Pemerintah Butuh Oposisi di DPR
Peta politik di DPR periode 2019-2024 diperkirakan tak akan banyak berubah dibandingkan dengan DPR saat ini. Sistem presidensial butuh pengawasan dan dukungan yang stabil dari DPR.
JAKARTA, KOMPAS — Sistem presidensial membutuhkan kekuatan penyeimbang di parlemen. Komposisi dari partai politik yang masuk dalam koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin serta yang berada di koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berpotensi mewujudkan pengawasan dan dukungan yang stabil di Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengacu pada hasil hitung cepat Litbang Kompas, sembilan partai politik (parpol) berpotensi mengirimkan wakilnya di DPR. Lima parpol saat ini masuk dalam koalisi pendukung Jokowi-Amin dengan gabungan kekuatan suara 53,87 persen. Parpol itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Empat parpol lainnya, dengan gabungan perolehan suara 36,26 persen, merupakan anggota koalisi pendukung Prabowo-Sandi. Parpol itu adalah Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Gambaran itu merupakan hasil dari hitung cepat. Hasil resmi Pemilu 2019 mengacu pada hasil rekapitulasi suara berjenjang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang sampai sekarang masih berlangsung.
Meski demikian, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Selasa (23/4/2019), di Jakarta, memprediksi, peta politik itu tak akan berubah. Jika Jokowi-Amin memenangi pemilihan presiden, komposisi 5-4 itu diharapkan memunculkan oposisi yang bertaji dalam mengontrol berjalannya pemerintahan. ”Demokrasi yang sehat juga butuh check and balance,” katanya.
Secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan, apabila Prabowo-Sandi kalah di pilpres, Partai Gerindra akan berada di luar pemerintahan untuk memberi kekuatan penyeimbang bagi parpol anggota koalisi pemerintah.
”Kami paham politik bersifat dinamis, terutama banyak partai yang tidak tahan duduk di luar pemerintahan. Meski ada partai yang meninggalkan koalisi pendukung Prabowo-Sandi, kami akan tetap konsisten di luar pemerintah,” kata Andre.
Namun, Andre meminta semua pihak menunggu penghitungan resmi dari KPU.
Penghitungan KPU
Rekapitulasi suara hasil Pemilu 2019 dijadwalkan selesai 22 Mei. Hingga semalam, berdasarkan data Situng KPU, hingga Selasa (23/4/2019) pukul 22.30, pasangan Jokowi-Amin mendapat 55,35 persen suara dan Prabowo-Sandi mendapat 44,65 persen. Hasil itu diperoleh dari 196.576 TPS atau 24,17 persen dari semua TPS yang berjumlah 813.350 TPS.
Sementara itu, untuk hasil pemilu legislatif untuk DPR, tiga parpol dengan suara terbanyak adalah PDI-P dengan 19,6 persen, disusul Partai Golkar dengan 14,06 persen dan kemudian Partai Gerindra dengan 11,26 persen. Data itu diperoleh dari 65.496 TPS atau 8,05 persen dari jumlah semua TPS yang mencapai 813.350.
Namun, perolehan suara parpol itu masih masih harus dikonversi lagi menjadi kursi DPR RI dengan menggunakan metode sainte lague.
Peta politik
Posisi politik sejumlah parpol sering berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini, misalnya, terjadi pada Partai Golkar, PAN, dan PPP pada Pemilu 2014. Saat pemilu, ketiga parpol ini menjadi anggota koalisi parpol pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun, seusai pemilu, secara berangsur, ketiga parpol itu berpindah ke koalisi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla yang memenangi pilpres.
Hasto Kristiyanto menuturkan, hal itu terjadi karena Jokowi-Kalla memenangi Pilpres 2014 dengan dukungan politik yang minim di DPR. Untuk memperbesar dukungan politik di parlemen, koalisi Jokowi-Kalla yang awalnya terdiri dari empat partai, yaitu PDI-P, PKB, Nasdem, dan Hanura, lalu memperlebar dukungannya.
Bergabungnya Partai Golkar, PAN, dan PPP membuat dukungan Jokowi-Kalla di parlemen meningkat dari 44,1 persen menjadi 68,9 persen. Kali ini, menurut Hasto, konsolidasi dengan memperlebar dukungan politik cenderung tidak lagi dibutuhkan. Jika Jokowi-Amin memenangi pilpres, komposisi partai pendukung pemerintah sudah cukup besar, demikian pula dengan kekuatan oposisi yang dinilai cukup menyeimbangkan. Oleh karena itu, koalisi Jokowi-Amin tidak akan menambah jumlah parpol anggota, kecuali Jokowi sendiri yang menghendaki.
”Kami sudah pernah bicarakan hal ini bahwa pemerintah, jika dominan menguasai semua parlemen, juga sebenarnya tidak sehat dalam praktik demokrasi,” kata Hasto.
Di sisi lain, komposisi parpol pendukung Jokowi-Amin yang kini sudah terbentuk juga berdampak pada proses pembagian kursi kekuasaan.
”Bagi mereka yang sudah bergabung, berkeringat dari awal untuk mendukung Jokowi-Amin, tentu harus diberi apresiasi, untuk bersama-sama ke depan mengelola pemerintahan,” katanya.
Penyeimbang
Sementara itu, Partai Demokrat yang pada saat ini memilih menjadi partai penengah berpeluang memainkan peran serupa pada periode 2019-2024.
Wakil Sekjen Partai Demokrat Renanda Bachtar menegaskan, ketika partainya tidak menjadi partai pengusung pemerintah, seperti periode 2014-2019, Partai Demokrat akan tetap menjadi partai tengah atau partai moderat. Budaya politik Partai Demokrat, tukasnya, ialah bersifat obyektif terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Atas dasar itu, ia menekankan, Partai Demokrat tidak akan pernah menjadi oposisi murni, seperti partai oposisi di negara-negara lain.
”Sikap kami terhadap pemerintah adalah menjadi penyeimbang. Yang baik kami apresiasi, sedangkan yang belum baik kami kritik dan minta diperbaiki,” kata Renanda.