Pejalan Kaki, Pahlawan Kita
Para pejalan kaki dan pesepeda adalah pahlawan lingkungan Jakarta tanpa tanda jasa. Mereka rela tak mengenyam kenyamanan berkendaraan pribadi demi mengurangi emisi gas di kota yang sudah tercekik polusi udara.
Berjalan kaki di Jakarta terdengar sederhana, tetapi pada praktiknya membutuhkan tekad kuat dan ketahanan mental.
Intimidasi di jalanan hingga kecelakaan karena infrastruktur jalur pedestrian yang masih buruk mengintai para pejalan kaki dan pesepeda. Panas terik ataupun hujan angin di Jakarta menjadi pilihan yang mereka jalani, bukan sebagai pengorbanan.
Alfred Sitorus (37) dari Koalisi Pejalan Kaki mengatakan, berulang kali intimidasi hingga bentrokan terbuka harus dialami pejalan kaki saat berusaha mempertahankan ruang berjalan yang menjadi haknya. Ada yang dicaci-maki pesepeda motor yang naik trotoar, ada pula yang dipukul.
”Kalau pedagang kaki lima masih lumayan, kami masih bisa ngobrol. Tapi, kalau sepeda motor dan pengendara mobil, ah sudah… tanpa hati,” katanya menceritakan kisah-kisah para pejalan kaki di Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Kecelakaan karena masih buruknya kondisi trotoar pun berulang kali terjadi. Selasa siang itu, Alfred baru menerima kabar salah satu rekannya terperosok di lubang utilitas di trotoar. Lubang itu dibiarkan terbuka di depan kantor Kementerian Sosial. Sikunya terluka parah.
Mereka tergabung dalam Koalisi Pejalan Kaki, sebuah komunitas yang didirikan setelah awalnya sukses mendorong hari bebas kendaraan bermotor (CFD). Saat ini, ada sekitar 60.000 orang yang aktif ikut berjalan kaki.
Alfred tidak lagi mempunyai kendaraan bermotor pribadi sekitar tahun 2000. Keputusan itu ia ambil setelah mengikuti pelatihan soal jejak karbon dan emisi yang dihasilkan tiap individu.
Setiap hari kerja, dari rumahnya di Depok, Jawa Barat, ke kantornya di Jakarta Pusat, ia berjalan kaki atau bersepeda, disambung dengan transportasi umum massal. Ke tempat lain pun ia tempuh dengan cara yang sama. Bahkan, saat istrinya berniat membeli sepeda motor, diskusi demikian alot. Akhirnya, keluarga itu memiliki sepeda motor yang digunakan istri Alfred.
Untuk mengimbanginya, kata Alfred, sejak mempunyai sepeda motor, ia menanam 10 pohon setiap tahun. ”Ya, untuk menghapus dosalah ini,” katanya.
Kendati sudah beberapa upaya ditempuh pemerintah untuk menekan kendaraan bermotor, kebijakan-kebijakan itu belum cukup konsisten dan tegas dilakukan. Pengguna kendaraan pribadi masih belum signifikan bergeser ke berjalan kaki dan transportasi massal.
Tak ada trotoar
Infrastruktur bagi pejalan kaki lebih parah terlihat di beberapa tempat di luar Jakarta.
Sebut saja di sekitar Stasiun Bojonggede, Bogor, Jawa Barat. Di sekitar stasiun yang saban hari melayani lebih dari 30.000 penumpang itu tidak terlihat adanya fasilitas jalur pejalan kaki.
Padahal, angkot menjadi angkutan pengumpan andalan untuk mencapai stasiun ini. Para pengguna sepeda motor bisa parkir di lokasi yang disediakan warga setempat. Namun, tidak ada lokasi parkir mobil di sekitar stasiun ini.
Alhasil, pejalan kaki mesti berbagi ruang dengan sesaknya kendaraan dua arah di jalan itu.
Aldo Timang (25), pengguna KRL yang ditemui di Stasiun Bojonggede, merasakan sulitnya berjalan kaki mencapai stasiun itu. Padahal, berjalan kaki dirasanya paling nyaman lantaran rumahnya yang tidak jauh dari stasiun.
”Kalau panas atau hujan, tambah enggak nyaman jalan. Apalagi, di jalan sekitar stasiun ini lalu lintas sering macet. Polusinya luar biasa,” kata Aldo yang hendak menemui rekannya yang berkantor tidak jauh dari Stasiun Manggarai.
Jika ia bepergian sendiri, bujangan berdarah Toraja itu menggunakan KRL atau kendaraan umum lain. Namun, kalau pergi bersama keluarga, apalagi tujuannya jauh, ia dan keluarga menggunakan mobil pribadi.
”Terutama kalau bersama orangtua, lebih aman naik mobil pribadi. Sebab, interkoneksi antarmoda dan keamanan angkutan umum kurang bagus. Belum nyaman,” kata Aldo, yang memiliki perusahaan berbasis daring itu.
Para pejalan kaki berusaha untuk tidak egois demi kebaikan bersama. Namun, pada kenyataannya, mereka tidak dihargai secara pantas. Tanpa banyak berteriak, mereka menjadi pahlawan lingkungan dengan aksi sesungguhnya.