebih banyak.
Banda Aceh berada di ujung barat. Dari Banda Aceh ke Kabupaten Aceh Tamiang, perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara, jaraknya 480 kilometer, sekitar 10 jam perjalanan menggunakan mobil. Sementara dari Banda Aceh ke Kabupaten Aceh Tenggara jaraknya 356 kilometer, sekitar 15 jam perjalanan dengan mobil. Tetapi, alhamdulillah, saya sudah bolak-balik ke kedua daerah itu.
Selama tiga setengah tahun menjadi wartawan Kompas, saya harus selalu berada di lapangan ketika ada peristiwa besar, seperti gempa, banjir bandang, bencana kemanusiaan, dan kunjungan presiden. Utu karena wartawan Kompas dituntut memperoleh informasi dari sumber utama dan semampu mungkin menyaksikan peristiwa dengan mata kepala sendiri. Informasi yang kita himpun sendiri di lapangan akan berbeda dengan hasil yang diperoleh dari narasumber.
Wartawan yang berada di lapangan tulisannya terasa lebih renyah dan berwarna sebab bahan yang diperoleh lebih banyak. Amatan lapangan menjadi deskripsi yang menarik ketika dituliskan dan mampu membawa pembaca seolah-olah berada di lokasi kejadian.
Namun, terkadang wartawan abai terhadap keselamatan diri. Demi mendapatkan informasi atau gambar ”bagus”, wartawan mengabaikan risiko. Padahal, tidak ada berita seharga nyawa.
Saya punya pengalaman buruk meliput di laut lepas. Pada hari Sabtu, Juni 2016, kapal imigran gelap dari Sri Lanka terdampar ke perairan Lhoknga, Aceh Besar. Kalau hari Sabtu biasanya saya lebih santai sebab hari Minggu halaman Nusantara tidak sebanyak hari-hari biasa. Namun, bukan berarti saya bisa libur total, sebagai wartawan saya harus siap 24 jam.
Akan tetapi, jika ada peristiwa bernilai berita, saya harus langsung on the way ke lokasi. Seperti peristiwa terdamparnya imigran ilegal dari Sri Lanka itu. Mendapatkan informasi awal dari grup Whatsapp wartawan, saya langsung tancap gas ke lokasi. Banda Aceh ke pantai Lhoknga ditempuh 15 menit. Sampai di sana saya lihat TNI, Polri, SAR, dan beberapa warga berbincang-bincang di dermaga.
Tak lama kemudian, beberapa wartawan juga sudah tiba di lokasi. Saya bersama beberapa wartawan lain berdiskusi bagaimana bisa memotret kapal imigran yang terombang-ambing di lautan lepas. Jarak kapal imigran dengan pantai sekitar 3 mil. Salah seorang yang bersama saya adalah Chaidir Mahyuddin, fotografer AFP (Agence France-Presse).
Saat itu cuaca di laut sedang buruk, langit juga terlihat mendung. Nelayan memberitahu kami bahwa ombak sedang ganas, 2-3 meter. Sementara kami kian bersemangat untuk berlayar mengambil gambar dari jarak dekat. Rencana awal mau menumpang kapal patroli milik aparat, tetapi hanya satu unit dan terbatas.
Saya melihat jam di tangan telah menunjukkan pukul 15.30. Saya segera listing ke kantor bahwa ada imigran gelap yang terdampar ke Aceh. Setiap hari kami wajib mengirimkan rencana tulisan agar memudahkan redaksi membagi dan mengatur ruang muat di koran. Redaksi juga yang memutuskan layak tidaknya berita dimuat.
Bersama beberapa wartawan lain, kami sepakat menyewa perahu nelayan untuk melihat kapal imigran dari jarak dekat. Tanpa pikir panjang, kami lompat ke lambung perahu kayu yang dicat kuning menyala itu. Sang pawang dengan penuh percaya diri menyalakan mesin tempel, tak lama kemudian, dengan terengah-engah perahu membelah muara menuju laut.
Awalnya perjalanan sangat menggembirakan. Laut biru membentang luas. Saya merasakan betapa kecilnya manusia saat berhadapan dengan alam. Burung laut terbang ke sana kemari, seperti ingin mengabarkan sesuatu.
Namun, ketenangan seketika berganti dengan kekalutan. Mendadak mesin perahu padam. Posisi perahu saat itu berada sekitar 2 mil dari pantai. Dari jauh batu karang berdiri kokoh seperti siap menyambut perahu kami. Tidak seorang pun memakai jaket pelampung.
Baca juga: Tersesat Tengah Malam di Kota Sunyi Hakodate
Pawang berusaha memperbaiki mesin. Lebih dari 30 menit mesin belum berhasil diperbaiki. Sementara perahu terus diseret ombak ke tepi pantai. Kian ke tepi ombak semakin besar. Beberapa kali ombak besar dengan ketinggian 2 meter mengempas perahu. Seandainya perahu terbalik, kami harus siap-siap berenang. Risiko terbesar mati digulung ombak dan risiko terkecil selamat, tetapi dengan badan luka-luka sebab karang di lokasi itu lumayan besar.
Saya sendiri sudah siap mengambil risiko terkecil, berenang sekuat tenaga. Namun, saya sendiri ragu, apakah bisa berenang dalam gulungan ombak. Saya membuka celana jins agar ringan jika harus berenang.
Seandainya perahu terbalik, kami harus siap-siap berenang. Risiko terbesar mati digulung ombak dan risiko terkecil selamat, tetapi dengan badan luka-luka sebab karang di lokasi itu lumayan besar.
Beberapa kali pawang terjun ke laut untuk memastikan jangkar dapat menahan laju perahu, tetapi usaha itu nihil. Saya mendengar pawang membaca doa-doa dan membuat kami kian kecut.
Saya memejamkan mata, membayangkan wajah istri di rumah dengan usia kandungan baru 2 bulan. Kematian memang tak dapat dielak, tetapi membayangkan anak lahir dalam keadaan yatim membuat saya bertekad berenang jika perahu benar-benar tenggelam.
Tiba-tiba saja mesin hidup kembali. Perahu yang mengangkut tujuh orang di dalamnya menerjang pucuk ombak. Kami selamat dari maut. Setelah memperbaiki mesin di titik aman, perjalanan kami lanjutkan mendekati kapal imigran.
Saya memotret kapal imigran dari berbagai sudut. Beberapa imigran melambaikan tangan meminta pertolongan. Bocah-bocah berkulit gelap di atas kapal itu menatap sayu. Betapa malangnya hidup mereka. Terusir dari tanah kelahiran, kemudian berlayar berhari-hari untuk mencari penghidupan yang layak. Hidup ini kadang ironi, satu golongan manusia hidup berlimpah mewah, sementara golongan yang lain saban hari menyeka air mata.
Baca juga: Mengarungi Pedalaman Papua dengan Sisa Saraf Terjepit
Terlepas dari betapa buruknya nasib mereka, saya bahagia karena dapat merekam imigran itu dari dekat. Foto dari lapangan saya dapatkan. Saya harus segera mengirimkan foto ”renyah” itu ke Jakarta dengan menggunakan internet telepon seluler.
Persoalan imigran adalah isu dunia. Saya berharap foto itu besoknya terpampang di salah satu halaman harian Kompas, syukur jika masuk halaman satu. Saya meyakini satu foto di harian Kompas akan menyentuh empati dunia bagi mereka. Bagi saya, yang wartawan muda di harian Kompas, jika foto hasil jepretan berhasil keluar di halaman satu, itu sungguh membahagiakan.
Ternyata esoknya foto itu tidak satu pun dimuat di harian Kompas. Foto kapal imigran Sri Lanka di tengah lautan kalah bersaing dengan foto tendangan bebas Gerard Bale ke gawang Slowakia. Sementara di koran-koran luar negeri, foto yang dikirimkan oleh Chaidir melalui AFP, menjadi foto master halaman utama. Namun, kualitas foto yang saya hasilkan memang jauh di bawahnya.
Saya tersenyum sendiri. Mungkin inilah yang dimaksud oleh senior-senior di Kompas, ”kirim dan lupakan”. Berita yang saya kirimkan bisa saya lupakan, tetapi pengalaman nyaris tenggelam tidak. Sebab, itu adalah pengalaman berharga agar ke depan bersikap lebih waspada. Apalagi saya tidak pernah mendapatkan pelatihan meliput bencana.