JAKARTA, KOMPAS — Reformasi kebijakan yang sudah berjalan mesti dilanjutkan agar fundamen perekonomian semakin kuat. Selain itu, langkah untuk mengantisipasi kondisi global tetap disiapkan.
”Sebenarnya di dalam negeri tidak ada isu yang krusial. Akan tetapi jika situasi berubah cepat di tingkat global, kita mesti siap-siap,” ujar pengajar Unika Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, yang dihubungi di Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Pemerintah tetap harus mewaspadai dampak pelambatan pertumbuhan ekonomi global dan peningkatan utang korporasi terhadap perekonomian domestik. Risiko jangka menengah diperkirakan bukan bersumber dari sektor keuangan karena bank sentral Amerika Serikat, The Fed, memutuskan menahan suku bunga. Risiko justru muncul dari kenaikan harga komoditas.
Prasetyantoko menambahkan, komoditas yang akan berdampak signifikan adalah minyak mentah dunia. Kendati kenaikan harganya belum setinggi tahun lalu, harga di tingkat global terus naik yang dipengaruhi konflik geopolitik. Jika harga minyak naik tajam, defisit anggaran berpotensi melebar dan nilai tukar rupiah melemah.
”Kita masih tergolong importir bersih minyak sehingga akan terkena dampak cukup besar,” katanya.
Mengacu pada laman Bloomberg, Selasa malam, harga minyak mentah dunia per barel jenis Brent 74,51 dollar AS, sedangkan WTI 66,43 dollar AS.
Terkait harga komoditas, Direktur Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menambahkan, pemerintah akan melihat kinerja APBN hingga akhir semester I-2019 untuk memutuskan ada atau tidaknya APBN Perubahan (APBN-P). Asumsi makro harga minyak dunia 70 dollar AS per barel.
Tantangan
Stabilitas sistem keuangan pada triwulan I-2019 dinilai terjaga baik. Namun, Indonesia tetap menghadapi tantangan dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dari kinerja ekspor dan investasi.
”Potensi risiko terutama berasal dari faktor global, yaitu pelemahan pertumbuhan ekonomi global dan penurunan volume perdagangan dunia,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers rapat koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 sebesar 3,3 persen.
Sri Mulyani menambahkan, koordinasi kebijakan moneter dan fiskal diperkuat untuk mengurangi risiko tekanan global terhadap perekonomian domestik.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, daya tarik Indonesia juga terus ditingkatkan. Defisit transaksi berjalan yang belakangan menjadi sentimen negatif akan terus diperkecil. BI menargetkan defisit transaksi berjalan 2019 sebesar 2,5 persen terhadap produk domestik bruto.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso mengatakan, tantangan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi juga ditempuh melalui pertumbuhan kredit perbankan.
Sementara, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah memaparkan, kondisi likuiditas perbankan mulai membaik. (KRN)