Sejatinya serangan teror di ibu kota Sri Lanka, Colombo, dan sekitarnya pada Minggu pagi lalu dapat diantisipasi. Persoalan internal diduga turut berpengaruh pada kegagalan antisipasi tersebut.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejatinya serangan teror di ibu kota Sri Lanka, Colombo, dan sekitarnya pada Minggu pagi lalu dapat diantisipasi. Persoalan internal diduga turut berpengaruh pada kegagalan antisipasi tersebut.
Total ada delapan ledakan bom di Colombo dan sekitarnya. Dalam serangan awal, bom meledak di tiga gereja dan tiga hotel. Ledakan terjadi saat gereja sedang menyelenggarakan misa Paskah, sementara hotel dipadati tamu yang bersiap sarapan. Adapun dua serangan lanjutan terjadi pada hotel dan rumah di pusat kota Colombo, Minggu siang.
Uskup Agung Colombo Kardinal Malcolm Ranjith mengatakan, serangan di Sri Lanka seharusnya bisa dicegah. ”Mengapa tidak dicegah?” ujarnya.
Saat memimpin misa mengenang para korban, Selasa (23/4/2019), Kardinal Ranjith mengimbau agar gereja-gereja lain menunda peringatan karena dikhawatirkan ada serangan baru. ”Pasukan keamanan belum sepenuhnya mengamankan situasi. Bisa saja terjadi lebih banyak serangan pada kegiatan-kegiatan publik,” katanya.
Intelijen
Dari informasi yang dihimpun, para pejabat intelijen Sri Lanka sebenarnya telah diberi tahu tentang ancaman serangan itu. Menurut beberapa sumber di lingkungan pertahanan Sri Lanka dan Pemerintah India, anggota intelijen India menghubungi rekan-rekan mereka di Sri Lanka pada dua jam sebelum serangan pertama untuk memperingatkan tentang ancaman khusus terhadap gereja.
Salah satu sumber Sri Lanka mengatakan, peringatan juga dikirim oleh India pada Sabtu malam silam. Sumber Pemerintah India mengatakan, pesan serupa diberikan kepada agen intelijen Sri Lanka pada 4 April dan 20 April 2019. Terkait dengan berita itu, Kantor Kepresidenan Sri Lanka dan Kementerian Luar Negeri India tidak memberi komentar.
Ada dugaan, keretakan hubungan antara Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dan Presiden Maithripala Sirisena turut berpengaruh pada situasi itu. Wickremesinghe disebutkan tidak mendapat informasi mengenai laporan ini. Ia juga dinyatakan sudah lama tidak mengikuti rapat-rapat keamanan selepas perselisihan dengan Sirisena pada Oktober 2018. Rapat perdana soal keamanan yang diikuti Wickremesinghe adalah rapat darurat pada Senin pagi selepas serangan bom.
Penangkapan
Rangkaian rapat keamanan memutuskan pemberlakuan keadaan darurat. Tentara diberi kewenangan menangkap warga sipil yang diduga terlibat penyerangan. Kewenangan ini hanya diberikan kala keadaan darurat diberlakukan.
Sampai sekarang Sri Lanka sudah menahan 40 orang karena diduga mengetahui atau terkait dengan serangan bom bunuh diri. Di antara mereka terdapat warga Suriah yang ditangkap berdasarkan keterangan tersangka berkewarganegaraan Sri Lanka yang lebih dulu ditahan oleh petugas.
Belum ada penjelasan lebih lanjut soal status dan peran setiap orang itu. Hal yang jelas, penangkapan pria Suriah menguatkan dugaan aparat Sri Lanka soal keterlibatan pihak internasional dalam serangan bom. Pemerintah menduga kelompok ekstrem di Sri Lanka dibantu pihak di luar negeri untuk melancarkan serangan yang sudah mengakibatkan 321 korban tewas dan 500 warga terluka.
The Washington Post mengutip pejabat keamanan—sebagaimana ditulis Reuter—mengatakan, Biro Investigasi Federal AS (FBI) dikabarkan mengirim agen ke Sri Lanka. FBI juga menawarkan pakar laboratorium forensik untuk memeriksa data yang mungkin bisa membantu penyelidikan.
Selain dari AS, ada bantuan dari Inggris. Sejumlah penyidik antiteror Inggris dilaporkan telah berada di Colombo. Warga Inggris dan AS termasuk dalam daftar korban dalam serangan tersebut.
Kerja sama
Terkait dengan serangan di Sri Lanka, Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral pada Kementerian Luar Negeri Febrian Ruddyard, Selasa, di Jakarta, menegaskan pentingnya penguatan kerja sama internasional untuk memangkas jaringan pendanaan kelompok teror. Kerja sama bilateral untuk pencegahan teror juga diperkuat.
”Untuk kerja sama multilateral, telah ada platformnya di Majelis Umum dan didukung resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata Febrian.
Ia menjelaskan, kerja sama multilateral untuk urusan terorisme memang tidak bisa sampai detail operasional, seperti saling tukar informasi soal terorisme. Di atas itu, diperlukan kerja sama bilateral dan melibatkan lembaga berkepentingan di setiap negara. (AP/AFP/Reuters/RAZ/JOS)